Erina tidak tahu apa tujuan Shana menculiknya. Saat ia memutuskan untuk bersantai di rumah, tiba-tiba adiknya memaksanya untuk ikut dengannya. Terpaksa Erina harus meminta Fathur yang akan datang berkunjung untuk putar balik. Karena Shana tidak akan membiarkannya berada di rumah malam ini. "Ngapain kita ke sini?" tanya Erina menatap bangunan khas di depannya dengan wajah tak suka. Djiwo Resto adalah salah satu pesaingnya di dunia kuliner. Erina kesal saat harus mengingat jika restorannya selalu berada di bawah peringkat Djiwo Resto. "Makan malem. Gue yang traktir." "Nggak mau!" Erina berniat untuk menghentikan taksi, tetapi Shana lebih dulu menariknya. "Kenapa, sih, Mbak? Nurut aja buat malam ini." "Lo ngapain bawa gue ke sini? Kalau mau traktir makan bisa di restoran lain. Atau enggak di warung tenda pinggir jalan. Mending di situ dari pada di sini," gerutunya. Shana meringis menyadari kekesalan Erina. Gadis itu memang sangat sensitif akhir-akhir ini jika berhubungan
Salah satu hal yang membuat Ndaru enggan memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo adalah waktu. Dia seolah tidak memiliki waktu lagi selain untuk bekerja. Ndaru pernah menjadi wakil direktur Guna sebelum pindah ke Surabaya, dan itu cukup menguras waktu dan tenaganya. Bahkan beberapa kali Ndaru harus berdebat dengan mendiang istrinya karena kesibukannya. Semenjak Farah meninggal, akhirnya Ndaru memutuskan untuk melepas semuanya. Dia rela melepas jabatan pentingnya untuk memimpin anak perusahaan Atmadjiwo Grup di Surabaya. Ndaru hanya ingin mengganti waktu yang tak pernah istrinya dapatkan agar lebih fokus mengurus Juna. Namun ternyata itu tidak berlangsung lama. Haryadi meninggal dan membuatnya mau tidak mau kembali ke Jakarta. Bukan lagi untuk menduduki posisi wakil direktur, melainkan menjadi direktur utama, memimpin semua kerajaan bisnis Atmadjiwo Grup. Terpaksa? Awalnya iya. Namun Ndaru berusaha untuk berpikir realistis. Lahir dengan darah Atmadjiwo tentu tidak bisa membuatnya
Awalnya, Erina tidak begitu menganggap serius rencana pernikahan Shana dan Ndaru. Bahkan dia bersikap tidak peduli dan menunjukkan rasa enggannya. Namun setelah bertemu dengan Ndaru, semua berubah. Bahkan dia kembali mengosongkan jadwalnya hari ini demi menyiapkan keperluan untuk makan malam bersama keluarga Atmadjiwo. Erina dengan semangat membawa Shana ke salon untuk merapikan potongan rambut mereka. Bukan hanya rambut, mereka juga mempercantik kuku mereka. Selain itu, Erina juga rela mengeluarkan tabungan mereka dan memaksa Shana membeli tas serta pakaian baru. Merek ternama yang terkenal dengan kotak berwarna orange-nya. Sebenarnya Erina dan Shana bukanlah orang yang kekurangan. Dengan profesinya, mereka sangat mampu untuk membeli barang-barang mewah tersebut. Hanya saja tentu tidak setiap saat. Jika dibandingkan dengan keluarga Atmadjiwo, mereka tentu masih kalah jauh. Tidak, Erina melakukan hal ini bukan untuk menyambut antusias undangan makan malam Ndaru. Dia hanya tidak
Manusia memang tidak ada yang sempurna. Kemarahan seolah menjadi hal yang biasa rasanya. Mengabaikan kata-kata mutiara yang seharusnya tak tercipta. Namun manusia tetaplah manusia. Makhluk yang mengedepankan ego tanpa melihat keadaan lawan bicara. Sedari tadi telinga Shana terus berdengung. Bukan karena seseorang tengah membicarakannya di belakang, melainkan gerutuan Erina yang tak kunjung usai. Sepanjang perjalanan, kakaknya itu terus merutuk. Sumpah serapah lolos beberapa kali dari mulut indahnya. Lupakan fakta jika ada Fathur di sisinya, Erina benar-benar tidak bisa lagi menahannya. Pertemuan dengan keluarga Atmadjiwo berlangsung dengan menegangkan. Terjadi adu mulut dengan kalimat yang saling sindir-menyindir. Takut? Erina tidak merasakannya. Justru dia kesal dengan keluarga Atmadjiwo yang jauh dari kata elegan. Apa lagi si Tua Harris, Erina kembali merutuk pria tua itu. Menyombongkan semua anggota keluarga seolah tidak memiliki celah. Padahal jika orang-orang mau membuk
