Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh.
“Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan jarinya ke arah pintu kamarnya. Galang tak menyahut. Lelaki itu tampak berjalan perlahan menuju kamar yang ditunjukkan oleh sang istri barusan. Di dalam kamar, Galang meletakkan tas ranselnya begitu saja di lantai. Dia lalu duduk di atas pembaringan sembari melamun. Kejadian beberapa tahun silam kembali membayang di benaknya. Apalagi setelah melihat Andara bercengkerama dengan teman lelakinya barusan, menambah rasa takut itu semakin besar. ‘Dia nggak mungkin seperti itu. Dia bukan cewek yang suka mengobral kata demi mendapat perhatian dari lawan jenis,” ucap Galang dalam hati. ‘Tapi, dia juga cewek biasa. Bisa aja dia mencari perhatian di luar sana. Apalagi pernikahan ini bukanlah yang dia inginkan. Dia terpaksa menerima semua ini demi baktinya pada kedua orang tuanya,’ bisik sudut hati Galang yang lain. ‘Kalau dia merasa terpaksa, kenapa dia mau saja menerima perjodohan ini. Apa dia tidak mencoba menolak atau kabur mungkin sebelum hari akad tiba?’ bisik sudut hatinya yang lain lagi. ‘Ya … mungkin dia sudah menolaknya. Namun, apalah daya. Keinginan orang tua jauh lebih penting daripada kebahagiaan dia sendiri.’ Suara hati Galang saling sahut menyahut. Galang hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. ‘Yang jelas, dia itu sama kayak mantanmu yang dulu. Semua perempuan memang seperti itu, bukan? Selalu mencari yang lebih lagi.’ ‘Andara bukan perempuan seperti itu. Dia itu adalah gadis baik-baik yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi orang tuanya.’ Galang menyanggah bisikan hatinya. Walaupun belum sepenuhnya mengenal Andara, tetapi dia yakin jika Andara adalah gadis baik-baik. ‘Halah! Bulshit! Bukankah mantan kamu yang dulu juga seperti itu? Berpura-pura polos, tapi main belakang hingga berbuat ….’ Galang nyaris berteriak ketika teringat kembali kejadian dulu. Namun, dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menahannya. Dipejamkannya rapat-rapat matanya dan digenggamnya kuat-kuat pinggiran tempat tidur tempatnya duduk. Perlahan dia menggumamkan kalimat istigfar dan berusaha menenangkan gemuruh di dalam hatinya seorang diri. Sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk segera pergi tidur dan berharap esok akan lebih baik lagi. Esok paginya, Galang berusaha bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan melupakan kejadian semalam. Namun, ketika melihat wajah Andara di depan matanya. Bayangan kejadian semalam tebayang kembali. Emosi yang sedikit demi sedikit mulai padam. Kini berkobar kembali dan tanpa sadar Galang membanting sendok yang sedang ia pegang. Semua orang yang berada di meja makan tampak kaget melihat sikap Galang. Termasuk Andara yang sedang duduk di sebelahnya. “Kenapa, Lang?” tanya Zacky yang duduk di seberang Galang. Galang tampak terkejut mendengar pertanyaan Zacky. “Hah … em … enggak … enggak apa-apa kok,” jawab Galang dengan terbata-bata. “Beneran nggak apa-apa?” Zacky memastikan lagi ucapan Galang yang menurutnya meragukan itu. Galang mengangguk. “Cuma … cuma lagi … cuma lagi kepikiran sama target bulan ini,” sahut Galang. Zacky tersenyum mendengarnya. “Santai aja, Bro. Pasti achieve lah. Lagian tinggal sedikit lagi, kan kurangnya?” Galang membalas ucapan Zacky dengan senyuman juga. Setelah menyelesaikan sarapan, Galang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Begitu pula dengan Zacky. Laki-laki itu juga berdiri dari kursinya dan menyambar tas ransel yang sejak tadi teronggok manis di sofa ruang keluarga. “Kamu lagi berantem ya sama Galang?” Tiba-tiba Desty berbisik di telinga Andara. Membuat Andara menoleh dengan