Tiba-tiba, suara lantang dan melengking berteriak dari dalam.
"Aku tak akan pergi ke pernikahan kaliaaan! Kau pembunuh Ibuku Amelia!"
Adrian semakin erat menggenggam telapak tangan Amelia yang berkeringat dingin.
"Kau pembunuh Ibuku! Kau pembunuh ...!"
Amelia tersentak. Sampai kotak yang terbungkus rapi itu terjatuh ke lantai. Dia bergerak mundur beberapa langkah.
"Amelia, sini!"
Adrian menarik telapak tangannya. Dan mendekap pinggang Amelia dengan erat. Sedangkan Romy mengarahkan pandangannya pada Salsa yang sudah berada di belakangnya.
"Kau jangan membuat keadaan kacau. Sa!"
"Dia yang menyebabkan aku kecelakaan. Dia yang membuat Ibu meninggal, Mas. Apa kau juga membela dia?!" sentak Salsa.
Sejenak keadaan menjadi hening. Tak ada sepatah kata yang berbicara. Semua pandangan kini tertuju pada Salsa. Yang masih bersikeras menuduh Amelia.
Adrian mau dua langkah. Sikapnya terlihat sangat tenang. Tanpa ada emosi yang
Amelia berjalan mengikuti langkah Adrian yang terus menggandengnya."Kamu oke, Mel?""Entah, Adrian. Perasaan aku tiba-tiba sakit dengan tuduhannya.""Sudahlah, Sayang! Jangan buat sedih. Kalau Salsa ingin bersikap seperti itu. Biarkan saja. Mungkin dia sedang mencari pelampiasan terhadap perasaan bersalahnya pada diri dia sendiri.""Aku paham, Adrian. Cuman ... ahhh, sudahlah!""Baiknya, kamu fokus pada pernikahan kita yang tinggal 2 minggu lagi, Sayang.""Iya, Adrian. Maafkan aku."Adrian hanya tersenyum sembari megusap lembut rambut Amelia."Kita makan dulu aja ya?""Iya, Adrian. Cuman aku lagi enggak mood makan nih.""Ehhh, kalau sama aku harus makan. Kalau enggak, pasti aku suapin!"Sikap yang ditunjukkan Adrian begitu membuat Amelia tenang dan damai. Dia merasa terlindungi. Seakan nyaman berada di sisinya."Makasih Adrian atas semuanya.""Kok kamu bilang begitu.""Baru kali
"Aku punya alasan jelas, Adrian. Dan aku sangat yakin juga kalau kamu pasti tahu hubungan Papa dengan seorang cewek. Iya 'kan?" Tak ada jawaban atau sanggahan dari bibir Adrian. Dia hanya memandang Sella dengan sorot mata yang tajam. Sembari bermain jari-jarinya di atas meja. "Siapa nama kamu?" "Raffian, Mas." "Hemmm, berarti kamu juga yang disuruh Sella untuk membuntuti Amelia dan aku?" "I-iya, Mas," jawab Raffian tertunduk. "Dan kamu tau, tujuan dia apa?" Raffian menoleh ke arah Sella. "Bilang aja. Aku enggak akan bantu Sella kalau kalian berdua tak bilang jujur!" tegas Adrian. "Ya, karena Sella mencintai Mas Adrian. Dia juga cemburu sama Mbak Amelia." Sontak jawaban itu membuat Adrian terpingkal-pingkal. "Sella ... Sella!" "Kau sekarang mentertawakan aku, Adrian?" "Sorry, Sell. Buat aku ini lucu aja." "Ini enggak ada lucunya!" sentak Sella serius. Seketika Ameli
"Hallo!""Romy, akhirnya kau meneleponku. Apakah ini berkaitan dengan Amelia?""Aku ingin bertemu denganmu!""Baik. Kapan?""Sore ini jam enam. Aku tunggu di Hardcafe!""Oke, Romy."Sejenak Romy terdiam. Jemari tangannya mengetuk berkali-kali di atas meja kerja."Kenapa aku malah menghubungi dia?"Romy seperti tak menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Karena cemburu atau emosi sesaat. Yang jelas dia ingin wadah untuk menumpahkan semua kekesalannya. Namun, apa yang ada dalam pikirannya saat ini?"Aku hanya ingin menuangkan kekesalan aku saja," desis Romy.Satu jam berlalu ....Tampak Romy sudah barada di Hardcafe. Dia memilih duduk di paling ujung, biar sedikit tersembunyi. Tak berapa lama. Seorang wanita dengan gaya berpakaian stylish dan cantik walau usianya tak bisa dikatakan muda lagi.Romy melambaikan tangannya tinggi. Wanita itu tersenyum.
