Kanaya bersyukur permasalahan pernikahannya semakin hari semakin berkurang, bahkan pernikahannya sudah jauh lebih baik seperti pernikahan yang dirinya inginkan memiliki suami yang cinta padanya, memiliki keluarga kecil yang harmonis. Ya walaupun kadang sifat dingin, datar dan tidak peka suka suaminya masih sering membuatnya kesal. Namun itu adalah warna di pernikahannya dengan Dewangga yang memang memiliki sifat yang dingin itu.Dan hari sudah satu bulan setelah Savira melahirkan, dan hari ini Naya datang ke apartemen Savira untuk membantunya berkemas karena wanita ini akan pindah ke surabaya dan menetap disana. Katanya ingin hidup dengan mamanya di kampung halamannya.Sebenernya Naya sudah menganggap Savira seperti kakaknya sendiri selama ini, jadi sedikit berat untuk berpisah dengan Savira dan Zara."Mbak, nggak mau pamitan sama Mas Dewa?" tanya Naya.Karena entah Naya merasa mereka belum selesai, jadi tidak ada salahnya Naya menawarkan kesempatan untuk mereka bertemu dan mungkin un
Bohong jika Naya mengatakan dirinya baik-baik saja setelah perdebatannya dengan Savira dan Wirawan kemaren. Bahkan sekarang kepalanya pusing memikirkan banyak hal tentang permasalahan yang sebenernya terjadi antara suaminya dan Wirawan."Kenapa?" tanya Dewa yang memang merasa aneh sejak kepulauan istrinya."Nggak papa, Mas. Udah selesai pekerjaanya?" tanya Naya mencoba tersenyum menyambut kehadiran suaminya yang baru saja masuk kedalam kamar."Sudah," Jawabnya membaringkan badannya di sebelahnya."Kata bik Rosma kamu makan sedikit kenapa, sakit?" tanya Dewa dengan tangan terulur menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri."Enggak, aku makan cukup tadi." Jawab Naya membuat Dewa hanya mengangguk saja dengan mata yang masih menatap Kanaya penuh.Naya ragu harus bilang atau tidak tentang pertemuanya dengan Wirawan dan kepergian Savira lusa kesurabaya. Naya hanya menatap suaminya dengan wajah bingungnya."Mas, aku kemaren ketemu sama om Wira," Naya memutuskan untuk bicara dengan sua
Dua puluh tahun lalu adalah masa-masa yang paling berat dalan hidup Dewangga Aditama. Dimana sang ayah kecelakaan dengan cara yang tidak wajar, dan semua aset milik orang tuanya di ambil olih oleh orang kepercayaan ayahnya sendiri. Dan membuatnya harus tinggal di jalanan dan bekerja keras demi bertahan hidup. Sejak saat itu tidak pernah seharipun Dewa merasa tenang, karena trauma yang di alaminya. Melihat sang ayah meninggal di depannya. Sampai sekarangpun rasanya untuk berdamai dengan trauma itu bukanlah hal yang mudah. Dewa hanya mengalihkan semua rasa sakit dan trauma pada pekerjaanya. Kehilangan sosok ayah di saat masih sekolah dasar, tidak pernah terpikir olehnya. Bahkan di saat semua anak seusianya masih bisa menikmati masa kanak-kanaknya Dewa harus bekerja untuk bertahan hidup. Apakah sejak saat itu Dewangga pernah merasa bahagia, jawabannya tidak bahkan rasa bersalah, dan ketakutan itu selalu menghantuinya bahkan Dewa tidak pernah bisa tidur nyenyak sekalipun. Tiba-tiba had
"Mas, mau kemana?" tanya Naya saat melihat suaminya kembali rapi. Padahal laki-laki itu baru saja pulang dari kantor, dan sekarang sudah kembali rapi dengan celana bahan hitam dan kemeja hitam polos. "Saya mau ke makam ayah. Mau ikut?" Beritahu Dewa. Naya terdiam sebentar, dirinya terkejut sekaligus senang. Karena sejak menikah dengan Dewa, Naya pernah ingin berkunjung ke makan ayah mertuanya dengan ibu mertuanya dan saat itu Dewa memilih tidak ikut justru pergi kekantor. Ibu mertuanya juga bilang kalau Dewa tidak pernah mau ikut jika mereka berziarah ke makan ayahnya. Tapi hari ini Dewa mengajaknya untuk ke makan almarhum ayah mertuanya. "Sekarang?" tanya Naya membuat Dewa mengangguk. "Aku siap-siap dulu, sama mau titipin Kai ke bik Rosma dulu." Sekarang mereka sudah sampai di pemakaman umum yang sedikit jauh dari tempat tinggalnya. Naya menggandeng tangan Dewa tidak lupa membawa bunga yang sebelumnya sudah di beli saat hendak masuk ke pemakaman. Ini pertama kalinya Naya berk
Laki-laki itu tengah menikmati aktivitas barunya, setelah empat bulan ini meninggalkan Indonesia untuk melupakan wanita yang dirinya cintai. Selian itu menghindar dari tuntutan kedua orang tuanya untuk mengurus perusahaan milik sang kakek, dirinya sudah benar-benar muak karena hanya dijadikan boneka untuk memuaskan ambisi orang tuanya saja.Dan disinilah Rian berada di Kota Paris menjadi fotografer profesional seperti cita-citanya, dan kota ini menjadi tujuan Rian untuk mengembangkan karirnya sekaligus melupakan Kanaya. Karena jika Indonesia mungkin Rian akan mencari segala cara untuk bisa bersama gadis itu kembali. Namun melihat Kanaya sudah bahagia dengan keluarga kecilnya membuat Rian memilih melarikan diri ke negeri ini."Tuan." Suara itu membuat Rian menoleh, matanya melebar sempurna melihat laki-laki berdiri di belakangnya. Dia adalah Rudi asisten sekaligus orang kepercayaan keluarganya. Rian hanya bisa menghela nafas menatap Rudi yang berjalan ke arahnya."Mau apa kamu kesini?"
