Amelia berjalan mengikuti langkah Adrian yang terus menggandengnya.
"Kamu oke, Mel?"
"Entah, Adrian. Perasaan aku tiba-tiba sakit dengan tuduhannya."
"Sudahlah, Sayang! Jangan buat sedih. Kalau Salsa ingin bersikap seperti itu. Biarkan saja. Mungkin dia sedang mencari pelampiasan terhadap perasaan bersalahnya pada diri dia sendiri."
"Aku paham, Adrian. Cuman ... ahhh, sudahlah!"
"Baiknya, kamu fokus pada pernikahan kita yang tinggal 2 minggu lagi, Sayang."
"Iya, Adrian. Maafkan aku."
Adrian hanya tersenyum sembari megusap lembut rambut Amelia.
"Kita makan dulu aja ya?"
"Iya, Adrian. Cuman aku lagi enggak mood makan nih."
"Ehhh, kalau sama aku harus makan. Kalau enggak, pasti aku suapin!"
Sikap yang ditunjukkan Adrian begitu membuat Amelia tenang dan damai. Dia merasa terlindungi. Seakan nyaman berada di sisinya.
"Makasih Adrian atas semuanya."
"Kok kamu bilang begitu."
"Baru kali
"Aku punya alasan jelas, Adrian. Dan aku sangat yakin juga kalau kamu pasti tahu hubungan Papa dengan seorang cewek. Iya 'kan?" Tak ada jawaban atau sanggahan dari bibir Adrian. Dia hanya memandang Sella dengan sorot mata yang tajam. Sembari bermain jari-jarinya di atas meja. "Siapa nama kamu?" "Raffian, Mas." "Hemmm, berarti kamu juga yang disuruh Sella untuk membuntuti Amelia dan aku?" "I-iya, Mas," jawab Raffian tertunduk. "Dan kamu tau, tujuan dia apa?" Raffian menoleh ke arah Sella. "Bilang aja. Aku enggak akan bantu Sella kalau kalian berdua tak bilang jujur!" tegas Adrian. "Ya, karena Sella mencintai Mas Adrian. Dia juga cemburu sama Mbak Amelia." Sontak jawaban itu membuat Adrian terpingkal-pingkal. "Sella ... Sella!" "Kau sekarang mentertawakan aku, Adrian?" "Sorry, Sell. Buat aku ini lucu aja." "Ini enggak ada lucunya!" sentak Sella serius. Seketika Ameli
"Hallo!""Romy, akhirnya kau meneleponku. Apakah ini berkaitan dengan Amelia?""Aku ingin bertemu denganmu!""Baik. Kapan?""Sore ini jam enam. Aku tunggu di Hardcafe!""Oke, Romy."Sejenak Romy terdiam. Jemari tangannya mengetuk berkali-kali di atas meja kerja."Kenapa aku malah menghubungi dia?"Romy seperti tak menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Karena cemburu atau emosi sesaat. Yang jelas dia ingin wadah untuk menumpahkan semua kekesalannya. Namun, apa yang ada dalam pikirannya saat ini?"Aku hanya ingin menuangkan kekesalan aku saja," desis Romy.Satu jam berlalu ....Tampak Romy sudah barada di Hardcafe. Dia memilih duduk di paling ujung, biar sedikit tersembunyi. Tak berapa lama. Seorang wanita dengan gaya berpakaian stylish dan cantik walau usianya tak bisa dikatakan muda lagi.Romy melambaikan tangannya tinggi. Wanita itu tersenyum.
"Waktu kamu enggak banyak, Rom. Dapatkan lagi dia. Bila kau tubuh bantuan, telepon saja aku!" Santi pun berlalu meninggalkan Romy yang hanya bisa terpaku. Dia memikirkan apa yang dikatakan oleh wanita itu."Bagaimana bisa aku mendapatkan Amelia lagi? Sangat sulit."Romy melangkah menuju arah parkiran mobil. Baru saja dia duduk dan menyandarkan tubuhnya di jok. Terdengar suara notifikasi pesan masuk.Ting!{Tak akan sulit kalau kau yakin bisa mendapatkannya kembali!}"Ahhh! Santi ini bikin aku makin bimbang."Sejenak Romy terdiam. Sembari mengingat perkataan Santi, yang membuat dia gelisah. Dalam keresahannya, terdengar kembali notifikasi pesan berbunyi.Ting!Ternyata Santi mengirimkan pesan alamat dan nomer ponsel Amelia yang baru."Hemmm ... aku akan coba hubungi Amelia nanti malam."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan Cafe. Setelah kepergian mobil Romy. Santi tersenyum lebar. Ternyata dia belum pergi dari caf
"Mungkin Adrian memang mencintainya, Tan.""Kenapa kamu jadi pasrah seperti ini?""Aku bukan pasrah Tante. Aku mengkondisikan diri aku, Tante. Kalau ada seseorang yang tak aku sukai mengejar cintaku. Pastinya aku akan eneg. Begitu juga Adrian. Wajarlah kalau dia memilih Amelia. Cewek itu terlihat baik kok.""Kok kamu malah belain cewek itu?""Aku siang tadi ketemu mereka berdua.""Haaahhh, di mana?"Sella tak langsung menjawab. Dia melihat gelagat Santi terlihat aneh. Begitu menggebu-gebu jika menceritakan perihal Adrian.'Kayaknya Tante Santi ini suka sama Adrian. Dari gelagat dia mencolok banget. Hemmm ... gitu mancingnya ke aku,' batin Sella."Kamu kok malah diam sih? Ditanya juga kok enggak jawab?""Emang Tante tadi tanya apa?"Santi memalingkan muka. Dia merasa kesal dengan tanggapan Sella yang dingin. Lalu sibuk bermain ponselnya."Tante kok malah diam sih?""Kamu yang diem. Aku enggak
Santi menundukkan kepalanya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Sella."Engga ada apa-apa kok. Emangnya kenapa?""Sepertinya Tante menyukai Adrian juga ya?""E-enggak. Bisanya kamu bilang kayak gitu, Sell. Aku ini hanya dukung kamu aja.""Ehmmm."Sella tak ingin meneruskan kalimatnya lagi."Kapan mereka akan menikah?""Dengar-dengar sih dua minggu lagi sih. Kalau mereka menikah, emangnya kamu mau datang?""Mungkin."Santi sedikit menggeser bokongnya. Dia merapat pada Sella. Lalu memperlihatkan beberapa foto Amelia dan Adrian saat di Jogja."Dari mana Tante dapatkan foto-foto mereka ini?""Aku ambil dari SW si Adrian. Kenapa?""Katanya enggak ada arsa. Tapi super kepo sama Adrian.""Kan sengaja mau aku kasih tunjuk ke kamu, Sell."Sella malas menanggapi. Saat mereka masih asyik berbincang. Terdengar suara derap sepatu yang baru masuk rumah. Namun Sella dan Santi mengabaikan. Mereka mas
"Aku tetap tak akan setuju dengan keputusan papa ini!" tegas Sella keras. "Ini semua gara-gara kau perempuan perek, sundel. Kau pasti sudah merencanakan ini semua sama pacar kamu itu. Iya 'kan?" teriak Sella semakin histeris."Sella!!!" Suara Handy meninggi. "Jaga ucapan kamu itu. Selama berbulan-bulan, hanya Linda yang memperhatikan Papa. Dia yang merawat Papa saat sakit. Lantas waktu itu kamu di mana?""Pa-pa, pernah sakit?" Sella menurunkan intonasi nada suaranya. "Ka-kapan itu, Pa?""Sudah berbulan-bulan lalu. Dan kau pun tak pernah tahu apalagi peduli sama Papa, Sell. Yang kamu ingat hanya kemarahan kamu aja. Papa juga butuh seseorang yang memberikan kasih sayang dan penuh perhatian sama Papa. Sedangkan kamu selama ini? Apa yang kamu lakukan sama Papa?"Sella yang semula berdiri seolah menantang Melinda dan papanya langsung kembali terduduk"Papa juga tak pernah menanyakan kenapa sikap Sella seperti itu. Iya 'kan? Semenjak kepergian Mama. Sell
Terkadang apa yang kita lihat dan rasa. Tak seburuk yang terbayang. Begitu pula soal hati. Sekeras apa pun Sella berusaha menentang, semua sudah menjadi sebuah keputusan. Yang mau tak mau harus bisa dia terima.Sulit dan menyakitkan. Kenyataannya memang iya. Akan tetapi, semua pasti ada khikmah di balik semua kesedihan dan kesulitan yang dialami."Kuatkan hatimu, Sella. Mungkin ini hanya kerikil dalam perjalanan hidup kamu. Aku yakin kamu bisa kuat dan tegar menghadapi semua ini dengan kedewasaan. Mbok Narmi akan selalu menemani kamu."_II_Cukup malam Romy sampai di apartemen. Tak biasanya dia pulang jam sepuluh malam. Baru sekali bel berbunyi. Salsa sudah membuka pintu. Dia tersenyum lebar menyambut kedatangan sang suami."Baru pulang, kenapa Mas?""Meeting!""Ohhh. Sini tasnya biar aku bawain," pinta Salsa."Enggak perlu! Lagian tangan kamu 'kan lagi sakit. Jangan banyak dibuat gerak.""Iya, Mas. Ehhh, tap
"Mungkin suami kamu masih mencintainya, Sa. Maaf kalau aku bilang kayak gini.""Aku tahu itu, Lind. Dan karena perasaannya itu, yang buat aku jadi sedih kayak gini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Melinda menatap tajam pada Salsa yang seperti putus asa."Lepaskan!""Haaaa ...?"Seketika Salsa melotot."Ka-kamu suruh aku melepaskan Mas Romy?""Iya. Kamu cari lelaki lain yang benar-benar mencintai. Tulus dan ikhlas. Tak membuat kamu tersiksa seperti ini!" tegas Melinda.Kalimat yang barus saja terlontar dari bibir Melinda. Bagai sembilu yang menyayat hati. Terasa sangat perih dan nyeri."Ajak aku ke Tante!""Sa, ini semua enggak ada hubungannya dengan Tante Molly. Semua ini berasal dari dalam lubuk hati suami kamu.""Bukannya kamu juga melakukannya Lind?"Dia tersenyum lebar. Atas pertanyaan Salsa."Aku kan melakukan untu sesaat, Sa. Hanya untuk menarik pelanggan aku aja. Termasuk pa
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."