"Waktu kamu enggak banyak, Rom. Dapatkan lagi dia. Bila kau tubuh bantuan, telepon saja aku!" Santi pun berlalu meninggalkan Romy yang hanya bisa terpaku. Dia memikirkan apa yang dikatakan oleh wanita itu."Bagaimana bisa aku mendapatkan Amelia lagi? Sangat sulit."Romy melangkah menuju arah parkiran mobil. Baru saja dia duduk dan menyandarkan tubuhnya di jok. Terdengar suara notifikasi pesan masuk.Ting!{Tak akan sulit kalau kau yakin bisa mendapatkannya kembali!}"Ahhh! Santi ini bikin aku makin bimbang."Sejenak Romy terdiam. Sembari mengingat perkataan Santi, yang membuat dia gelisah. Dalam keresahannya, terdengar kembali notifikasi pesan berbunyi.Ting!Ternyata Santi mengirimkan pesan alamat dan nomer ponsel Amelia yang baru."Hemmm ... aku akan coba hubungi Amelia nanti malam."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan Cafe. Setelah kepergian mobil Romy. Santi tersenyum lebar. Ternyata dia belum pergi dari caf
"Mungkin Adrian memang mencintainya, Tan.""Kenapa kamu jadi pasrah seperti ini?""Aku bukan pasrah Tante. Aku mengkondisikan diri aku, Tante. Kalau ada seseorang yang tak aku sukai mengejar cintaku. Pastinya aku akan eneg. Begitu juga Adrian. Wajarlah kalau dia memilih Amelia. Cewek itu terlihat baik kok.""Kok kamu malah belain cewek itu?""Aku siang tadi ketemu mereka berdua.""Haaahhh, di mana?"Sella tak langsung menjawab. Dia melihat gelagat Santi terlihat aneh. Begitu menggebu-gebu jika menceritakan perihal Adrian.'Kayaknya Tante Santi ini suka sama Adrian. Dari gelagat dia mencolok banget. Hemmm ... gitu mancingnya ke aku,' batin Sella."Kamu kok malah diam sih? Ditanya juga kok enggak jawab?""Emang Tante tadi tanya apa?"Santi memalingkan muka. Dia merasa kesal dengan tanggapan Sella yang dingin. Lalu sibuk bermain ponselnya."Tante kok malah diam sih?""Kamu yang diem. Aku enggak
Santi menundukkan kepalanya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Sella."Engga ada apa-apa kok. Emangnya kenapa?""Sepertinya Tante menyukai Adrian juga ya?""E-enggak. Bisanya kamu bilang kayak gitu, Sell. Aku ini hanya dukung kamu aja.""Ehmmm."Sella tak ingin meneruskan kalimatnya lagi."Kapan mereka akan menikah?""Dengar-dengar sih dua minggu lagi sih. Kalau mereka menikah, emangnya kamu mau datang?""Mungkin."Santi sedikit menggeser bokongnya. Dia merapat pada Sella. Lalu memperlihatkan beberapa foto Amelia dan Adrian saat di Jogja."Dari mana Tante dapatkan foto-foto mereka ini?""Aku ambil dari SW si Adrian. Kenapa?""Katanya enggak ada arsa. Tapi super kepo sama Adrian.""Kan sengaja mau aku kasih tunjuk ke kamu, Sell."Sella malas menanggapi. Saat mereka masih asyik berbincang. Terdengar suara derap sepatu yang baru masuk rumah. Namun Sella dan Santi mengabaikan. Mereka mas
"Aku tetap tak akan setuju dengan keputusan papa ini!" tegas Sella keras. "Ini semua gara-gara kau perempuan perek, sundel. Kau pasti sudah merencanakan ini semua sama pacar kamu itu. Iya 'kan?" teriak Sella semakin histeris."Sella!!!" Suara Handy meninggi. "Jaga ucapan kamu itu. Selama berbulan-bulan, hanya Linda yang memperhatikan Papa. Dia yang merawat Papa saat sakit. Lantas waktu itu kamu di mana?""Pa-pa, pernah sakit?" Sella menurunkan intonasi nada suaranya. "Ka-kapan itu, Pa?""Sudah berbulan-bulan lalu. Dan kau pun tak pernah tahu apalagi peduli sama Papa, Sell. Yang kamu ingat hanya kemarahan kamu aja. Papa juga butuh seseorang yang memberikan kasih sayang dan penuh perhatian sama Papa. Sedangkan kamu selama ini? Apa yang kamu lakukan sama Papa?"Sella yang semula berdiri seolah menantang Melinda dan papanya langsung kembali terduduk"Papa juga tak pernah menanyakan kenapa sikap Sella seperti itu. Iya 'kan? Semenjak kepergian Mama. Sell
Terkadang apa yang kita lihat dan rasa. Tak seburuk yang terbayang. Begitu pula soal hati. Sekeras apa pun Sella berusaha menentang, semua sudah menjadi sebuah keputusan. Yang mau tak mau harus bisa dia terima.Sulit dan menyakitkan. Kenyataannya memang iya. Akan tetapi, semua pasti ada khikmah di balik semua kesedihan dan kesulitan yang dialami."Kuatkan hatimu, Sella. Mungkin ini hanya kerikil dalam perjalanan hidup kamu. Aku yakin kamu bisa kuat dan tegar menghadapi semua ini dengan kedewasaan. Mbok Narmi akan selalu menemani kamu."_II_Cukup malam Romy sampai di apartemen. Tak biasanya dia pulang jam sepuluh malam. Baru sekali bel berbunyi. Salsa sudah membuka pintu. Dia tersenyum lebar menyambut kedatangan sang suami."Baru pulang, kenapa Mas?""Meeting!""Ohhh. Sini tasnya biar aku bawain," pinta Salsa."Enggak perlu! Lagian tangan kamu 'kan lagi sakit. Jangan banyak dibuat gerak.""Iya, Mas. Ehhh, tap