Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil.
‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas panjang sekali lagi. Ia semakin memejamkan matanya. Berbisik dalam hati, berharap Tuhan mendengar semuanya. Hanya takdir Tuhan yang ia percaya saat ini. Sore harinya, Andara kedatangan tamu spesial. Keluarga calon suaminya datang dengan membawa harapan besar. Andara yang memang masih setengah hati menerima perjodohan itu hanya bisa pasrah dan menuruti semua ucapan kedua orang tuanya. “Nah, kalau sudah begini. Bagaimana kalau kita segera tentukan tanggal untuk pertunangan keduanya,” ucap seorang pria berbadan gemuk dengan kulit putih dan mata sipit. “Setuju. Lebih cepat lebih baik. Bukan begitu?” sahut Papa dengan antusias. “Bagaimana, Lang? Kamu setuju untuk segera bertunangan dengan Andara?” Seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengan Mama bertanya sembari menatap mata sang anak dalam-dalam. “Terserah Mama dan Papa aja. Aku ikut aja. Kalau memang itu yang terbaik, aku setuju,” jawab Galang—lelaki yang dijodohkan dengan Andara. Wanita dan pria yang duduk di samping kanan dan kiri Galang tampak menganggukkan kepalanya. Mereka lantas menatap ke arah kedua orang tua Andara dengan tatapan meminta pendapat. “Kalau kamu gimana, Ra?” tanya Mama. “Apa kamu setuju?” Andara mengangkat bahunya. “Aku ikut apa kata Mama dan Papa. Karena kalian yang lebih tahu mana yang terbaik untuk aku,” sahut Andara. Mama dan Papa tersenyum mendengar jawaban Andara. Begitu juga dengan kedua orang tua Galang. Mereka juga tampak lega dan senang setelah mendengar ucapan dari calon menantunya itu. “Alhamdulillah,” ucap semua yang ada di ruangan itu hampir bersamaan. “Kalau gitu Minggu depan kita langsungkan pertunangannya,” ucap orang tua Galang. “Ide bagus tuh. Lebih cepat lebih baik, kan?” sahut Papa antusias. “Bagaimana menurut kamu, Ra?” tanya Mama. Tangannya mengelus punggung Andara dengan lembut. Mama tahu apa yang ada di dalam pikiran Andara saat ini. Andara menghela napas panjang sembari mengangkat bahunya. “Terserah Mama dan Papa aja. Aku nurut aja.” “Kalau menurut kamu gimana, Lang?” Kali ini giliran orang tua Galang yang menanyai anaknya. Sama seperti Andara, lelaki itu mengatakan hal yang sama. “Semua terserah Mama dan Papa. Aku yakin apa pun keputusan Papa dan Mama adalah yang terbaik.” “Oke. Kami anggap kalian setuju dengan keputusan ini. Sekarang tugas kita adalah mempersiapkan segalanya Beberapa hari setelah pertemuan itu, acara pertunangan pun digelar. Andara tampak begitu cantik dengan balutan kebaya berwarna abu-abu. Riasan wajah yang tak terlalu tebal semakin memancarkan aura kecantikannya. Galang pun tak kalah mempesonanya. Lelaki itu tampak begitu gagah dengan balutan kemeja batik dan celana bahan. Acara pertunangan itu pun berjalan dengan sempurna. Lancar dan tanpa halangan apapun. Galang tampak mengulas senyum tipis setelah menyematkan cincin di jari manis Andara. Andara pun tampak tersenyum walaupun dengan setengah hati. ******************* Hari-hari berlalu dengan cepatnya. Tak terasa sebulan sudah Andara menjadi tunangan seorang duda pilihan mamanya. Walaupun masih setengah hati menerima semua ini, Andara tetap berusaha untuk bersikap baik di depan tunangannya itu. Dia tak ingin membuat kecewa kedua orang tuanya. Tak terasa hari pernikahannya hanya tinggal dua bulan lagi. Semakin mendekati hari pernikahannya, Andara semakin dilanda kegundahan. Apalagi salah seorang sepupunya memberitahu dirinya tentang sulitnya kehidupan setelah menikah. “Kamu pikirkan lagi aja, Ra,” ujar sepupu Andara. “Jangan terburu-buru! Apalagi calon suami kamu itu adalah seorang duda. Pastinya nanti kamu bakalan dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya.” “Kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang. Apa kamu rela kehilangan masa muda kamu hanya karena nggak pengin ngecewain kedua orang tua kamu?” “Apa pun yang kamu lakukan pasti akan dibandingkan dengan masa lalu calon suami kamu nantinya,” imbuh gadis berambut panjang itu. “Walaupun kamu berbuat benar sekali pun, mereka pasti akan tetap membandingkannya dan menganggap kamu nggak becus. Percaya deh sama aku. Semua itu pasti bakalan terjadi.” Andara hanya diam saja mendengar ucapan saudara sepupunya itu. