Rasanya seperti baru lima menit tertidur. Ndaru terbangun saat mendengar suara ketukan pintu. Keadaan kamar hotel yang ia tiduri masih gelap, tetapi dia bisa melihat cahaya mulai mengintip dari balik tirai jendela.
Ndaru segera terduduk sambil mengusap wajahnya. Dia meraih ponsel dan melihat jam yang tertera. Jam tujuh pagi, artinya dia terlambat bangun. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini terkesan lebih keras dan cepat dari sebelumnya. "Pak Ndaru?" Itu suara Gilang. "Ya," balas Ndaru bergegas membuka pintu. "Ada apa?" tanyanya langsung. Gilang menghela napas kasar. Dia menatap atasannya itu dengan tatapan lelah. Ada apa? Seingat Ndaru dia tidak memiliki kegiatan pagi ini. "Apa yang terjadi semalam, Pak?" tanya Gilang. Seketika kantuk Ndaru hilang. Dia menatap asistennya lekat. "Apa maksud kamu?" Gilang memberikan sebuah iPad yang menampilkan beberapa gambar tangkapan layar. Ada beberapa potret yang sangat Ndaru kenal. "Nama Pak Ndaru kembali jadi trending topic. Kali ini bukan karena kedatangan Bapak ke Jakarta, melainkan adegan tak senonoh yang Bapak lakukan semalam." Sial! Ndaru mengabaikan Gilang dan bergegas duduk di sofa depan kamar. Kamar dengan tipe presidential room yang mereka tempati terlihat begitu nyaman. Namun sayang, Ndaru tidak bisa menikmatinya. Dia terbangun dengan berita yang menghebohkan. "Kamu bilang hotel ini aman dari wartawan?" Ndaru mulai gusar. "Bukan dari wartawan, Pak. Berita itu viral karena cuitan anonimus di aplikasi X." "Siapa yang menjamin kalau dia bukan wartawan?" "Saya akan mencari tahu nanti." Gilang memijat pangkal hidungnya. "Jadi kejadian itu benar, Pak?" Ndaru menutup iPad-nya dan mengangguk. "Kenapa Pak Ndaru nggak bilang?" Ndaru sendiri juga tidak tahu. Dia memang terkejut dengan aksi seorang gadis yang tiba-tiba menciumnya. Namun entah kenapa dia memilih untuk mengabaikannya. Toh, gadis itu juga pergi secara tiba-tiba. Ndaru pikir tidak perlu diperpanjang. Namun siapa sangka justru kejadian itu menjadi masalah baru untuknya? (Flashback on) Ndaru sudah terlalu lama menunggu Gilang. Dia juga sudah mengakhiri panggilan video dengan anaknya 15 menit yang lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Ndaru benar-benar ingin tidur. Dia tidak mau tubuhnya tumbang dalam keadaan berduka seperti ini. Ndaru memilih untuk menghubungi Gilang. Begitu nada dering pertama terdengar, panggilan langsung terangkat. "Kenapa lama?" tanya Ndaru. "Maaf, Pak. Saya sedang menunggu petugas hotel untuk menyiapkan kamar Bapak." "Masih lama?" "Sebentar lagi, Pak." "Kalau gitu saya langsung ke sana. Lantai berapa?" "Lantai 30, Pak." "Oke." Ndaru memutus panggilannya dan bergegas keluar dari ruangan VIP itu. Ini bukan kali pertama dia berada di Atma Hotel, jadi tidak sulit untuknya berjalan sendiri di tempat ini. Ndaru sempat menangani beberapa properti milik Atmadjiwo Grup sebelum menikah dulu. Hari yang sudah malam membuat suasana benar-benar sepi. Bahkan Ndaru berada di dalam lift seorang diri. Dia bersandar sambil mengatur napas, sesekali matanya terpejam karena rasa lelah. Begitu lift berhenti, Ndaru kembali membuka mata. Tanpa banyak menunggu, dia langsung keluar dari lift. Ternyata tidak sepenuhnya sepi, Ndaru melihat ada beberapa orang di sana. Belum sempat berlalu, Ndaru merasakan tarikan kencang pada lengannya. Dia berbalik dan merasakan tangan seseorang yang mencengkeram erat kemejanya. Tak sempat menjauhkan diri, Ndaru merasakan sesuatu yang lembut mendarat di bibirnya. Matanya membulat menyadari apa yang baru saja terjadi. Seorang gadis muda menciumnya. Ini tidak benar! Ndaru