Laju mobil berwarna hitam itu, melesat kencang. Meninggalkan pusat kota Jogja. Setelah puas menghabiskan beberapa malam di sana. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Semarang.
"Aku deg-degan, Adrian. Kamu gimana?"
"Sedikit. Tapi, santai aja."
Malam ini Adrian terlihat sangat tenang. Tak terbesit kegelisahan atau keresahan yang melanda hati. Melihat sikap yang sangat matang seperti ini. Semakin membuat Amelia yakin. Bahwa Adrian pilihan tepat untuk dirinya.
"Apa sebaiknya enggak kamu telepon Mbak Maya?"
"Inginku sih berikan surprise buat dia, Adrian."
"Terserah aja, Mel. Mana yang menurut kamu nyaman aja."
Tiga jam berlalu ....
Mobil pun sudah berhenti di depan rumah Maya tepat pukul satu malam. Buru-buru Amelia turun dan menekan bel rumah. Cukup lama dia menunggu di depan pagar. Sesekali melihat ke arah Adrian yang menyandarkan kepalanya. Tampak dia sangat lelah dan mengantuk.
Ta
Sontak Amelia dan Adrian saling berpandangan. Dari gurat wajah mereka keheranan dengan rencana Maya itu."Mbak May, emangnya siapa Mbah Wiryo itu?""Wong pinter. Biar carikan hari yang baik buat kalian! Wes, enggak usah ngeyel kalau aku bilangin. Besok kita ke Mbah Wiryo! Iya kan Pah?""Iya. Bener yang Mbak kamu bilang Mel. Wong Jowo kudu ngerti Jowo ne (Orang Jawa harus tahu adatnya). Bukannya begitu kan Mas Adrian?"Adrian hanya bisa tersenyum masam. Dalam keluarganya tak pernah memakai adat yang terlalu pakem seperti ini. Hanya saja semua dia serahkan semua pada keluarga Amelia."Kalau saya serahkan semua pada Amelia. Enaknya seperti apa, Mas.""Ya, sudah kalau begitu. Besok kita ke Mbah Wiryo.""Tapi, Mbak. Aku paling enggak suka kalau sudah membahsa soal weton. Yang ada nanti malah kita enggak jadi nikah.""Wes toh ... ahhh! Yang terpenting kamu manut saja sama aku dan Mas kamu. Yo?"Amelia hanya bisa menga
Setelah Amelia mengantar Adrian ke kamarnya. Dengan langkah gontai, dia menuju kamar Romy. Dia menghela napas panjang sembari menempelkan punggungnya di daun pintu. Seraya melihat ke arah Dita dan Rini yang sudah terlelap.Amelia pun berjalan menuju sofa panjang yang berada didekat jendela. Dia hempaskan bokongnya, dengan menghela napas panjang. Sejenak Amelia masih terpaku dengan cerita Maya dan Handoko."Wanita itu meninggal? Apa, kecelakaan itu karena aku?" Berulang kali Amelia berdesis. Seperti tanya itu terus bersarang di kepala. Kepalanya pun di sandarkan ke sofa. Perasaan Amelia semakin tidak tenang. Bayangan mereka berdua saat melabrak ke rumahnya, semakin menghantui."Kenapa aku jadi enggak tenang kayak gini? Perasaan aku bilang kalau semua ini disebabkan karena aku. Tapi kenapa? Aku enggak melakukan hal apa pun. Enggak mungkin Salsa menyalahkan aku. Pasti enggak!"Tiba-tiba ...."Mbak Amel!"Suara Rini sangat mengejutkannya
Detik pun berlalu dengan cepat. Sampai sebuah tangan mempermainkan bulu matanya yang lentik. Hingga samar-samar Amelia mendengar suara yang sangat dia hapal."Mamaaa ...!""Ehhh ...."Amelia hanya menggeliat lemah. Dita kembali mempermainkan bulu matanya. Lalu meniup keras kedua mata Amelia."Mama bangung dong!""Hemmm, Dita. Jam berapa emangnya sekarang?""Udah siang, Ma. Budhe Maya udah selesai masak juga. Om Adrian malah udah rapi.""Haaahhh!"Sontak Amelia langsung beranjak turun. Bergegas dia menyambar handuk dan ke kamar mandi. Cukup lama Dita menunggunya di atas kasur."Mama, mandinya lama sih?""Bentar, Dita. Mama keramas biar seger nih.""Cepetan!"Tak lama kemudian. Amelia sudah berdandan cantik. Dia pun mengajak Dita keluar kamar."Kok enggak ikutan Mbak Rini?""Enggak mau. Sama Mama aja."Amelia menghampiri Maya, Hartono dan Adrian di ruang tengah."Maaf, Mbak