ekspresi wajah heran. “Maksud, Mbak Desty?” tanya Andara tak mengerti. Desty menghela napas panjang. Belum sempat mulutnya terbuka untuk mengeluarkan jawaban, Zacky menyahut terlebih dahulu. “Aku berangkat dulu ya,” pamit Zacky. “Nanti mau dibawain apa?” Desty tersenyum. Dia lalu meraih tangan sang suami dan menciumnya. “Enggak usah, Mas. Aku cuma mau izin aja. Nanti mau ke swalayan sama Andara. Boleh, kan?” “Boleh, Sayang. Asalkan jangan lupa makan dan janga lupakan aku!” jawab Zacky sok romantis. Andara yang mendengar kata-kata itu menampakkan ekspresi eneg dan jijik. “Jijik kali dengar omongan gombal macam itu,” sambar Andara. Zacky meleletkan lidahnya ke arah sang adik. “Biarin aja. Kalau mau romantis-romantisan … tuh sama suami kamu sendiri!” sergah Zacky. Andara memelototkan matanya. Mulutnya sedikit terbuka dan bersiap untuk membalas ucapan sang kakak. Namun, suara Galang menghentikannya dan tanpa aba-aba, lelaki itu mencium kening Andara sebelum beranjak pergi. Andara terkejut melihat perlakuan Galang padanya. Kedua pipinya terasa memanas dan hatinya terasa aneh. Selama ini lelaki itu tak pernah menunjukkan sisi romantisnya di depan orang lain. Bahkan ketika mereka hanya berdua di dalam kamar, Galang lebih suka menyibukkan diri dengan gadgetnya. “Yuk, Ra! Keburu siang entar.” Suara Desty membuyarkan lamunan Andara. “Eh i-iya, Mbak. Ayo … ke mana?” tanya Andara dengan tampang polosnya. Desty mendecakkan lidahnya. Gemas sekali dia melihat tingkah sang adik ipar yang kadang membuatnya ingin terbang ke langit itu. “Gini nih kalau si Putri cuek dapat pasangan yang romantis. Baru dikecup keningnya aja udah hilang ingatan,” ledek Desty. Andara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Cengiran khas dan tampang innocent pun tergambar jelas di wajahnya yang cantik. “Udah ah ayo buruan!” Desty menarik tangan Andara agar gadis itu mengikuti langkahnya. Malam harinya, Galang mengajak Andara untuk jalan-jalan berdua. Galang ingin menanyakan perihal lelaki yang tempo hari mengantarkan istrinya itu pulang ke rumahnya. “Kamu punya pacar, Ra?” Galang tiba-tiba menanyakan hal yang membuat Andara menatapnya lekat-lekat. “Hah! Maksudnya?” tanya Andara. Galang menyunggingkan senyum miring ketika mendengar pertanyaan Andara. “Enggak mungkin kamu nggak mengerti pertanyaan ku. Dan nggak mungkin juga seorang cewek kayak kamu nggak punya pacar.” “Maksud kamu apa sih? Kok tiba-tiba nanya kayak gitu?” Andara masih belum sepenuhnya mengerti ke mana arah pembicaraan ini. “Cowok kemarin itu, dia … dia pacar kamu, kan?” tanya Galang to the point. “Cowok yang mana?” Galang kembali menyunggingkan senyuman miring mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut sang istri. “Berarti banyak ya cowok yang sering antar jemput kamu?” Pertanyaan Galang semakin membuat Andara tak mengerti. Dia lantas kembali bertanya pada Galang apa maksud dari pertanyaan yang lebih mirip sebuah tuduhan itu. “Jawab aja pertanyaan aku,” ujar Galang. “Kamu punya pacar?” Andara menghela napas panjang. Kepalanya lantas menggeleng pelan. “Terus cowok yang semalam itu siapa? Selingkuhan kamu?” cecar Galang. “Kok jadi bawa-bawa selingkuhan sih?!” sergah Andara. “Aku memang bukan perempuan baik-baik, tapi aku pantang selingkuh ketika hubunganku belum selesai,” tegas Andara. Galang memalingkan wajahnya. Tampak sekali dirinya menahan rasa marah dan cemburu. Entah sejak kapan perasaan itu ada di dalam hatinya. “Lagian kenapa sih kok tiba-tiba Mas Galang tanya tentang itu? Bukannya ….” Belum sempat kalimat Andara selesai terucap. Galang melakukan sesuatu yang membuat bibir wanita muda itu terdiam seketika.“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E