ingin mendorong gadis itu, tetapi dia merasakan rasa asin pada bibirnya. Sekarang dia malah terdiam kaku ketika menyadari jika gadis itu menangis dalam ciumannya. "Shana, apa-apaan!" Teriakan itu kembali menyadarkan Ndaru. Kali ini dia benar-benar ingin melepaskan diri, tetapi gadis itu malah meraih wajahnya dan memperdalam ciumannya. Sial! Beruntung pada akhirnya ciuman tak terduga itu berakhir. Ndaru masih terkejut sampai tak bisa mendengar jelas apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan dia tidak sadar sudah kembali masuk ke dalam lift bersama gadis asing itu. Tak lama pintu lift kembali terbuka. Gadis itu keluar dan bergumam minta maaf. Ndaru masih bisa mendengarnya. Bahkan dia juga bisa melihat air mata yang mengalir di pipinya. Sebenarnya apa yang baru saja ia alami? Ndaru menggeleng pelan dan mengusap wajahnya kasar. Seketika rasa kantuk langsung hilang digantikan dengan pusing yang menyerang. Kepalanya mendongak untuk melihat ke mana lift akan membawanya. Namun ada yang aneh, detik itu juga Ndaru sadar jika ia salah turun lantai dan kesalahan itu membawanya pada petaka malam yang tak terduga. Seharusnya dia menunggu Gilang dan tak pergi sendiri. (Flashback off) "Bapak kenal wanita itu?" Ndaru menggeleng. "Astaga!" Gilang tidak bisa menahan diri untuk berdecak. "Kenapa harus dengan wanita asing, Pak? Kalau Bapak mau, saya bisa carikan wanita yang bisa dipercaya—" "Apa maksud kamu?" Ndaru menatap Gilang tajam. "Kamu tau saya bukan pria seperti itu." "Maaf." Gilang menunduk. "Hari ini Bapak tidak bisa bersantai. Pak Harris ingin bertemu Bapak di rumahnya." Ndaru meringis. "Papa saya tau masalah ini?" "Semua orang sudah tau masalah ini, Pak." Bagus, baru satu hari tiba dia sudah membuat ulah. *** Sarapan kali ini tidak berjalan hangat sama sekali. Padahal untuk pertama kalinya selama tiga tahun Ndaru kembali sarapan bersama ayahnya. Namun ini bukan bagian dari acara lepas rindu, melainkan sidang dadakan. Keberadaan Guna dan kakak iparnya seolah membenarkan pikirannya. "Makan dulu, Mas," pinta Harris pada Ndaru. Ndaru menggeleng. "Nanti aja." Guna yang sedari tadi diam mendadak menghela napas kasar. Dia meletakkan sendoknya dengan kesal. Seperti tidak sabar untuk menghakimi adiknya. "Kamu kenapa, sih, Ndaru?" tanya Guna benar-benar frustrasi. "Kenapa bisa ketauan?" Ndaru mengusap alisnya pelan. Sepertinya kesalah-pahaman ini membuatnya tampak seperti pria bajingan. Padahal kenyataannya dia adalah korban. "Kenapa kamu nggak bisa tahan sedikit aja sampai kamar? Kenapa harus di koridor hotel?" "Mas," potong Ndaru cepat. Dia tidak mau mendengar tuduhan menjengkelkan dari kakaknya lagi. "Itu semua salah paham." "Foto itu jelas, Ndaru. Salah paham gimana?" Kali ini Yanti yang berbicara. "Mbak sampe nggak kuat baca komen netizen tentang kamu." Percayalah, Ndaru juga demikian. Dia meringis ngeri membaca komentar orang-orang tentangnya. "Buset, abangnya baru meninggal eh malamnya langsung cocok tanam." "Oh, jadi ini duda incaran satu Indonesia? Cakep sih, tapi ampun... tahan dikit napa om." "Ternyata Atmadjiwo yang satu ini diam-diam menghanyutkan. Jangan-jangan yang lain gitu juga?" "Please, siapa ceweknya? Mau juga dicium klan Atmadjiwo!" "Bukannya Handaru ini deket sama model? Yang finalis ajang kecantikan itu?" "Abangnya yang mau nyaleg itu bukan? Kalo iya kasus adeknya bisa jadi sasaran empuk buzzer nih." "Yakin mau pilih keluarga Atmadjiwo jadi anggota dewan? Liat aja beritanya, nggak ada akhlak sama sekali." Begitulah kira-kira isi komentar para netizen yang budiman. Benar-benar membuat kepala Ndaru