Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna.
“Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyangka Dirga bisa Setega ini sama aku,” ujar Andara. Matanya menatap kosong ke depan. Seolah seluruh semangat hidupnya habis saat melihat perselingkuhan yang dilakukan oleh Dirga. “Kurang apa sih aku sama dia?” tanyanya entah pada siapa. “Selama ini aku selalu berusaha untuk setia sama dia. Enggak pernah aku bikin dia kecewa. Walaupun kita lagi berjauhan sekali pun. Aku nggak pernah punya niat untuk menduakan cintanya. Tapi, … tapi, kenapa dia setega ini sama aku?” Anessa mengelus punggung sahabat baiknya itu. Memberikan dukungan dan menyalurkan energi semangat untuk Andara yang sedang patah hati. “Aku bahkan rela melawan orang tua demi bisa jalan sama dia. Bohong sama kakakku dan ….” Tiba-tiba Andara bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk beranjak dari tempat itu. Anessa yang sejak tadi bersama dengannya nampak kebingungan melihat perubahan sikap sang sahabat. “Mau ke mana, Ra?” tanya Anessa. “Aku harus minta maaf sama Papa dan Mama. Sama kakakku juga. Karena udah bikin kecewa mereka semua. Bahkan … bahkan terakhir aku berdebat sama Papa gara-gara ….” Andara tak melanjutkan perkataannya. Dia berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju halte yang ada di pinggir taman. Anessa yang melihat itu segera berdiri dan mengikuti langkah sahabat baiknya itu. Namun, saat akan tiba di halte yang ada di sekitar taman itu, Andara menghentikan langkahnya. “Kenapa?” tanya Anessa yang juga telah tiba di dekat Andara. “Taksinya udah datang belum?” tanya Andara pada Anessa dengan tampang konyol. Anessa menepuk keningnya sendiri. Gadis berambut panjang itu merasa heran dengan sahabatnya itu. Dalam situasi apa pun, dia masih bisa bersikap konyol dan penuh kejutan. Berbeda dengan dirinya yang ketika bad mood atau tak enak hati, dia pasti akan lebih banyak diam. “Tadi katanya kamu pesan taksi, kan?” tanya Andara lagi. “Udah datang belum taksinya?” Anessa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia mengusap layar ponsel pintarnya untuk melihat ke aplikasi taksi online. “Sebentar lagi, Ra. Paling lima menit lagi taksinya sampai,” jawab Anessa. “Kita tunggu aja di halte itu. Daripada nunggu di sini. Udah kayak penunggu pohon beringin aja kita berdua.” Anessa mengulas senyum ketika melontarkan candaan itu. Andara ikut tersenyum mendengar candaan Anessa. Keduanya lalu berjalan menuju halte yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. ******************* Beberapa hari kemudian, Andara sudah kembali seperti biasa. Walaupun hatinya masih sakit jika teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Dirga. Akan tetapi, dia berusaha untuk terlihat biasa saja di depan semua orang, termasuk di depan kedua orang tuanya. Beruntungnya Papa sepertinya lupa akan tantangannya waktu itu. Buktinya Papa sama sekali tak menyinggung soal Dirga dan perjodohan itu beberapa hari ini. “Enggak kuliah kamu, Ra?” tanya Papa saat mereka berada di meja makan. Menikmati sarapan yang sudah terhidang di hadapan masing-masing. Andara menggelengkan kepalanya. Tangannya sibuk menyuapkan nasi goreng sosis ke dalam mulutnya. “Berarti kamu hari ini di rumah aja, kan?” cecar Papa. Andara menghentikan aktivitasnya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Matanya menatap ke arah Papa dengan tatapan penuh tanya. “Emang