Adrian mengurungkan kalimatnya. Dia takut menyinggung perasaan Amelia.
"Tapi, apa?" Amelia terus mendesak Adrian untuk mengatakannya. Sembari terus mencubit pinggang Adrian. "Tadi, mau ngomonmg apa?"
"Enggak jadi. Abaikan!"
"Iiihhh ... ini orang bikin penasaran."
Adrian hanya tersenyum, walau dalam hati ingin sekali dia berkata, 'Kalau sama Romy kamu enggak jual mahal. Huuufffh!'
Mereka berjalan menuju kafe yang berada di kawasan wisata itu. Mereka langsung naik ke lantai dua. Mengambil posisi yang berada di teras,yang bisa langsung melihat pemandangan di sekitar kafe.
"Adrian!"
"Hemmm ... apa?"
"Kamu benar-benar serius ingin hidup sama aku?"
"Apa aku kelihatan bercanda?"
Amelia menggeleng.
"Aku hanya tak ingin kecewa lagi, Adrian. Aku hanya ingin cinta yang tulus tanpa memandang apa pun. Ini lah aku, Amelia Pratiwi. Penuh kekurangan, apalagi dengan masa laluku."
Adrian menggapai telapak
Laju mobil Santi menembus pekatnya malam. Meluncur melewati jalan tol yang relatif lebih sepi. Hanya dua puluh menit berselang. Mobil Santi sudah turun memasuki kota. Menuju rumah sakit terbesar di kota itu. Pandangan mata Santi terus mengamati maps yang ada di ponselnya. "Sepertinya depan itu rumah sakitnya," bisik Santi, seraya mengarahkan mobil berbelok memasuki pelataran rumah sakit. "Aduhhh, mana aku lupa nama istri Romy lagi." Tampak Santi menepuk jidatnya. Sebelum keluar mobil dia membuka ponsel. Tangannya bergerak cepat mencari bekas chat yang pernah ada. Antara dia dan Salsa. "Salsa Munandar. Tepat sekali," bisik Santi, menyeringai. Bergegas dia turun dari mobil. Dengan langkah sangat bersemangat. Santi segera mendatangi ruang resepsionis. Senyumnya yang lebar mengembang. "Malam." "Malam, Mbak. Ada apa?" tanya seorang perawat ramah. "Mau tanya, Sus. Apa ada seorang pasien yang bernama Salsa Munan
"Mereka 'kan mau menikah."Bagai disambar petir di siang bolong. Romy menarik pergelangan tangan Santi dengan erat. Lalu sedikit menghentaknya."Jangan bohong kamu!!!" sentak Romy gusar. Sorot matanya seolah tengah menyelidik pada Santi. Yang tersenyum tak jelas. Seperti begitu menikmati permainan yang sedang dia jalankan."Buat apa aku bohong?"Santi menyodorkan ponsel dia pada Romy."Nih, kamu lihat sendiri SW Adrian! Wanita itu 'kan Amelia? Atau mungkin aku salah lihat?"Terdengar Romy menghela napas panjang. Dengan pandangan yang menyipit, dia mengarahkan tatap matanya pada Santi."Kayaknya kamu datang ke sini hanya sengaja untuk nunjukin ini ke aku?""Enggak! Jangan salah paham kamu Rom!""Kamu ini wanita berpendidikan tinggi tapi otak kamu rendah. Aku enggak percaya apa yang aku lihat. Bisa saja mereka hanya sedang ngobrol santai. Jangan mengajak aku untuk emosi, Sam!""Siapa yang ajak kamu untuk emosi
Dia tak langsung menjawab pertanyaan Romy. Salsa hanya memalingkan wajah melihat ke arah jendela kamar."Sa, jawab aku! Membenci apa?"Sejenak Salsa masih saja terdiam. Sorot mata yang tajam menatap penuh selidik."Aku membenci dia ...!""Siapa maksud kamu ini, Sa?""Seorang wanita yang selalu ada di hatimu. Aku, membenci Amelia!"Deg!Jantung Romy berdesir. Pandangannya penuh selidik pada Salsa, yang terlihat geram. Hembusan napasnya yang memburu. Seperti menyimpan bara api kebencian pada Amelia. Dan Romy tahu, walau tak pernah mengerti alasan kuat Salsa untuk hal itu. Kecuali hubungan antara dirinya dan Amelia."Apakah ada hal lain yang tak aku ketahui?""Dialah penyebab kematian Ibu!""A-apa maksud kamu?""Semua, gara-gara wanita sialan itu. Dia yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi," ucap Salsa berdesis.Kalimat yang terlontar semakin membuat Romy penasaran. Dia terus memaksa sang istri untuk b
"Amel!" "Apa Adrian?" "Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu masih mencintai Romy?" Seketika pertanyaan klasik Adrian membuat Amelia menoleh padanya. Dia langsung berhenti dan berjalan pelan, hingga berdiri di depan Adrian. "Aku akan setia padamu, sampai kapan pun! Jangan pernah ragukan hal ini, Adrian." Binar kedua mata mereka terlihat benderang. Penuh kebahagian oleh rasa ketulusan dan kepercayaan. "Sedikit pun aku tak pernah ragu." Sontak kalimat yang keluar dari bibir Adrian, membuat Amelia membenamkan kepalanya di dada bidang Adrian. Sesaat merasakan detak jantung lelaki tampan ini, yang terasa lembut teratur. "Kenapa?" "Entah, Adrian. Malam ini, menaruh kepalaku di dada kamu seperti ini, membuat aku nyaman. Aku merasa seperti anak kecil yang berada dalam dekapan seorang ayah. Begitu melindungi dan menjaga aku agar tak terluka. Apa ... kamu akan melakukan hal yang sama?" "Kelihatannya, gimana?"