berdenyut. Bukan hanya kepalanya, tetapi semua anggota keluarga Atmadjiwo. Citra mereka ternoda karena skandal si bungsu. "Kamu kenal perempuan itu, Ndaru?" Ndaru menggeleng. "Tiba-tiba dia cium aku gitu aja. Mas Guna bisa cek CCTV kalau nggak percaya." "Apa ada orang yang sengaja jebak kamu?" Pertanyaan Yanti membuat semua orang terdiam. Ini bisa saja terjadi mengingat jika banyak orang yang ingin menjatuhkan keluarga mereka. Atmadjiwo seolah tidak memiliki celah, karena itu skandal panas harus tercipta. "Ndaru single, duda incaran banyak orang, kaya, sukses, nggak punya masalah, pasti ada orang yang sengaja senggol kita." "Nggak mungkin," gumam Ndaru pada akhirnya. Entah kenapa dia yakin dengan jawabannya karena teringat dengan air mata yang keluar dari mata gadis itu. "Mas Guna, untuk sekarang segera minta orangmu untuk hapus cuitan itu," perintah ayahnya. "Kita juga harus cari siapa dalang dibalik akun anonimus itu." Ndaru beralih pada Gilang. "Tolong cari sampai ketemu, Lang. Kalau bisa tuntut dia juga." "Baik, Pak." "Kita akan sibuk setelah ini. Nama kamu harus bersih, Mas." Meskipun terlihat tenang, tetapi Harris begitu tegas. "Semua demi kebaikan keluarga kita. Untuk karir politik Mas Guna dan juga karir kamu di perusahaan nanti. Jangan sampai kejadian ini membuat para pemegang saham nggak percaya Mas Ndaru untuk memimpin perusahaan." Benar. Skandal ini harus segera diatasi. *** Shana duduk di sofa dengan kaki tertekuk. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Dengan ditemani teh hangat, dia menatap Erina dengan wajah polosnya. Tatapan tidak bersalah itu membuat keadaan semakin tidak nyaman. Shana sudah siap jika kakaknya akan kembali mengomel kali ini. "Lo bikin masalah apa lagi, sih, Shana?" Erina memijat kepalanya yang terasa berat. "Kayak gue bikin masalah terus aja, Mbak," gumam Shana dengan bibir yang maju. "Lo pacaran sama Dito aja udah bikin gue pusing. Sekarang lo malah—" Erina tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. "Dito selingkuh, Mbak. Gue liat ada cewek setengah bugil di kamar itu." Shana kembali mengingat malam menyesakkan itu. "Iya, tapi ini bukan lagi tentang Dito, tapi lo! Bukan Dito yang viral malah lo yang jadi trending topic." Shana mengembungkan pipinya. Dia tahu jika ia salah. Namun sungguh, Shana tidak pernah berpikir jika aksi nekatnya semalam memberikan posisi yang merugikan untuknya. Bagaimana bisa foto ciumannya beredar padahal tidak ada siapa pun di sana selain dirinya dan Dito serta pria asing itu? "Terus ini gimana? Bukan Dito yang dihujat malah lo yang dituduh selingkuh. Lo nggak takut karir lo hancur?" "Wajah gue nggak keliatan banget, kok. Masih bisa ngelak." Benar katas Shana. Netizen masih kabur dengan identitas gadis di foto itu. Memang sudah ada yang berhasil menebak dirinya. Namun ada juga yang tidak mempercayainya. Pukulan keras Shana dapatkan di kepala. Dia menghindar dari Erina cepat. Kakaknya benar-benar marah kali ini. Profesi mereka memang bersinggungan dengan publik, tentu masalah ini akan mempengaruhi nama mereka. Apa lagi Shana. Ini pertama kalinya dia terlibat skandal yang merugikan. Selama ini dia dikenal sebagai penulis yang tidak memiliki masalah. Bahkan aktifnya dia di dunia filantropi memberikan citra yang positif. Namun lihat sekarang, semua hancur dalam satu malam. "Ada media yang hubungi lo?" Erina kembali duduk. "Banyak, gue sampe trauma buka email." Ya, Shana mendapatkan banyak email dari para wartawan yang ingin mencari kebenaran. Jangankan bertemu, untuk keluar rumah saja Shana tidak mau. Dia bahkan mengungsi ke rumah kakaknya sejak semalam. "Apa