"Gue yakin yang gue lihat kemarin itu Rian," ujar Citra dari seberang telepon."Ya terus kenapa, Cit. Diakan juga punya keluarga disini, apalagi sekarang keluarganya lagi kena masalah." jawab Naya mencoba berusaha tenang.Citra tiba-tiba menelponnya dan memberitahukan jika Rian kembali, sebenernya hal itu juga sudah Naya prediksikan. Karena tidak mungkin laki-laki itu tetap bersembunyi sedangkan keluarganya sedang menghadapi masalah."Tapi hal itu yang bikin gue takut. Bagaimana kalau Rian menghalangi usaha Pak Dewa untuk mendapatkan keadilan untuk ayahnya." Mungkin hal itu juga akan terjadi, karena anak mana yang rela melihat papanya mendekam di penjara. Tapi jika Rian bisa membebaskan ayahnya pasti suaminya akan amat sangat kecewa dengan usaha yang sudah Dewa lakukan selama ini untuk mendapatkan keadilan atas kecelakaan yang menewaskan ayah mertuanya."Semoga saja tidak, Cit. Gue nggak bisa bayangin bagaimana perasaan Mas Dewa kalau Om Wira bisa bebas." "Nanti gue bilang sama Mas
"Sekarang perusahaan kita sudah di ambang kebangkrutan," gumam Firman adik tiri dari mamanya itu justru datang dengan wajah mengejeknya. "Aku sudah mempercayakan perusahaan itu padamu, jadi apapun masalah yang ada di sana jelas menjadi tanggung jawab kalian." jawab Soedrajat dengan suara lemahnya. Firman menatap Rian yang duduk di sofa yang ada di ruang rawat inap Soedrajat yang masih sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan kehadirannya. "Orang yang papa percaya untuk menjadi pewaris perusahaan itu." ujar Firman menunjuk Rian yang masih mengabaikannya dan lebih fokus pada ponselnya itu."Justru santai-santai disini, tidak perduli bagaimana kondisi perusahaan sekarang." "Dia hanya mau enaknya saja!" sahutnya lagi. Kali ini Rian menatap sinis. "Aku tidak perduli, dan tidak tertarik dengan perusahaan itu. Ambil saja aku tidak butuh!" "Kepulanganmu saat ini juga untuk merebut posisi ini Bukan?!" Tangan Rian terkenal, rasanya emosinya akan meledak sekarang juga. Akan tetapi
Rian bahkan sudah tidak tau lagi harus berkata apa, tenaganya sudah habis. Setelah mendengar ucapan Dewangga tentang papanya yang ternyata sejahat dan selicik, seketika dadanya terasa nyeri seperti ada yang meremasnya. Tidak hanya itu bahkan Papanya tega menghilangkan jejak tetnang identitas lamanya hanya untuk menikah dengan mamanya. Dan yang membuatnya sangat terkejut adalah pernikahan papanya dengan wanita bernama Amira, bagaimana jika mamanya tau kalau papanya pernah menikah sebelumnya. Atau mamanya juga sudah tau akan hal ini? "Rian?" Suara itu membuat Rian menoleh, kemudian tersenyum tipis. "Cit.." balas Rian menatap Citra, padahal dulu mereka sangat dekat namun sekarang terlihat sangat canggung. "Apa kabar, Cit?" "Baik, ngapain lo disini?" tanya Citra menatap Rian. Citra awalnya terkejut melihat Rian, namun kemudian berusaha terlihat tenang. "Habis ketemu Dewangga," ujarnya tersenyum tipis. "Ketemu Pak Dewangga?" lagi-lagi Citra terkejut karena keberanian Rian yang menem
"Kemarin seru, ya, Mas?" tanya Kanaya dengan senyum nakal, matanya yang cerah menatap Dewangga yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang, sibuk membaca buku tebal yang tampaknya tak pernah jauh dari tangannya.Kemarin adalah hari penuh keceriaan, waktu berkualitas yang dihabiskan bersama keluarga kecil mereka. Laughter and joy filled the house—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, kini mereka kembali pada rutinitas masing-masing, dan semua itu seolah menjadi kenangan manis yang terpatri dalam hati.Dewangga menoleh sejenak dan mengangguk. "Kai terlihat bahagia kemarin," ujarnya dengan suara pelan, seperti mengingat kembali momen itu dengan penuh rasa syukur."Kai aja? Emang Mas nggak bahagia?" tanya Kanaya dengan nada menggoda, membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja, berharap Dewangga menangkap leluconnya."Jika anak dan istri saya bahagia, maka saya juga bahagia, Kanaya," jawab Dewangga, suaranya tenang, namun ada kehangatan yang menyertai kata-katanya. Senyumnya yang tul
