“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang.
Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan pertanyaan seperti itu sama aku?” “Kamu nggak percaya sama aku? Atau kamu curiga sama aku?” cecar Andara. Galang menatap Andara sekilas sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Menatap rerumputan di bawah kursi yang ia duduki. “Kenapa diam aja sekarang?” Andara tampak tak sabar ketika melihat Galang hanya terdiam saja. “Jawab dong!” Andara mulai hilang kesabaran ketika melihat Galang hanya diam saja di tempatnya. Galang menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Andara. “Aku cuma pengin tahu aja. Siapa cowok yang nganterin kamu semalam? Apa dia pacar kamu? Kalau dia pacar kamu …” “Dia temen kuliah ku. Dan kami nggak ada hubungan apa-apa selain teman biasa,” potong Andara cepat. Galang menghela napas sekali lagi. “Yakin cuma berteman biasa saja? Enggak ada sesuatu yang menyelinap di dalam hati masing-masing dari kalian?” cecar Galang. Andara mengangguk yakin. “Mau percaya atau enggak … itu urusan kamu. Yang jelas aku udah ngomong jujur. Enggak ada yang aku tutup-tutupi dari kamu,” tegas Andara. Andara tak bisa lagi menyembunyikan perasaan kesalnya terhadap lelaki yang kini berstatus menjadi suaminya itu. Galang menganggukkan kepalanya. Dia lalu mencondongkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu di telinga Andara. “Jangan pernah mainin perasaan orang yang pernah terluka oleh masa lalunya!” bisik Galang. Belum sempat Andara menyahut, Galang bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Andara yang tampak kebingungan dan hanya bisa terpaku di tempatnya. ******************* Sudah beberapa hari ini sikap Galang tak berubah. Lelaki itu masih bersikap dingin dan hanya berbicara seperlunya saja dengan istrinya itu. Terkecuali di depan kedua orang tua Andara. Dia akan bersikap biasa saja seolah tak ada masalah di antara mereka berdua. Namun, ketika mereka sedang berdua saja, sikap Galang akan kembali dingin dan kaku. Andara bukannya diam saja melihat sang suami seperti ini. Dia berusaha untuk mencairkan dinginnya sikap Galang dengan berbagai cara. Namun, sejauh ini usahanya belum membuahkan hasil. Galang masih saja bersikap dingin padanya. Seperti pagi ini, Andara tampak bersiap akan pergi kuliah. Dia duduk di depan meja rias dan mulai menyapukan make up tipis ke wajahnya. Galang yang baru saja selesai mandi, tampak melirik sekilas ke arah sang istri. “Aku hari ini pulang sore. Soalnya aku ada janji sama Anessa mau ke toko buku dulu,” ucap Andara sembari menatap pantulan tubuh sang suami di cermin riasnya. Galang tak merespon ucapan sang istri. Dia hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan aktifitasnya sendiri. “Boleh nggak aku pergi sama Nessa?” tanya Andara sekali lagi. Galang tak merespon pertanyaan dari sang istri. Dia lagi-lagi hanya melirik sekilas ke arah Andara tanpa berniat untuk membuka mulutnya sedikit pun. Andara menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan sedikit kasar. “Aku tanya baik-baik lho sama kamu. Tolong dong dijawab dengan baik!” ucap Andara. Galang tampak tak peduli. Dia masih saja sibuk merapikan kemejanya. “Bisa nggak sih bersikap biasa aja? Enggak usah kayak anak kecil gini?” protes Andara. Galang menyunggingkan senyum miring. “Diizinkan atau enggak, kamu pasti bakalan tetap pergi, kan?” sergah Galang. “Jadi, buat apa minta izin lagi?” Setelah berkata demikian, Galang pergi keluar kamar. Meninggalkan Andara dengan setumpuk kesal yang semakin menggunung. “Sabar, Ra! Sabar! Orang sabar badannya lebar eh salah. Orang sabar rejekinya lebar!” Andara mengelus dadanya sembari menarik napas dalam-dalam. Di ruang makan, tampak kedua orang tua Andara duduk sembari menikmati sarapan pagi masing-masing. Wajah keduanya nampak sangat berseri-seri bahagia. “Selamat pagi, Pa, Ma,” sapa Galang begitu dirinya sampai di ruang makan. “Selamat pagi menantuku yang ganteng rupawan se-Indonesia raya Nusantara alam semesta.” Mama membalas sapaan Galang dengan senyum menggoda. Membuat Papa yang duduk di sampingnya memelototkan matanya. Galang tersenyum mendengar sang mama mertua memujinya. “Lebay!” sahut Andara yang tiba-tiba sudah berada di ruang makan. “Cowok modelan gitu dibilang ganteng seantero Nusantara. Ganteng dari mananya coba?” gerutu Andara. “Hus!” sergah Mama. “Emang beneran ganteng kok. Iya kan, Pa?” Mama mencoba mencari dukungan dari Papa. “Emang beneran ganteng kok. Ya sebelas dua belas lah sama Papa.” Papa menimpali ucapan Mama sembari menaik-turunkan alisnya. Andara mencebikkan bibirnya setelah mendengar ucapan sang papa. Kemudian tanpa menjawab lagi, dia segera menarik kursi dan menempatkan bobot tubuhnya di sana. “Em … Ma, Galang mau minta izin. Nanti sore kita berdua mau pulang ke rumah,” ucap Galang. Senyum Mama mendadak hilang ketika mendengar ucapan Galang. Dahi wanita berparas lembut itu berkerut. “Kok mendadak mau pulang? Kenapa? Enggak betah ya tinggal di sini? Keganggu ya aktifitas kalian berdua?” cecar Mama. Galang tersenyum ramah. “Bukan begitu, Ma! Cuma nggak enak aja ninggalin rumah terlalu lama. Apa lagi kita berdua mau ….” Galang tak meneruskan kalimatnya. Dia lantas melirik ke arah sang istri yang terlihat cuek dan terus mengunyah makanannya. Mama dan Papa yang awalnya hanya bengong kini mengerti arti lirikan mata sang menantu. Keduanya lantas tersenyum penuh arti. “Ooo iya. Papa paham kok. Kalian mau …” Papa tak meneruskan kalimatnya, tetapi alisnya tampak naik turun dengan senyuman jahil yang terlukis di wajahnya. Galang menundukkan kepalanya. Menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba saja muncul. Sedangkan Andara masih tampak cuek saja. Dia tak menghiraukan celotehan papanya walaupun di dalam hati dia penasaran apa maksudnya? “Aku udah selesai.” Andara bangkit dari tempat duduknya dan segera menyambar tas selempang yang senantiasa menemaninya ke kampus. “Pa, Ma, aku berangkat dulu ya!” Andara berpamitan seraya mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian. “Aku anterin kamu ya?” tawar Galang dengan nada lembut. Belum sempat Andara menjawab, Galang sudah berdiri dan menggandeng tangan sang istri. Setelah berpamitan, mereka berdua lantas berjalan sembari tetap bergandengan tangan. Namun, saat akan sampai di ruang tamu, telinga Andara menangkap suara yang membuat dadanya menjadi sesak seketika.Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E