kita minta bantuan Mas Fathur aja, Mbak?" tanya Shana. Fathur Ranjana, kekasih Erina, pemilik dari Ranjana Media yang juga memiliki dua stasiun televisi. Tentu dia memiliki kekuatan untuk mengendalikan berita yang tersebar. "Kita udah sering minta bantuan dia." Suara langkah kaki yang mendekat membuat kedua gadis itu menoleh. Panjang umur. Pria yang mereka bicarakan datang dengan wajah masam. "Apa lagi kali ini, Shana?" tanya Fathur langsung. "Mas sudah capek urus berita miring tentang Dito. Eh, sekarang malah gantian kamu." "Aku khilaf, Mas." Shana menunduk. "Kamu bisa bantu Shana, Yang?" tanya Erina ragu. "Dia butuh pengalihan isu." "Bisa, tapi kayaknya kali ini berita nggak akan hilang gitu aja." Fathur menatap Shana lekat. "Kenapa harus Handaru Atmadjiwo, Shana?" Shana menggigit bibirnya pelan. "Cuma dia yang ada di sana." Erina menepuk dahinya pelan. Adiknya benar-benar membuatnya pusing. Benar, dia pusing bukan hanya karena foto ciuman Shana yang tersebar. Melainkan kenapa harus Handaru Atmadjiwo yang adiknya libatkan? Benar-benar petaka. *** TBCDi ruangan privat itu, baik Guna dan Ndaru fokus pada pekerjaan masing-masing. Hidangan makan siang yang tersaji di hadapan mereka belum mereka sentuh sedikit pun. Mereka berdua tampak sibuk membahas sesuatu. Membahas hal yang membuat nama mereka goyah akhir-akhir ini. "Aku jadi ikutan kena, Ru," keluh Guna. "Peluang suara menurun?" tanya Ndaru. "Betul, Pak. Sekitar dua persen, tapi Pak Guna tetap unggul dari caleg lain," jawab Rahmat, orang kepercayaan Guna. "Tetap kita nggak boleh jumawa, Mat. Pemilu masih tahun depan." Ndaru mendorong laptopnya lelah. Menyadari perubahan itu, Gilang pun mengambil alih. Dia ikut meringis melihat banyaknya email yang masuk. Rata-rata berasal dari para wartawan. Belum selesai dengan kabar duka dari Haryadi Atmadjiwo, mereka kembali menyerang atasannya dengan foto skandalnya. Setelah Harris memberi perintah tadi pagi, satu jam kemudian orang-orang Guna berhasil menghapus cuitan penyebar skandal itu. Bukan hanya cuitan, tetapi akunnya ju
Acara tahlilan telah selesai. Seperti biasa, keluarga Atmadjiwo kembali berkumpul di ruang keluarga. Bukan lagi untuk membahas perubahan strategi, melainkan skandal yang terjadi. Masa berkabung seolah tak lagi berarti. Ada hal genting lain yang menanti. Malam ini, Ndaru mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana chinos abu-abu. Dia memilih untuk duduk tenang di salah satu sofa. Terlepas dari apa yang menimpanya, Ndaru sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Padahal dalam hati dia juga dibuat pusing dengan apa yang terjadi. Bahkan saat ini, dia yakin jika akan kembali disidang. "Berita nggak mereda sama sekali," keluh Yanti. Dia cukup khawatir dengan karir politik suaminya. "Saham Atmadjiwo Grup juga menurun," lanjut Guna. Topik itu yang akan mereka bahas malam ini. Apa saja akibat yang mereka dapat dari skandal yang menyerang si bungsu. "Bahkan berita tentang kecelakaan Arya sudah tenggelam." "Seharusnya dari awal kamu ngga
Pagi ini Shana memilih untuk bermalas-malasan. Dia duduk di meja makan sambil menatap Erina yang sibuk ke sana-ke mari. Tampak bersiap untuk berangkat bekerja. Profesinya yang merupakan seorang chef selebriti tentu membuatnya cukup sibuk. Bahkan Erina memiliki tiga program acara unggulan di televisi. Yang berhubungan dengan kuliner tentu saja. "Gue udah bikin sarapan. Lo tinggal makan aja." Shana menyandarkan kepalanya dengan malas. "Gue pingin makan ketoprak." Erina berdecak. "Makan yang ada. Gue harus berangkat sekarang." Shana kembali menegakkan kepalanya. "Gue beneran nggak boleh keluar?" "Boleh, kalau lo mau dikeroyok wartawan." Shana berdecak, "Gila, ya? Masih aja rame bahas masalah kemarin." "Lo yang gila! Ngapain nyosor bibir orang? Mana yang disosor klan Atmadjiwo. Apa nggak heboh satu negara?" Shana mengusap hidungnya kasar. Sepertinya memang lebih baik dia diam. Seketika kepalanya pening saat Erina kembali mengomel. "Gue nggak bisa nulis apa-apa. Kepa