Terlihat ragu dan enggan Amelia untuk menjelaskan. Setelah Adrian memaksa. Pada akhirnya Amelia mulai menceritakan tentang mimpi buruk yang dia alami. Serta keresahan dan kegelisahan hati yang melanda dirinya."Kau, beranggapan kematian Ibu Salsa karena kamu?""Iya, Adrian. Aku mimpi buruk. Mereka seperti datang dan menyalahkan aku.""Sudahlah! Jangan dipikirkan, Mel! Itu hanya karena perasaan yang terus menghaatui saja. Masalahnya mereka baru menemui kamu dan ada perselisihan. Iya 'kan?"Amelia mengangguk. Dan menganggap semua yang dikatakan Adrian itu benar."Ya, kamu harus bisa keluar dari perasaan bersalah kamu itu, Mel!""Aku sedang coba ini, Adrian. Suliiiit ...!"Terdengar Adrian menghela napas panjang. Lalu menolah pada Amelia yang masih terlihat tegang. Tanpa banyak bicara lagi, Adrian menggenggam tangan Amelia dengan erat."Kamu harusnya bisa lebih tenang. Ingat, Mel. Ada aku yang selalu akan ada buat kamu," bisik Adr
Sepanjang perjalanan pulang dari Mbah Wiryo. Amelia lebih banyak terdiam. Maya yang mengetahui hal itu, berusaha menghiburnya. Dia pun mengusap lembut pundak Amelia berulang-ulang."Jangan dimasukkan hati. Kata Mbah Wiryo sebaiknya kalian mengambil hari baik jumat legi. Yang artinya dua minggu lagi. Bagaimana?""Saya manut (ngikut), Mbak aja.""Loh, ya kalian harus punya pendapat sendiri toh, Mel," sahut Hartono."Ehhh, nanti biar kita bicarakan lagi Mas. Pasti saya dan Amelia ada perencanaan, hanya saja belum matang.""Baguslah kalau begitu."Tampak Maya meraih tangan Amelia yang berada di atas pangkuan. Dia menggenggamnya erat."Akan banyak doa, pengharapan, kebahagiaan atas rencana kalian ini, Mel. Mbak pun sama. Berharap kamu segera bahagia bersama Adrian. Jangan pernah lelah berdoa dan terus berdoa. Apa yang telah dikatakan Mbah Wiryo tadi. Hilangkan buruknya, kita ambil baiknya saja.""I-iya, Mbak Maya. Aku enggak apa-apa
Amelia pun melempar pandangannya ke luar jendela. Walau dia tak mengerti sepenuhnya cerita Adrian. Tetap saja ada perasaan bersalah dalam hati."Dari situ dia aku antar pulang. Makanya aku tau apartemen dia.""Apa dia juga bercerita tentang perselingkuhan Romy? Atau seorang wanita yang merebut suaminya?""Kenapa pertanyaan kamu jadi seperti itu?""Ehhh, aku hanya ingin tau Adrian."Lelaki tampan itu tak menjawab pertanyaan Amelia. Dia terdiam sesaat dengan pandangan mata yang terfokus pada jalanan."Kok diam?""Mau jawab apa?""Ya, omongannya si Salsa waktu itu. Apa aja tentang aku? Pasti dia cerita 'kan?""Aku udah lupa. Tapi, dia enggak ada jelekin kamu. Atau marah sama kamu saat itu. Entah sekarang?""Hemmm ....""Udahlah. Hal yang enggak jelas jangan dipermasalahin, Mel."Amelia pun manggut-manggut. Dia melempar pandangannya pada jalanan yang mulai gelap."Adrian, kalau capek bilang
Adrian pun merengkuh bahu Amelia agar duduk lebih dekat. Dia pun merangkul pundaknya. Dan sesekali mencium rambut wangi Amelia."Kenapa kamu berubah pikiran?""Karena aku ingin mereka tahu, bahwa aku sudah bahagia sama kamu. Dan kita akan segera menikah.""Apa kamu akan mengatakannya pada Romy?"Amelia mendongak pada Adrian, yang juga tengah memandang dirinya."Kalau kamu ijinkan, aku akan bilang. Tapi, kalau menurut kamu itu enggak perlu. Ya enggak usah.""Kurasa biar aku saja yang bilang. Kamu temani aku aja. Gimana?""Deal!"Adrian menarik tangan Amelia agar memeluknya. Terlihat Amelia membenamkan wajahnya di dada Adrian yang berdegup kencang."Detak jantung kamu?""Selalu begitu kalau dekat kamu. Apalagi dipeluk kayak gini."Terdengar lirih suara tawa mereka berdua."Dua minggu lagi di hari jumat. Kamu setuju, Adrian?""Aku terserah aja. Pasti Mbak Maya dan Mas Hartono inginkan yang terbai
Sontak Adrian terpaku saat melihatnya. Pakaian itu sangat pas di tubuh Amelia. Bahkan belahan yang sedikit rendah di bagian dada. Semakin membuat Adrian terpesona dengan keindahan tubuh Amelia."Bukan bagus lagi. Tapi, cantik Amelia Pratiwi."Adrian langsung merentangkan kedua tangan. Agar Amelia merapatkan padanya. Amelia pun mengahmbur pada Adrian, dan duduk di pangkuannya."Apa kamu ingin aku memakai baju ini waktu di akad nikah nanti?""Kamu ... mau?"Dengan tersenyum lebar Amelia mengangguk."Serius kamu mau memakainya?""Iya, Adrian sayang. Memangnya kenapa? Baju ini masih sangat bagus, enggak perlu beli lagi. Pasti harganya jutaan," bisik Amelia manja."Kalau kamu ingin beli yang baru, juga enggak apa-apa Sayang."Amelia menggeleng."Enggak perlu, Adrian! Ini saja cukup. Apa ada kerudungnya?""Ada juga. Lengkap semuanya di kotak putih yang tadi."Amelia pun bangkit dari pangkuan Adrian.