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan oleh saudaranya itu. Namun, dirinya juga tak bisa mundur begitu saja. Selain karena hari pernikahannya sudah semakin dekat, juga karena dirinya tak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa. “Aku ngomong begini bukan karena aku benci atau nggak suka lihat kamu menikah. Akan tetapi, aku peduli sama kamu dan nggak pengin kamu merasakan itu semua,” kata gadis itu. “Menikah itu ibadah terpanjang yang kita jalani dalam hidup ini, Ra. Jadi, jangan sampai salah pilih pasangan! Supaya kamu nggak menyesal di kemudian hari,” lanjutnya. “Mumpung masih ada waktu. Sebaiknya kamu pikirkan lagi semuanya. Sebelum kamu menyesal nantinya,” pungkas gadis itu. Setelah berkata demikian, gadis itu lantas pergi meninggalkan Andara di teras depan. Sepeninggal saudara sepupunya itu, Andara mencoba mencari lagi kebenaran dalam hatinya. Dia tak ingin terpaksa menjalani semua ini. Memang dia tidak menginginkan perjodohan ini, tetapi dirinya juga tak ingin menjadi jahat dengan menjadikan ini sebagai pelarian atas rasa sakitnya. “Kok melamun, Ra?” tegur seorang wanita cantik dengan hijab menutupi rambutnya. Andara terkesiap mendengar teguran dari orang itu. Dia lantas mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang menegurnya barusan. “Iihh bikin kaget aja, Deh,” gerutu Andara. Wanita itu tersenyum mendengar gerutuan Andara. Dia lalu menempatkan dirinya di kursi kosong di sebelah Andara. “Kamu kenapa? Kok melamun? Ada yang sedang menjadi pikiran kamu?” brondong wanita cantik itu Andara menghela napas panjang. Matanya menatap ke arah wanita itu dengan mulut yang tertutup rapat. Hati dan pikirannya menimbang apakah dia harus menceritakan bebannya kepada orang itu atau tidak? “Kok diam aja, Ra? Ada apa?” kejar wanita itu. Wajahnya tetap terlihat lembut dengan nada suara yang membuat orang lain merasa nyaman. Andara menatap wajah wanita itu lekat-lekat. Setelah puas memandangi wajah wanita itu, Andara memalingkan wajahnya lagi dan menghela napas panjang. Seolah ada beban yang sangat berat di dadanya. “Ya udah kalau masih nggak mau cerita,” ujar wanita itu. “Nanti kalau …” “Menikah itu serem banget ya, Mbak?” Andara memotong ucapan wanita itu dengan pertanyaan. “Kok tanyanya kayak gitu?” “Apa lagi kalau ikut mertua. Nyeremin banget ya, Mbak? Pasti nanti dibanding-bandingkan dengan masa lalu pasangan kita ya?” Andara memberondong wanita itu dengan pertanyaan yang membuatnya terdiam. “Apa lagi kalau pasangan kita adalah seorang duda. Pasti nanti dibanding-bandingkan sama mantan istrinya ya, Mbak? Pasti semua yang kita lakukan akan selalu di bawah bayang-bayang mantan istrinya itu ya?” Berondong Andara tanpa peduli kebingungan yang menyelimuti benak lawan bicaranya. “Kata siapa?” sergah wanita itu. “Enggak kok. Enggak semua mertua kayak gitu. Ada juga yang baik.” “Contohnya kayak Mama. Mama adalah contoh mertua yang ….” Wanita itu menghentikan ucapannya ketika melihat seseorang berjalan mendekat ke arah mereka.Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k
Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh. “Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan
“Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!” ulang gadis itu. Para tamu dan keluarga kedua mempelai tampak saling bertukar pandang. Mereka terkejut sekaligus resah mendengar penuturan gadis yang berbalut busana kebaya itu. “Maksudnya apa?” tanya salah seorang tamu yang hadir. “Harusnya dia nikahnya sama aku, bukan sama dia!” ucapnya dengan lantang. Andara yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Galang. Lelaki itu tampak menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bahwa dirinya tidak mengenal gadis itu. “Lihat! Aku sudah mengenakan pakaian pengantin. Sudah berdandan dan …” Belum selesai kalimat gadis itu terucap, seorang lelaki dan perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh berjalan ke arah tenda hajatan. “Nduk … Ayo pulang dulu.” Perempuan paruh baya itu menggamit lengan sang gadis dan sedikit menariknya untuk keluar dari tempat itu. “Iiihhh … apaan sih? Aku itu mau nikah, Bu. Tuh lihat tamunya udah pada datang. Calon suamiku juga udah nungguin
Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya. “Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia la
Andara tampak duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matanya menatap ke sudut ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Hatinya gamang dan kembali mempertanyakan keputusan yang baru saja ia ambil. ‘Apa benar keputusan yang aku ambil ini?’ batinnya. ‘Apa ini yang aku inginkan dan harapkan?’ ‘Apa aku akan mencintai dia? Bukan hanya menjadikannya pelarian dari rasa sakit yang Dirga berikan?’ Andara menghela napas panjang. Menutup matanya sejenak dan membiarkan hati serta otaknya memilih jawaban yang menurutnya masih abu-abu itu. ‘Kalau memang ini adalah jalan yang Tuhan berikan, aku ikhlas menjalani semua ini,’ ujarnya dalam hati. “Dan kalau memang Tuhan menghendaki demikian, pasti jalan untuk bertemu akan semakin lebar,” gumamnya. “Tak ada halangan yang bisa mematahkan semuanya jika Tuhan sudah turun tangan.” Andara menghela napas
Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna. “Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyang
“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!” Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! E