Amelia kembali membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Adrian. Membiarkan debaran di dada mereka masing-masing semakin bergemuruh."I love you, Adrian. Kau yang mampu membuat hatiku tenang dan nyaman."Seulas senyum mengambang di wajah tampan Adrian."Aku ingin detik ini juga menikahi kamu."Terdengar gelak tawa Amelia. Dia langsung menarik tangan Adrian untuk duduk di atas kasur."Duduklah sini, Adrian.""Kenapa nih? Mau dikasih?""Iiishhh ...!" Cubitan mesra bersarang di pinggang Adrian. "Aku ingin kamu memakai cincin ini!" Tampak Amelia mengeluarkan sebuah kalung dari balik bajunya. Sebuah cincin dengan batu berwarna hijau tua. Terlihat sangat unik dan menarik."Smoga cukup di jari kamu Adrian."Amelia meraih jemari Adrian yang terasa sangat mulus dan lembut. Lalu memasangkannya perlahan."Memangnya ini cincin siapa?""Ini cincin hadiah ulang tahun Mas Faiz. Saat itu aku mmeblinya sebagai kado ulang
Kali ini mereka berdua terdiam. Hanya pandangan mata yang berbinar mengartikan rasa yang ada pada diri mereka malam ini."Iya, Adrian. Aku selalu kamu ada di saat aku hancur dan terpuruk.""Tahu doa aku?"Amelia menjawab dengan gelengan kepala."Aku berdoa kamu akan jadi istri aku.""Serius?""Mungkin kamu malah enggak pernah sangka kalau aku akan berdoa seperti itu. Karena saat itu pun aku ragu bisa dapatkan dirimu, Mel. Karena yang aku lihat kalian berdua saling mencintai dengan segala permasalahan yang tampak di permukaan. Tapi, kamu--""A-ku, kenapa?""Kamu berani menabraknya. Seperti menghantam arus sungai yang paling deras. Dan, itu bukan cuman kamu, Romy pun melakukan hal yang sama. Gila enggak sih kalian ini? Keren waktu itu dalam pikiran aku. Saat kita pertama kali ketemu di hotel. Yang Romy waktu itu cemburu. Kalau enggak salah pas dia baru nikahan.""I-iya, kenapa?""Dalam pikiran aku saat itu. Ini anak
Laju mobil berwarna hitam itu, melesat kencang. Meninggalkan pusat kota Jogja. Setelah puas menghabiskan beberapa malam di sana. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Semarang."Aku deg-degan, Adrian. Kamu gimana?""Sedikit. Tapi, santai aja."Malam ini Adrian terlihat sangat tenang. Tak terbesit kegelisahan atau keresahan yang melanda hati. Melihat sikap yang sangat matang seperti ini. Semakin membuat Amelia yakin. Bahwa Adrian pilihan tepat untuk dirinya."Apa sebaiknya enggak kamu telepon Mbak Maya?""Inginku sih berikan surprise buat dia, Adrian.""Terserah aja, Mel. Mana yang menurut kamu nyaman aja."Tiga jam berlalu ....Mobil pun sudah berhenti di depan rumah Maya tepat pukul satu malam. Buru-buru Amelia turun dan menekan bel rumah. Cukup lama dia menunggu di depan pagar. Sesekali melihat ke arah Adrian yang menyandarkan kepalanya. Tampak dia sangat lelah dan mengantuk.Ta
Sontak Amelia dan Adrian saling berpandangan. Dari gurat wajah mereka keheranan dengan rencana Maya itu."Mbak May, emangnya siapa Mbah Wiryo itu?""Wong pinter. Biar carikan hari yang baik buat kalian! Wes, enggak usah ngeyel kalau aku bilangin. Besok kita ke Mbah Wiryo! Iya kan Pah?""Iya. Bener yang Mbak kamu bilang Mel. Wong Jowo kudu ngerti Jowo ne (Orang Jawa harus tahu adatnya). Bukannya begitu kan Mas Adrian?"Adrian hanya bisa tersenyum masam. Dalam keluarganya tak pernah memakai adat yang terlalu pakem seperti ini. Hanya saja semua dia serahkan semua pada keluarga Amelia."Kalau saya serahkan semua pada Amelia. Enaknya seperti apa, Mas.""Ya, sudah kalau begitu. Besok kita ke Mbah Wiryo.""Tapi, Mbak. Aku paling enggak suka kalau sudah membahsa soal weton. Yang ada nanti malah kita enggak jadi nikah.""Wes toh ... ahhh! Yang terpenting kamu manut saja sama aku dan Mas kamu. Yo?"Amelia hanya bisa menga