Pagi itu, Kanaya terbangun dan langsung disuguhi pemandangan romantis antara ayah dan anak. Dewangga tengah menciumi wajah putranya, Kai, yang masih terlelap dalam tidurnya.“Aku nggak di-cium?” tanya Kanaya, dengan wajah cemberut dari balik selimut, membuat Dewangga menoleh sejenak ke arahnya.Namun, bukannya menjawab, Dewangga malah kembali menciumi pipi Kai, seakan tidak peduli dengan Kanaya yang sedang merajuk.“Mas,” Kanaya memanggil dengan nada menggoda.Dewangga menoleh sejenak, lalu bangkit dan turun dari ranjang."Loh, mau ke mana?" tanya Kanaya saat melihat suaminya bergerak menuju pintu."Kamar mandi, mau ikut?" tanya Dewangga santai, namun dengan senyum yang khas."Males," jawab Kanaya malas, lalu menatap Kai yang masih tertidur lelap. Tidur Kai pagi itu tampak jauh lebih nyenyak daripada malam sebelumnya yang sedikit rewel.Setelah selesai dengan rutinitasnya, Dewangga kembali ke kamar, di mana Kanaya tengah bercanda dengan Kai di atas ranjang. Jika kalian berpikir Dewang
“Beneran pekerjaan kamu udah selesai? Aku nggak mau, ya, nanti tiba-tiba harus pulang gara-gara kerjaan kamu,” ucap Kanaya dengan nada sedikit kesal.Ia melirik Dewangga yang duduk bersandar di kepala ranjang, laptop bertengger di pangkuannya. Matanya tetap terpaku pada layar, jemarinya mengetik cepat.Walaupun Dewangga sudah banyak berubah tidak sedingin dulu, namun untuk yang satu ini sepertinya tidak akan berubah. Karena di mana pun mereka berada, pekerjaan selalu menjadi prioritas utama.“Hanya mengecek laporan sebentar,” jawab Dewangga santai, tanpa menoleh sedikit pun.Kanaya mendesah pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke putra mereka, Kai, yang tertidur di tengah-tengah mereka. Nafasnya teratur, wajah mungilnya tampak begitu damai. Senyum kecil muncul di bibir Kanaya, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk membelai pipi anaknya.“Jangan diganggu, dia baru tidur,” tegur Dewangga lembut, masih dengan mata tertuju ke laptop.Kanaya mendengus kecil, lalu cemberut. “A
"Suami kamu jadi nyusul, Nay?" tanya Eyang dengan wajah penuh tanya, membuat Naya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu pasti, karena semalam Dewangga mengatakan masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."Belum tahu, Yang. Soalnya Mas Dewa lagi ada proyek baru," jawab Kanaya sambil tersenyum tipis.Eyang Ratih mengangguk bijak. "Gak papa, suami kamu itu memang pekerja keras dari dulu. Kamu harus lebih pengertian dengan pekerjaan suamimu, Nak," katanya sambil menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.Kanaya mengangguk pelan. "Naya sekarang sudah lebih mengerti kok, Yang. Sebelum menikah pun, Mas Dewa memang suka kerja, tapi semenjak ada Kai, dia mulai lebih bisa membagi waktu."Kanaya mengingat bagaimana dulu ia selalu mempermasalahkan kebiasaan Dewangga yang workaholic, bahkan sering kali waktu mereka bersama terasa terbatas karena suaminya lebih banyak di kantor."Kai, anak kamu mirip banget sama papanya," ujar Ratih sambil terkekeh, melihat Kai yang asyik bermain dengan sepu
Pagi ini, suasana di dalam mobil terasa hening. Dewangga mengemudi dengan wajah serius, hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke spion atau dashboard, tanpa banyak kata. Kanaya duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana, tetapi setiap kali ia membuka suara, suaminya hanya memberi gumaman atau jawaban sepintas. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Dewangga tampak begitu jauh, seolah keberangkatan mereka bukanlah hal yang dia inginkan.Kanaya merasakan ketegangan itu dengan jelas. Ia tahu, jika terus memaksa berbicara, suaminya bisa saja berubah pikiran dan membatalkan izin untuk pergi. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia sudah menunggu kesempatan ini begitu lama, sebuah kesempatan untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta, meski hanya untuk beberapa hari. Namun, perasaan Dewangga yang gelisah, seolah membawa kecemasan yang tak terucapkan, membuatnya merasa bimbang.Mobil mereka akhirnya memasuki area bandara. Di kejauhan, Kanaya bisa melihat keluarganya sudah me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi