"Aku tetap tak akan setuju dengan keputusan papa ini!" tegas Sella keras. "Ini semua gara-gara kau perempuan perek, sundel. Kau pasti sudah merencanakan ini semua sama pacar kamu itu. Iya 'kan?" teriak Sella semakin histeris.
"Sella!!!" Suara Handy meninggi. "Jaga ucapan kamu itu. Selama berbulan-bulan, hanya Linda yang memperhatikan Papa. Dia yang merawat Papa saat sakit. Lantas waktu itu kamu di mana?"
"Pa-pa, pernah sakit?" Sella menurunkan intonasi nada suaranya. "Ka-kapan itu, Pa?"
"Sudah berbulan-bulan lalu. Dan kau pun tak pernah tahu apalagi peduli sama Papa, Sell. Yang kamu ingat hanya kemarahan kamu aja. Papa juga butuh seseorang yang memberikan kasih sayang dan penuh perhatian sama Papa. Sedangkan kamu selama ini? Apa yang kamu lakukan sama Papa?"
Sella yang semula berdiri seolah menantang Melinda dan papanya langsung kembali terduduk
"Papa juga tak pernah menanyakan kenapa sikap Sella seperti itu. Iya 'kan? Semenjak kepergian Mama. Sell
Terkadang apa yang kita lihat dan rasa. Tak seburuk yang terbayang. Begitu pula soal hati. Sekeras apa pun Sella berusaha menentang, semua sudah menjadi sebuah keputusan. Yang mau tak mau harus bisa dia terima.Sulit dan menyakitkan. Kenyataannya memang iya. Akan tetapi, semua pasti ada khikmah di balik semua kesedihan dan kesulitan yang dialami."Kuatkan hatimu, Sella. Mungkin ini hanya kerikil dalam perjalanan hidup kamu. Aku yakin kamu bisa kuat dan tegar menghadapi semua ini dengan kedewasaan. Mbok Narmi akan selalu menemani kamu."_II_Cukup malam Romy sampai di apartemen. Tak biasanya dia pulang jam sepuluh malam. Baru sekali bel berbunyi. Salsa sudah membuka pintu. Dia tersenyum lebar menyambut kedatangan sang suami."Baru pulang, kenapa Mas?""Meeting!""Ohhh. Sini tasnya biar aku bawain," pinta Salsa."Enggak perlu! Lagian tangan kamu 'kan lagi sakit. Jangan banyak dibuat gerak.""Iya, Mas. Ehhh, tap
"Mungkin suami kamu masih mencintainya, Sa. Maaf kalau aku bilang kayak gini.""Aku tahu itu, Lind. Dan karena perasaannya itu, yang buat aku jadi sedih kayak gini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Melinda menatap tajam pada Salsa yang seperti putus asa."Lepaskan!""Haaaa ...?"Seketika Salsa melotot."Ka-kamu suruh aku melepaskan Mas Romy?""Iya. Kamu cari lelaki lain yang benar-benar mencintai. Tulus dan ikhlas. Tak membuat kamu tersiksa seperti ini!" tegas Melinda.Kalimat yang barus saja terlontar dari bibir Melinda. Bagai sembilu yang menyayat hati. Terasa sangat perih dan nyeri."Ajak aku ke Tante!""Sa, ini semua enggak ada hubungannya dengan Tante Molly. Semua ini berasal dari dalam lubuk hati suami kamu.""Bukannya kamu juga melakukannya Lind?"Dia tersenyum lebar. Atas pertanyaan Salsa."Aku kan melakukan untu sesaat, Sa. Hanya untuk menarik pelanggan aku aja. Termasuk pa
Melinda melangkah pelan dengan membawa salad dan air putih. Dia memberikannya pada Salsa yang masih terhenyak dengan pengakuan Melinda."Sekarang, katakan sama aku, Lind! Ini anak siapa?"Kali ini sorot mata yang tajam menghujam Melinda, yang tersenyum lebar ke arah Salsa."Kamu ini kok malah senyum-senyum enggak jelas.""Semoga anak yang aku kandung adalah anak Handy Santoso.""Handy Santoso? Siapa dia?""Kau lupa lagi? Dia Om aku, Sa.""Ohhh! Kau sengaja menjadikan anak dalam hubungan kalian ini Lind?""Ya, enggak sengaja awalnya. Dia mengajak aku menikah. Semua serba dadakan, Sa. Dan kamu kan tau juga. Kalau aku juga masih menjalin hubungan sama pacar aku.""Jangan kamu bilang kalau ini anak pacar kamu, Lind! Sungguh keterlaluan!""Eiiits! Dengerin aku dulu lah."Melinda kembali duduk di sebelah Salsa yang masih penasaran dengan kisahnya."Waktu itu Om sakit. Tekanan darah tingi, jantung, pokoknya