Tidak ada yang berubah hari ini. Semua berjalan seperti biasa. Masih dengan berita yang ramai diperbincangkan tentu saja. Namun Ndaru berusaha untuk mengabaikannya. Di dalam kamarnya, dia mencoba fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Cukup sulit bekerja dengan jarak jauh seperti ini. Namun Ndaru harus segera menyelesaikan semuanya sebelum kembali ke pusat. Baik Kakak dan Ayahnya sudah mendesaknya untuk segera mengambil alih induk perusahaan. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. Tanpa menjawab pun dia tahu jika Gilang yang mengetuk pintu kamarnya. Benar saja, tak lama asisten pribadinya itu masuk. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta semalam," ucap Gilang memberikan sebuah map coklat yang cukup tebal. "Sudah lengkap?" tanya Ndaru mulai membuka map itu. "Saya sedikit kesulitan untuk mencari tahu latar keluarganya, Pak." Ndaru mengangguk mengerti. Dia memaklumi kekurangan informasi yang Gilang cari. Toh, permintaannya memang menda
Sebagai kepala keluarga, tentu Harris Atmadjiwo tidak bisa tenang. Hatinya dikuasai rasa bimbang. Kematian anak tengahnya sudah cukup membuatnya terguncang. Lalu sekarang anak bungsunya kembali datang dengan masalah yang menantang. Seharusnya di usianya yang menginjak 71 tahun ini, Harris sudah bisa bersantai di hari tuanya. Kehidupan serta karir anak-anaknya juga sudah bagus dan menjanjikan. Namun siapa sangka jika dia tetap turun tangan saat ada permasalahan yang menyangkut nama Atmadjiwo. Bukan usaha yang mudah untuknya membangun kerajaan bisnis hingga seperti ini. Harris percaya jika nama baik akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari kepercayaan rekan bisnis hingga kepercayaan masyarakat. Meski ada juga yang membenci, tetapi suara mereka tidak terlalu vokal. Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun hidup tenang, keluarganya terguncang dengan satu skandal. Skandal yang untuk pertama kalinya sulit mereka atasi. Sekali lagi, nama baik Atmadjiwo sangat penting untuknya. Ha
Meskipun hari sudah malam, tetapi suasana bandara tetap ramai. Sayangnya itu tidak berlaku untuk di dalam kendaraan. Keadaan benar-benar sangat tenang. Namun juga menegangkan. Perjanjian kontrak yang telah disetujui seolah tidak ada artinya. Tembok besar masih berdiri kokoh sebagai pemisah. Maklum tentu menjadi dasar utama. Pertemuan awal yang tidak baik tentu tak bisa memperbaiki hubungan keduanya. Shana memilih untuk melihat ke luar jendela. Mulutnya juga masih tertutup rapat. Bahkan sejak satu jam yang lalu saat perjalanan dimulai. Shana tidak tahu apa yang Ndaru lakukan di sampingnya. Lagi pula Shana juga tidak ingin mencari tahu. Pria itu terlalu fokus menutup mulut dan menatap layar iPad-nya. "Semua sudah selesai, kan, Lang? Saya tinggal menghadiri acara perpisahan." Untuk pertama kalinya Ndaru membuka suara setelah satu jam lebih terjadi keheningan. "Betul, Pak. Tiga hari lagi Bapak bisa ke Surabaya." Shana masih diam, meski sesekali dia juga mencuri dengar. Dia i
