"Nay, terimakasih sudah membantu aku dan anakku." ujar Savira mengengam kedua tangan Naya dan menatapnya serius.Dirinya benar-benar berterimakasih dengan Kanaya yang dulu selalu dirinya usik dan sekarang justru menjadi orang yang mau menolongnya. Bahkan dengan tidak tau malunya ia justru meminta bantuan kepada wanita berhati baik di depannya ini.Pantas saja Dewa tidak lagi mau meliriknya karena istrinya sudah cantik, baik dan yang pasti bisa memberikan laki-laki itu kebahagiaan yang tidak pernah bisa dirinya berikan ke Dewa saat pria itu masih menjadi suaminya.Menyesal, jelas Savira sangat menyesal karena telah mengabaikan Dewa selama ini. Bahkan dia sudah memberikan banyak luka pada laki-laki itu."Pantas saja Dewangga sangat mencintai kamu," ujar Savira membuat Naya menyerngit bingung.Melihat kebingungan di wajah Naya membuat Savira menepuk punggung tangan Kanaya. "Kalau kamu berpikiran Dewa masih mencintai saya kamu salah besar, Nay. Bahkan Dewa sepertinya tidak mencintai aku,
"Duh, keponakan gue makin hari makin ganteng aja." ujar Naufal baru saja datang sudah di sambut dengan celotehan Kai di halaman rumah.Naya memang setiap pagi selalu mengajak Kai jalan-jalan keliling komplek, Dan pagi ini Naya masih menikmati sinar matahari pagi dan udara yang masih segar di halaman rumah."Nyari mas Dewa, Mas?" tanya Naya."Enggak, justru aku mau ketemu kamu." ujar Naufal ragu."Pasti soal Citra," ujar Naya membuat Naufal senyum-senyum sendiri."Kenapa kamu pagi-pagi dirumah saya." Dewa yang baru saja keluar dengan pakaian santainya karena hari ini weekend jadi Dewa berada dirumah."Ada yang mau gue bicarakan dengan Naya." ujarnya."Apa?" tanya Dewa mengambil duduk disebelah Kanaya uang menghadap Naufal."Aku rencananya mau lamar Citra, Nay. Jadi aku kesini butuh bantuan kamu." ujar Naufal dengan senyum merekah di wajahnya.Naya menatap Naufal terkejut kemudian di ikuti senyum merekah di wajahnya, akhirnya setelah angin, dan badai di hubungan mereka berdua akhirnya
Kanaya bersyukur permasalahan pernikahannya semakin hari semakin berkurang, bahkan pernikahannya sudah jauh lebih baik seperti pernikahan yang dirinya inginkan memiliki suami yang cinta padanya, memiliki keluarga kecil yang harmonis. Ya walaupun kadang sifat dingin, datar dan tidak peka suka suaminya masih sering membuatnya kesal. Namun itu adalah warna di pernikahannya dengan Dewangga yang memang memiliki sifat yang dingin itu.Dan hari sudah satu bulan setelah Savira melahirkan, dan hari ini Naya datang ke apartemen Savira untuk membantunya berkemas karena wanita ini akan pindah ke surabaya dan menetap disana. Katanya ingin hidup dengan mamanya di kampung halamannya.Sebenernya Naya sudah menganggap Savira seperti kakaknya sendiri selama ini, jadi sedikit berat untuk berpisah dengan Savira dan Zara."Mbak, nggak mau pamitan sama Mas Dewa?" tanya Naya.Karena entah Naya merasa mereka belum selesai, jadi tidak ada salahnya Naya menawarkan kesempatan untuk mereka bertemu dan mungkin un
Bohong jika Naya mengatakan dirinya baik-baik saja setelah perdebatannya dengan Savira dan Wirawan kemaren. Bahkan sekarang kepalanya pusing memikirkan banyak hal tentang permasalahan yang sebenernya terjadi antara suaminya dan Wirawan."Kenapa?" tanya Dewa yang memang merasa aneh sejak kepulauan istrinya."Nggak papa, Mas. Udah selesai pekerjaanya?" tanya Naya mencoba tersenyum menyambut kehadiran suaminya yang baru saja masuk kedalam kamar."Sudah," Jawabnya membaringkan badannya di sebelahnya."Kata bik Rosma kamu makan sedikit kenapa, sakit?" tanya Dewa dengan tangan terulur menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri."Enggak, aku makan cukup tadi." Jawab Naya membuat Dewa hanya mengangguk saja dengan mata yang masih menatap Kanaya penuh.Naya ragu harus bilang atau tidak tentang pertemuanya dengan Wirawan dan kepergian Savira lusa kesurabaya. Naya hanya menatap suaminya dengan wajah bingungnya."Mas, aku kemaren ketemu sama om Wira," Naya memutuskan untuk bicara dengan sua
