Adrian pun merengkuh bahu Amelia agar duduk lebih dekat. Dia pun merangkul pundaknya. Dan sesekali mencium rambut wangi Amelia.
"Kenapa kamu berubah pikiran?"
"Karena aku ingin mereka tahu, bahwa aku sudah bahagia sama kamu. Dan kita akan segera menikah."
"Apa kamu akan mengatakannya pada Romy?"
Amelia mendongak pada Adrian, yang juga tengah memandang dirinya.
"Kalau kamu ijinkan, aku akan bilang. Tapi, kalau menurut kamu itu enggak perlu. Ya enggak usah."
"Kurasa biar aku saja yang bilang. Kamu temani aku aja. Gimana?"
"Deal!"
Adrian menarik tangan Amelia agar memeluknya. Terlihat Amelia membenamkan wajahnya di dada Adrian yang berdegup kencang.
"Detak jantung kamu?"
"Selalu begitu kalau dekat kamu. Apalagi dipeluk kayak gini."
Terdengar lirih suara tawa mereka berdua.
"Dua minggu lagi di hari jumat. Kamu setuju, Adrian?"
"Aku terserah aja. Pasti Mbak Maya dan Mas Hartono inginkan yang terbai
Sontak Adrian terpaku saat melihatnya. Pakaian itu sangat pas di tubuh Amelia. Bahkan belahan yang sedikit rendah di bagian dada. Semakin membuat Adrian terpesona dengan keindahan tubuh Amelia."Bukan bagus lagi. Tapi, cantik Amelia Pratiwi."Adrian langsung merentangkan kedua tangan. Agar Amelia merapatkan padanya. Amelia pun mengahmbur pada Adrian, dan duduk di pangkuannya."Apa kamu ingin aku memakai baju ini waktu di akad nikah nanti?""Kamu ... mau?"Dengan tersenyum lebar Amelia mengangguk."Serius kamu mau memakainya?""Iya, Adrian sayang. Memangnya kenapa? Baju ini masih sangat bagus, enggak perlu beli lagi. Pasti harganya jutaan," bisik Amelia manja."Kalau kamu ingin beli yang baru, juga enggak apa-apa Sayang."Amelia menggeleng."Enggak perlu, Adrian! Ini saja cukup. Apa ada kerudungnya?""Ada juga. Lengkap semuanya di kotak putih yang tadi."Amelia pun bangkit dari pangkuan Adrian.
Sejenak jantung Amelia berdetak cukup kencang. Dadanya berdebar-debar kuat. 'Kenapa perasaan aku jadi kayak gini sih? Aku sampai sulit untuk bisa terlihat tenang.' "Kamu kok tegang gitu, Mel?" "Ehhh, enggak kok. Biasa aja Adrian." "Ya udah ayo turun!" Amelia pun mengikuti apa kata Adrian. Bergegas dia turun dari mobil dan mengikuti langkahnya menuju pos security. Tak lupa dia juga membawa sebuah bungkusan titipan dari keluarga Salsa. "Siang, Bapak. Mau tanya apa Bapak Romy dan Bu Salsa tinggal di kamar mana ya?" tanya Adrian. Lelaki itu berjalan mendekati mereka, dengan penuh selidik. "Mereka baru saja datang. Itu mobilnya!" Lelaki tegap itu menunjuk ke arah sebuah mobil. "Bisa tahu berapa nomer apartemennya?" "Lantai tiga, pintu kamar yang ada boneka beruang kecil. Saya lupa nomernya." "Oke, Bapak. Terima kasih banyak atas infonya," ucap Adrian santun. "Ihhh, itu securi
Tiba-tiba, suara lantang dan melengking berteriak dari dalam."Aku tak akan pergi ke pernikahan kaliaaan! Kau pembunuh Ibuku Amelia!"Adrian semakin erat menggenggam telapak tangan Amelia yang berkeringat dingin."Kau pembunuh Ibuku! Kau pembunuh ...!"Amelia tersentak. Sampai kotak yang terbungkus rapi itu terjatuh ke lantai. Dia bergerak mundur beberapa langkah."Amelia, sini!"Adrian menarik telapak tangannya. Dan mendekap pinggang Amelia dengan erat. Sedangkan Romy mengarahkan pandangannya pada Salsa yang sudah berada di belakangnya."Kau jangan membuat keadaan kacau. Sa!""Dia yang menyebabkan aku kecelakaan. Dia yang membuat Ibu meninggal, Mas. Apa kau juga membela dia?!" sentak Salsa.Sejenak keadaan menjadi hening. Tak ada sepatah kata yang berbicara. Semua pandangan kini tertuju pada Salsa. Yang masih bersikeras menuduh Amelia.Adrian mau dua langkah. Sikapnya terlihat sangat tenang. Tanpa ada emosi yang