Roda kehidupan terus berputar tanpa henti. Mengundang masalah untuk datang silih berganti. Sebagai manusia kita hanya bisa meyakinkan diri. Jika masalah datang bukan tanpa arti. Ada makna dan pembelajaran yang bisa menguatkan hati. Ndaru adalah orang yang sangat disiplin. Dia selalu bangun pagi untuk menjalankan kewajiban dan aktivitasnya. Selarut apapun dia tidur, matanya otomatis akan terbuka jika waktu Subuh tiba. Mungkin bisa dihitung jari kapan ia bangun terlambat. Kegiatan pagi yang sering ia lakukan adalah berenang. Ini pertama kalinya Ndaru mencoba kolam renang di rumah barunya. Tanpa peduli dengan suhu air yang cukup dingin, dia tetap menenggelamkan tubuhnya di sana. Berenang dari ujung-ke ujung sampai ia merasa puas dan lelah. Tangan besar Ndaru mengusap wajahnya kasar. Menghilangkan tetes air yang mengganggu pandangannya. Kepalanya mendongak menatap langit gelap. Semburat biru perlahan mulai mengintip. Menandakan jika matahari akan muncul sebentar lagi. Ndaru
Sebenarnya, bukan gaya Atmadjiwo untuk selalu tampil di layar televisi. Biasanya, mereka akan memanggil satu media terpercaya untuk menyebarkan press realease. Namun akhir-akhir ini alur kegiatan keluarga mereka mulai berubah. Tidak lagi begitu misterius. Karena apa? Karena ada kepentingan tersendiri yang membutuhkan perhatian publik. Adhiguna Amir ingin menjadi anggota dewan dan Handaru Gama ingin mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Mereka sama-sama memiliki kepentingan. Bukan hanya mereka berdua, tetapi Harris Atmadjiwo juga. Sebagai tokoh visioner keluarga, dia juga memiliki kepentingan. Selama menjadi pembisnis, dia tidak pernah ikut terjun ke politik. Dia selalu bermain rapi di belakangnya. Memberi dan memfasilitasi semua keperluan dengan harapan orang-orang yang ia dukung akan membantu bisnisnya. Itu yang masih ia lakukan hingga saat ini. Kepergian Haryadi secara mendadak tentu menjadi pukulan berat. Mereka harus merubah strategi dan rencana keluarga. Namun skandal se
Manusia memang tidak ada yang sempurna. Kemarahan seolah menjadi hal yang biasa rasanya. Mengabaikan kata-kata mutiara yang seharusnya tak tercipta. Namun manusia tetaplah manusia. Makhluk yang mengedepankan ego tanpa melihat keadaan lawan bicara. Sedari tadi telinga Shana terus berdengung. Bukan karena seseorang tengah membicarakannya di belakang, melainkan gerutuan Erina yang tak kunjung usai. Sepanjang perjalanan, kakaknya itu terus merutuk. Sumpah serapah lolos beberapa kali dari mulut indahnya. Lupakan fakta jika ada Fathur di sisinya, Erina benar-benar tidak bisa lagi menahannya. Pertemuan dengan keluarga Atmadjiwo berlangsung dengan menegangkan. Terjadi adu mulut dengan kalimat yang saling sindir-menyindir. Takut? Erina tidak merasakannya. Justru dia kesal dengan keluarga Atmadjiwo yang jauh dari kata elegan. Apa lagi si Tua Harris, Erina kembali merutuk pria tua itu. Menyombongkan semua anggota keluarga seolah tidak memiliki celah. Padahal jika orang-orang mau membuk
Awalnya, Erina tidak begitu menganggap serius rencana pernikahan Shana dan Ndaru. Bahkan dia bersikap tidak peduli dan menunjukkan rasa enggannya. Namun setelah bertemu dengan Ndaru, semua berubah. Bahkan dia kembali mengosongkan jadwalnya hari ini demi menyiapkan keperluan untuk makan malam bersama keluarga Atmadjiwo. Erina dengan semangat membawa Shana ke salon untuk merapikan potongan rambut mereka. Bukan hanya rambut, mereka juga mempercantik kuku mereka. Selain itu, Erina juga rela mengeluarkan tabungan mereka dan memaksa Shana membeli tas serta pakaian baru. Merek ternama yang terkenal dengan kotak berwarna orange-nya. Sebenarnya Erina dan Shana bukanlah orang yang kekurangan. Dengan profesinya, mereka sangat mampu untuk membeli barang-barang mewah tersebut. Hanya saja tentu tidak setiap saat. Jika dibandingkan dengan keluarga Atmadjiwo, mereka tentu masih kalah jauh. Tidak, Erina melakukan hal ini bukan untuk menyambut antusias undangan makan malam Ndaru. Dia hanya tidak