Dua puluh tahun lalu adalah masa-masa yang paling berat dalan hidup Dewangga Aditama. Dimana sang ayah kecelakaan dengan cara yang tidak wajar, dan semua aset milik orang tuanya di ambil olih oleh orang kepercayaan ayahnya sendiri. Dan membuatnya harus tinggal di jalanan dan bekerja keras demi bertahan hidup. Sejak saat itu tidak pernah seharipun Dewa merasa tenang, karena trauma yang di alaminya. Melihat sang ayah meninggal di depannya. Sampai sekarangpun rasanya untuk berdamai dengan trauma itu bukanlah hal yang mudah. Dewa hanya mengalihkan semua rasa sakit dan trauma pada pekerjaanya. Kehilangan sosok ayah di saat masih sekolah dasar, tidak pernah terpikir olehnya. Bahkan di saat semua anak seusianya masih bisa menikmati masa kanak-kanaknya Dewa harus bekerja untuk bertahan hidup. Apakah sejak saat itu Dewangga pernah merasa bahagia, jawabannya tidak bahkan rasa bersalah, dan ketakutan itu selalu menghantuinya bahkan Dewa tidak pernah bisa tidur nyenyak sekalipun. Tiba-tiba had
"Mas, mau kemana?" tanya Naya saat melihat suaminya kembali rapi. Padahal laki-laki itu baru saja pulang dari kantor, dan sekarang sudah kembali rapi dengan celana bahan hitam dan kemeja hitam polos. "Saya mau ke makam ayah. Mau ikut?" Beritahu Dewa. Naya terdiam sebentar, dirinya terkejut sekaligus senang. Karena sejak menikah dengan Dewa, Naya pernah ingin berkunjung ke makan ayah mertuanya dengan ibu mertuanya dan saat itu Dewa memilih tidak ikut justru pergi kekantor. Ibu mertuanya juga bilang kalau Dewa tidak pernah mau ikut jika mereka berziarah ke makan ayahnya. Tapi hari ini Dewa mengajaknya untuk ke makan almarhum ayah mertuanya. "Sekarang?" tanya Naya membuat Dewa mengangguk. "Aku siap-siap dulu, sama mau titipin Kai ke bik Rosma dulu." Sekarang mereka sudah sampai di pemakaman umum yang sedikit jauh dari tempat tinggalnya. Naya menggandeng tangan Dewa tidak lupa membawa bunga yang sebelumnya sudah di beli saat hendak masuk ke pemakaman. Ini pertama kalinya Naya berk
Laki-laki itu tengah menikmati aktivitas barunya, setelah empat bulan ini meninggalkan Indonesia untuk melupakan wanita yang dirinya cintai. Selian itu menghindar dari tuntutan kedua orang tuanya untuk mengurus perusahaan milik sang kakek, dirinya sudah benar-benar muak karena hanya dijadikan boneka untuk memuaskan ambisi orang tuanya saja.Dan disinilah Rian berada di Kota Paris menjadi fotografer profesional seperti cita-citanya, dan kota ini menjadi tujuan Rian untuk mengembangkan karirnya sekaligus melupakan Kanaya. Karena jika Indonesia mungkin Rian akan mencari segala cara untuk bisa bersama gadis itu kembali. Namun melihat Kanaya sudah bahagia dengan keluarga kecilnya membuat Rian memilih melarikan diri ke negeri ini."Tuan." Suara itu membuat Rian menoleh, matanya melebar sempurna melihat laki-laki berdiri di belakangnya. Dia adalah Rudi asisten sekaligus orang kepercayaan keluarganya. Rian hanya bisa menghela nafas menatap Rudi yang berjalan ke arahnya."Mau apa kamu kesini?"
"Gue yakin yang gue lihat kemarin itu Rian," ujar Citra dari seberang telepon."Ya terus kenapa, Cit. Diakan juga punya keluarga disini, apalagi sekarang keluarganya lagi kena masalah." jawab Naya mencoba berusaha tenang.Citra tiba-tiba menelponnya dan memberitahukan jika Rian kembali, sebenernya hal itu juga sudah Naya prediksikan. Karena tidak mungkin laki-laki itu tetap bersembunyi sedangkan keluarganya sedang menghadapi masalah."Tapi hal itu yang bikin gue takut. Bagaimana kalau Rian menghalangi usaha Pak Dewa untuk mendapatkan keadilan untuk ayahnya." Mungkin hal itu juga akan terjadi, karena anak mana yang rela melihat papanya mendekam di penjara. Tapi jika Rian bisa membebaskan ayahnya pasti suaminya akan amat sangat kecewa dengan usaha yang sudah Dewa lakukan selama ini untuk mendapatkan keadilan atas kecelakaan yang menewaskan ayah mertuanya."Semoga saja tidak, Cit. Gue nggak bisa bayangin bagaimana perasaan Mas Dewa kalau Om Wira bisa bebas." "Nanti gue bilang sama Mas
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.