kenapa, Pa?” Tak tahan juga Andara untuk tidak bertanya seperti itu. Papa menyunggingkan senyum misterius. Sedangkan Mama hanya senyum-senyum tidak jelas ketika mendengar pertanyaan sang anak gadis. “Pada kenapa sih? Enggak jelas banget deh,” kesal Andara yang pertanyaannya tidak mendapatkan respon dari Papa dan Mama. “Hari ini kakak kamu mau datang. Kita juga ada tamu spesial yang datang hari ini juga. Jadi, Mama harap kamu tetap berada di rumah dan nggak keluyuran ke mana-mana,” pinta Mama. “Tamu siapa sih, Ma?” tanya Andara penasaran. “Ada deh. Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri siapa tamunya. Iya kan, Pa?” Mama mencari dukungan pada Papa yang tengah menguk minumannya. “Pokoknya hari ini kamu jangan pergi ke mana-mana! Diam saja di rumah. Bantuin Mama dan Bi Idah masak. Soalnya tamu ini tuh spesial banget,” jelas Mama. Andara semakin dibuat penasaran dengan perkataan kedua orang tuanya. Sespesaial apa sih tamu itu? Sampai-sampai dirinya tidak diizinkan keluar rumah seharian ini? Apa jangan-jangan tamu itu berhubungan dengan orang yang akan dijodohkan dengannya? “Oh iya, gimana misi kamu untuk membawa pacar tersayang mu ke sini? Berhasil?” Tiba-tiba saja Papa menyinggung soal itu lagi. Andara terkesiap mendengar pertanyaan bernada cibiran itu. Dia tampak gelagapan dan tak tahu harus menjawab bagaimana. “Gagal? Dia nggak mau datang ke sini? Takut ketemu sama Papa dan Mama?” cecar Papa. Membuat Andara semakin ciut. “Papa kan sudah bilang sama kamu. Laki-laki kayak gitu nggak bakalan pernah serius sama kamu. Dia pacaran sama kamu hanya untuk have fun aja. Enggak bakalan ada niatan untuk ke jenjang yang lebih lanjut lagi,” terang Papa panjang lebar. Andara terdiam mendengar ucapan Papa. Benar apa yang dikatakan oleh Papa. Dirga memang tak pernah bisa diajak untuk serius. Dia berpacaran dengan Andara hanya untuk have fun saja. Bukan untuk menjadikan Andara istri atau berniat untuk serius dengan gadis itu. “Lebih baik sekarang kamu putusin aja cowok kayak gitu, Ra,” timpal Mama. “Enggak ada gunanya kamu mempertahankan hubungan dengan cowok model begitu. Bikin susah aja yang ada,” lanjut wanita yang masih tampak cantik itu. Andara menoleh ke arah sang mama yang duduk di sebelahnya. Dalam hati dia membenarkan semua ucapan kedua orang tuanya. Tak ada gunanya juga dia bersikeras bertahan sendirian. Sedangkan Dirga memilih untuk membagi hatinya bahkan dia juga bertindak terlalu jauh. Kini dirinya baru menyadari jika ucapan kedua orang tuanya benar-benar terjadi padanya. “Sekarang Papa mau tanya sama kamu,” ujar Papa. “Kamu mau menerima perjodohan ini, kan? Menerima apa adanya calon suami pilihan Papa dan Mama?” tanya lelaki berwajah sangar itu. Andara menatap Papa dan Mamanya secara bergantian. Hatinya berkecamuk tak karuan. Dia memang telah gagal membawa Dirga untuk menghadap orang tuanya. Namun, dia juga tidak ingin menerima perjodohan ini. Apalagi harus menikah dengan seorang lelaki tanpa tahu rupa dan wajahnya seperti apa? “Kamu mau kan, Ra?” Kali ini Mama yang bertanya. Wanita itu menyentuh bahu Andara dan menatap putrinya dengan penuh harap. Membuat Andara semakin tersudut karena tatapan mata itu. Andara menghela napas panjang. Memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya menyatakan sesuatu untuk menjawab pertanyaan kedua orang tuanya.Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E