Salah satu hal yang membuat Ndaru enggan memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo adalah waktu. Dia seolah tidak memiliki waktu lagi selain untuk bekerja. Ndaru pernah menjadi wakil direktur Guna sebelum pindah ke Surabaya, dan itu cukup menguras waktu dan tenaganya. Bahkan beberapa kali Ndaru harus berdebat dengan mendiang istrinya karena kesibukannya. Semenjak Farah meninggal, akhirnya Ndaru memutuskan untuk melepas semuanya. Dia rela melepas jabatan pentingnya untuk memimpin anak perusahaan Atmadjiwo Grup di Surabaya. Ndaru hanya ingin mengganti waktu yang tak pernah istrinya dapatkan agar lebih fokus mengurus Juna. Namun ternyata itu tidak berlangsung lama. Haryadi meninggal dan membuatnya mau tidak mau kembali ke Jakarta. Bukan lagi untuk menduduki posisi wakil direktur, melainkan menjadi direktur utama, memimpin semua kerajaan bisnis Atmadjiwo Grup. Terpaksa? Awalnya iya. Namun Ndaru berusaha untuk berpikir realistis. Lahir dengan darah Atmadjiwo tentu tidak bisa membuatnya
Erina tidak tahu apa tujuan Shana menculiknya. Saat ia memutuskan untuk bersantai di rumah, tiba-tiba adiknya memaksanya untuk ikut dengannya. Terpaksa Erina harus meminta Fathur yang akan datang berkunjung untuk putar balik. Karena Shana tidak akan membiarkannya berada di rumah malam ini. "Ngapain kita ke sini?" tanya Erina menatap bangunan khas di depannya dengan wajah tak suka. Djiwo Resto adalah salah satu pesaingnya di dunia kuliner. Erina kesal saat harus mengingat jika restorannya selalu berada di bawah peringkat Djiwo Resto. "Makan malem. Gue yang traktir." "Nggak mau!" Erina berniat untuk menghentikan taksi, tetapi Shana lebih dulu menariknya. "Kenapa, sih, Mbak? Nurut aja buat malam ini." "Lo ngapain bawa gue ke sini? Kalau mau traktir makan bisa di restoran lain. Atau enggak di warung tenda pinggir jalan. Mending di situ dari pada di sini," gerutunya. Shana meringis menyadari kekesalan Erina. Gadis itu memang sangat sensitif akhir-akhir ini jika berhubungan
Sebenarnya, bukan gaya Atmadjiwo untuk selalu tampil di layar televisi. Biasanya, mereka akan memanggil satu media terpercaya untuk menyebarkan press realease. Namun akhir-akhir ini alur kegiatan keluarga mereka mulai berubah. Tidak lagi begitu misterius. Karena apa? Karena ada kepentingan tersendiri yang membutuhkan perhatian publik. Adhiguna Amir ingin menjadi anggota dewan dan Handaru Gama ingin mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Mereka sama-sama memiliki kepentingan. Bukan hanya mereka berdua, tetapi Harris Atmadjiwo juga. Sebagai tokoh visioner keluarga, dia juga memiliki kepentingan. Selama menjadi pembisnis, dia tidak pernah ikut terjun ke politik. Dia selalu bermain rapi di belakangnya. Memberi dan memfasilitasi semua keperluan dengan harapan orang-orang yang ia dukung akan membantu bisnisnya. Itu yang masih ia lakukan hingga saat ini. Kepergian Haryadi secara mendadak tentu menjadi pukulan berat. Mereka harus merubah strategi dan rencana keluarga. Namun skandal se