"Dari mana kamu malam-malam begini keluyuran?" Tiba-tiba Romy sudah duduk di ruang tengah. Sepertinya sengaja dia mematikan lampu ruang depan. Membuat Salsa tersentak dan terkejut setengah mati. Tak pernah menyangka jika Romy terbangun dan mencarinya. Sepintas dia melihat pintu kamar yang sedikit terbuka. 'Pasti Mas Romy habis melihat ke dalam kamar,' bisik Salsa dalam hati. "Kenapa kamu diam tak jawab?" "Aku habis keluar, Mas." Jawaban yang terkesan santai tanpa beban keluar dari bibir Salsa. "Emang Mas cariin aku?" "Iya!" Suara Romy terdengar tegas. "Ke mana kamu?" "A-aku keluar sebentar. Cuman menghirup udara segar. Mang enggak boleh?" "Duduklah, aku ingin bicara." Kini keduanya duduk saling berdampingan. Romy sedikit memutar tubuhnya. Hingga berganti arah menghadap Salsa. "Ada apa Mas? Kok sepertinya penting banget." "Mungkin bagimu akan terlihat enggak penting. Tapi, ba
Salsa hanya tersenyum. Lalu mengambil baju tidurnya untuk dibawa ke kamar Romy. "Mas ... Mas Romy!" "Apaan?" "Nih tolong lepasin baju aku. Gantiin sama baju tidur ini!" "Haaaa?!" Sontak Romy terbelalak dan sangat terkejut. "Kok kaget Mas. Bukannya memang biasanya kamu yang bantuin aku 'kan?" "Iya, tapi enggak pakai baju minim kayak gini Sa." "Loh aku kan mau tidur Mas. Emang Mas Romy terganggu?" "Sudah ... sudah! Sini jalan kemari kamu!" Sengaja Salsa membawa lingerie yang transparan dan sangat terbuka. "Duduklah kamu!" "Oke, Mas Romy." Hati Salsa bersorak senang. Dia menang satu kosong. 'Aku akan buat kamu melayani aku, Mas.' Romy dengan sabar melepas ikatan kain yang menggendong tangan Salsa yang dioperasi. Lalu dia mulai melepas kemeja yang dipakai Salsa. Hembusan napas mereka saling beradu. Terasa kehangatannya menyentuh kulit wajah Salsa.
Pagi menjelang. Saat Romy terbangun. Dia sudah tak mendapati Salsa disampingnya. Tak berapa lama pintu kamar terbuka perlahan. "Mas Romy, aku buatkan kopi untuk kamu." "Jam berapa ini, Sa?" "Jam tujuh, Mas. Kenapa?" "Aku ada janji sama klien jam sembilan, Sa. Taruh situ aja kopinya. Mau mandi dulu!" "Oke, Mas. Jangan lupa diminum!" Romy berjalan mendekati Salsa. "Maaf, semalam aku khilaf sama kamu, Sa. Sebenarnya aku tak ingin melakukannya." "Kenapa? Bukankah kita sama-sama menikmatinya?" "Karena aku masih tak ingin punya anak, Sa. Kuharap kamu mau mengerti! Kecuali--" Deg! Raisa merasakan jantungnya berdegup kencang. "Kecuali apa, Mas?" Suara Salsa bagai tertahan. "Kita bisa melakukannya tanpa harus jadi anak," ucap Romy tanpa ada perasan bersalah sama sekali. Kalimat itu bagai tamparan yang keras bagi Salsa. Seketika hatinya yang berbunga layu. Ada sakit yang tak tertaha
Salsa terbangun. Lalu duduk dengan pikiran yang terus melayang ke mana-mana."Jangan sampai itu terjadi. Aku enggak mau banget. Sampai mereka berdua bersatu lagi!"Salsa mulai gelisah dan cemas."Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Buru-buru Salsa bangun dan keluar kamar. Dia melihat pintu kamar Romy terbuka. Saat mendorongnya, dari raut wajah terlihat Salsa kecewa."Dia enggak pamit? Keterlaluan Mas Romy."Salsa melongok, melihat ke arah cangkir bekas kopi. Lalu dia tersenyum. Cukup membuatnya senang. Kopi yang dia suguhkan tandas."Setidaknya masih ada perhatian sama aku. Aku mungkin harus lebih bersabar lagi kayaknya."Dia pun membereskan cangkir. Salsa pun tak ingin terlalu lelah. Memilih istirahat sambil menonton TV.***Tepat jam makan siang. Romy keluar kantor. Sengaja dia memilih suatu tempat makan di cafe kesukaannya. Saat dia duduk. Terdengar ponselnya berbunyi.Ting!Terdapat pesan
Saat Romy menyembul di balik pintu. Senyum Santi mengembang lebar."Hai, Rom! Duduklah kemari," ajak Santi. "Ada perlu apa nih?" Tatapnya tajam mengarah pada lelaki tampan ini."Kurasa kamu sudah tau, apa tujuan aku kemari San. Jadi enggak usah pura-pura!"Romy duduk di kursi yang berhadapan dengan Santi."Kenapa kamu bilang seperti itu?""Sudah, San. Pasti kamu yng kirim gambar-gambar Amelia. Punya berapa nomer kamu?""Ahhh! Menurut kamu bagaimana dengan foto yang aku kirim itu?""Kau sengaja bikin aku panas. Iya 'kan?""Enggak juga, lah! Ngapain?"Romy hanya menyeringai masam. Dia tahu apa yang sedang dimainkan Santi."Aku bisa baca pikiran kamu, San. Bilanglah kalau kamu memang mencintai Adrian. Enggak usah munafik dah!"Santi memalingkan muka."Aku pernah dia permalukan. Jadi aku ingin membalasnya.""Yakin tanpa cinta?"Wanita berparas ayu itu kembali terdiam. Tak ada yang tau hatin