Amelia berjalan mengikuti langkah Adrian yang terus menggandengnya."Kamu oke, Mel?""Entah, Adrian. Perasaan aku tiba-tiba sakit dengan tuduhannya.""Sudahlah, Sayang! Jangan buat sedih. Kalau Salsa ingin bersikap seperti itu. Biarkan saja. Mungkin dia sedang mencari pelampiasan terhadap perasaan bersalahnya pada diri dia sendiri.""Aku paham, Adrian. Cuman ... ahhh, sudahlah!""Baiknya, kamu fokus pada pernikahan kita yang tinggal 2 minggu lagi, Sayang.""Iya, Adrian. Maafkan aku."Adrian hanya tersenyum sembari megusap lembut rambut Amelia."Kita makan dulu aja ya?""Iya, Adrian. Cuman aku lagi enggak mood makan nih.""Ehhh, kalau sama aku harus makan. Kalau enggak, pasti aku suapin!"Sikap yang ditunjukkan Adrian begitu membuat Amelia tenang dan damai. Dia merasa terlindungi. Seakan nyaman berada di sisinya."Makasih Adrian atas semuanya.""Kok kamu bilang begitu.""Baru kali
"Aku punya alasan jelas, Adrian. Dan aku sangat yakin juga kalau kamu pasti tahu hubungan Papa dengan seorang cewek. Iya 'kan?" Tak ada jawaban atau sanggahan dari bibir Adrian. Dia hanya memandang Sella dengan sorot mata yang tajam. Sembari bermain jari-jarinya di atas meja. "Siapa nama kamu?" "Raffian, Mas." "Hemmm, berarti kamu juga yang disuruh Sella untuk membuntuti Amelia dan aku?" "I-iya, Mas," jawab Raffian tertunduk. "Dan kamu tau, tujuan dia apa?" Raffian menoleh ke arah Sella. "Bilang aja. Aku enggak akan bantu Sella kalau kalian berdua tak bilang jujur!" tegas Adrian. "Ya, karena Sella mencintai Mas Adrian. Dia juga cemburu sama Mbak Amelia." Sontak jawaban itu membuat Adrian terpingkal-pingkal. "Sella ... Sella!" "Kau sekarang mentertawakan aku, Adrian?" "Sorry, Sell. Buat aku ini lucu aja." "Ini enggak ada lucunya!" sentak Sella serius. Seketika Ameli
"Hallo!""Romy, akhirnya kau meneleponku. Apakah ini berkaitan dengan Amelia?""Aku ingin bertemu denganmu!""Baik. Kapan?""Sore ini jam enam. Aku tunggu di Hardcafe!""Oke, Romy."Sejenak Romy terdiam. Jemari tangannya mengetuk berkali-kali di atas meja kerja."Kenapa aku malah menghubungi dia?"Romy seperti tak menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Karena cemburu atau emosi sesaat. Yang jelas dia ingin wadah untuk menumpahkan semua kekesalannya. Namun, apa yang ada dalam pikirannya saat ini?"Aku hanya ingin menuangkan kekesalan aku saja," desis Romy.Satu jam berlalu ....Tampak Romy sudah barada di Hardcafe. Dia memilih duduk di paling ujung, biar sedikit tersembunyi. Tak berapa lama. Seorang wanita dengan gaya berpakaian stylish dan cantik walau usianya tak bisa dikatakan muda lagi.Romy melambaikan tangannya tinggi. Wanita itu tersenyum.
"Waktu kamu enggak banyak, Rom. Dapatkan lagi dia. Bila kau tubuh bantuan, telepon saja aku!" Santi pun berlalu meninggalkan Romy yang hanya bisa terpaku. Dia memikirkan apa yang dikatakan oleh wanita itu."Bagaimana bisa aku mendapatkan Amelia lagi? Sangat sulit."Romy melangkah menuju arah parkiran mobil. Baru saja dia duduk dan menyandarkan tubuhnya di jok. Terdengar suara notifikasi pesan masuk.Ting!{Tak akan sulit kalau kau yakin bisa mendapatkannya kembali!}"Ahhh! Santi ini bikin aku makin bimbang."Sejenak Romy terdiam. Sembari mengingat perkataan Santi, yang membuat dia gelisah. Dalam keresahannya, terdengar kembali notifikasi pesan berbunyi.Ting!Ternyata Santi mengirimkan pesan alamat dan nomer ponsel Amelia yang baru."Hemmm ... aku akan coba hubungi Amelia nanti malam."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan Cafe. Setelah kepergian mobil Romy. Santi tersenyum lebar. Ternyata dia belum pergi dari caf
"Mungkin Adrian memang mencintainya, Tan.""Kenapa kamu jadi pasrah seperti ini?""Aku bukan pasrah Tante. Aku mengkondisikan diri aku, Tante. Kalau ada seseorang yang tak aku sukai mengejar cintaku. Pastinya aku akan eneg. Begitu juga Adrian. Wajarlah kalau dia memilih Amelia. Cewek itu terlihat baik kok.""Kok kamu malah belain cewek itu?""Aku siang tadi ketemu mereka berdua.""Haaahhh, di mana?"Sella tak langsung menjawab. Dia melihat gelagat Santi terlihat aneh. Begitu menggebu-gebu jika menceritakan perihal Adrian.'Kayaknya Tante Santi ini suka sama Adrian. Dari gelagat dia mencolok banget. Hemmm ... gitu mancingnya ke aku,' batin Sella."Kamu kok malah diam sih? Ditanya juga kok enggak jawab?""Emang Tante tadi tanya apa?"Santi memalingkan muka. Dia merasa kesal dengan tanggapan Sella yang dingin. Lalu sibuk bermain ponselnya."Tante kok malah diam sih?""Kamu yang diem. Aku enggak