Roda kehidupan terus berputar tanpa henti. Mengundang masalah untuk datang silih berganti. Sebagai manusia kita hanya bisa meyakinkan diri. Jika masalah datang bukan tanpa arti. Ada makna dan pembelajaran yang bisa menguatkan hati. Ndaru adalah orang yang sangat disiplin. Dia selalu bangun pagi untuk menjalankan kewajiban dan aktivitasnya. Selarut apapun dia tidur, matanya otomatis akan terbuka jika waktu Subuh tiba. Mungkin bisa dihitung jari kapan ia bangun terlambat. Kegiatan pagi yang sering ia lakukan adalah berenang. Ini pertama kalinya Ndaru mencoba kolam renang di rumah barunya. Tanpa peduli dengan suhu air yang cukup dingin, dia tetap menenggelamkan tubuhnya di sana. Berenang dari ujung-ke ujung sampai ia merasa puas dan lelah. Tangan besar Ndaru mengusap wajahnya kasar. Menghilangkan tetes air yang mengganggu pandangannya. Kepalanya mendongak menatap langit gelap. Semburat biru perlahan mulai mengintip. Menandakan jika matahari akan muncul sebentar lagi. Ndaru
Meskipun hari sudah malam, tetapi suasana bandara tetap ramai. Sayangnya itu tidak berlaku untuk di dalam kendaraan. Keadaan benar-benar sangat tenang. Namun juga menegangkan. Perjanjian kontrak yang telah disetujui seolah tidak ada artinya. Tembok besar masih berdiri kokoh sebagai pemisah. Maklum tentu menjadi dasar utama. Pertemuan awal yang tidak baik tentu tak bisa memperbaiki hubungan keduanya. Shana memilih untuk melihat ke luar jendela. Mulutnya juga masih tertutup rapat. Bahkan sejak satu jam yang lalu saat perjalanan dimulai. Shana tidak tahu apa yang Ndaru lakukan di sampingnya. Lagi pula Shana juga tidak ingin mencari tahu. Pria itu terlalu fokus menutup mulut dan menatap layar iPad-nya. "Semua sudah selesai, kan, Lang? Saya tinggal menghadiri acara perpisahan." Untuk pertama kalinya Ndaru membuka suara setelah satu jam lebih terjadi keheningan. "Betul, Pak. Tiga hari lagi Bapak bisa ke Surabaya." Shana masih diam, meski sesekali dia juga mencuri dengar. Dia i
Sebagai kepala keluarga, tentu Harris Atmadjiwo tidak bisa tenang. Hatinya dikuasai rasa bimbang. Kematian anak tengahnya sudah cukup membuatnya terguncang. Lalu sekarang anak bungsunya kembali datang dengan masalah yang menantang. Seharusnya di usianya yang menginjak 71 tahun ini, Harris sudah bisa bersantai di hari tuanya. Kehidupan serta karir anak-anaknya juga sudah bagus dan menjanjikan. Namun siapa sangka jika dia tetap turun tangan saat ada permasalahan yang menyangkut nama Atmadjiwo. Bukan usaha yang mudah untuknya membangun kerajaan bisnis hingga seperti ini. Harris percaya jika nama baik akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari kepercayaan rekan bisnis hingga kepercayaan masyarakat. Meski ada juga yang membenci, tetapi suara mereka tidak terlalu vokal. Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun hidup tenang, keluarganya terguncang dengan satu skandal. Skandal yang untuk pertama kalinya sulit mereka atasi. Sekali lagi, nama baik Atmadjiwo sangat penting untuknya. Ha
Tidak ada yang berubah hari ini. Semua berjalan seperti biasa. Masih dengan berita yang ramai diperbincangkan tentu saja. Namun Ndaru berusaha untuk mengabaikannya. Di dalam kamarnya, dia mencoba fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Cukup sulit bekerja dengan jarak jauh seperti ini. Namun Ndaru harus segera menyelesaikan semuanya sebelum kembali ke pusat. Baik Kakak dan Ayahnya sudah mendesaknya untuk segera mengambil alih induk perusahaan. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. Tanpa menjawab pun dia tahu jika Gilang yang mengetuk pintu kamarnya. Benar saja, tak lama asisten pribadinya itu masuk. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta semalam," ucap Gilang memberikan sebuah map coklat yang cukup tebal. "Sudah lengkap?" tanya Ndaru mulai membuka map itu. "Saya sedikit kesulitan untuk mencari tahu latar keluarganya, Pak." Ndaru mengangguk mengerti. Dia memaklumi kekurangan informasi yang Gilang cari. Toh, permintaannya memang menda