"Pak Ndaru?" tanya Shana dengan mata membulat. Pria itu berada di sini? Gadis itu mengangguk. "Kata teman saya Pak Ndaru baru saja datang. Bapak juga akan mencoba pasangan dari kebaya ini." Shana menggeleng cepat. Dia tidak mau muncul di hadapan Ndaru dengan kebaya ini. Dia malu. Setidaknya tunggu sampai hari pernikahan tiba saja. "Pak Ndaru sudah menunggu di depan, Bu. Silakan." Shana menelan ludahnya susah payah. Dia pasrah begitu Sinta menuntunnya keluar, ikut membantu ekor kebaya yang menjuntai di lantai. Begitu pintu terbuka, Shana memilih untuk menunduk. Dia tidak mau melihat ke arah depan yang entah ada siapa saja di sana. "Bagaimana, Pak?" tanya Sinta. Shana masih memilih untuk menunduk. Mencoba sibuk dengan kebayanya sendiri. Padahal dalam hati dia juga menunggu kalimat yang akan masuk ke dalam telinganya. "Bagus," jawab suara berat itu singkat. Reflek, Shana mengangkat wajahnya. Di depannya, Ndaru tengah duduk santai di sofa yang tersedia. Menatapnya
Kesepian memang merana. Yang bisa membuat orang-orang menjadi iba. Karena berduka tentu saja. Namun kehilangan tidak bisa diterka. Takdir Tuhan telah menggariskannya. Awalnya, hidup Putri tampak sempurna dan bahagia. Di kelilingi oleh orang-orang yang begitu mencintai dan menyayanginya. Kebiasaan itu yang membuatnya seolah hilang arah. Kehilangan suami benar-benar membuatnya terpuruk rasanya. Mungkin tiada hari tanpa melamun. Tiada hari tanpa berduka. Tiada hari tanpa memikirkan Arya. Dan juga tiada hari tanpa memikirkan masa depannya. Juga masa depan anaknya. Jangan berbicara tentang uang. Putri tidak kekurangan sama sekali. Hidupnya sudah terjamin karena menjadi anak dari seorang Darma Baktiar dan menantu Harris Atmadjiwo. Yang membuatnya sedih adalah perginya pria yang memberikan cinta terbesar dalam hidupnya. "Satria sudah makan, Put?" tanya Darma, Ayahnya. Hingga saat ini pun, Putri masih memilih tinggal bersama ayahnya. Seolah tidak mau lagi menginjak rumah prib
Bohong rasanya jika Shana tidak gugup. Jika bisa, dia ingin melarikan diri sekarang juga. Sayangnya, pria di sampingnya tentu akan melarang. Membuat Shana hanya bisa merutuk dalam hati. Shana pikir pengendalian dirinya sudah yang terbaik, ternyata Ndaru jauh lebih baik. Pria itu terlihat begitu tenang. Seolah pria yang akan mereka temui saat ini bukanlah siapa-siapa. Baiklah, Dito Alamsyah memang bukan siapa-siapa bagi Handaru Atmadjiwo. Namun berbeda dengan Shana, Dito adalah mantan tersial yang pernah ia punya. "Pak, mending kita batalin aja." Akhirnya Shana menyuarakan suara hatinya. Ndaru yang tengah membaca artikel harian bisnis pun menoleh. Tidak bertanya, tetapi alisnya terangkat sebelah. "Dito bahaya, Pak. Ini nggak bener." Shana dengan cepat berdiri sambil meraih tasnya. Sayangnya dengan cepat Ndaru menahan lengannya. Shana tentu terkejut. Dia menoleh dan lagi-lagi tidak ada ekspresi di wajah Ndaru. Pria itu kembali memintanya duduk dengan tenang. "Kamu taku
Berita mengenai pernikahan Handaru Atmadjiwo dan Shana Arkadewi sudah tersebar. Berhasil menjadi perbincangan hangat di semua media. Bukan hanya kalangan elit saja, para butiran netizen pun ikut aktif bersuara. Seperti sudah menjadi acara akbar. Tentu saja, karena pada akhirnya Duda Incaran Satu Indonesia itu melepas status dudanya. Setelah kurang lebih dua tahun lamanya, ternyata Shana Arkadewi yang berhasil mengetuk hatinya. Setidaknya itu kata netizen yang maha tau segalanya. "Udah berusaha keras jadi mbak-mbak independent biar bisa gait Handaru Atmadjiwo, eh doi malah kawin duluan. Potek hati gue #PatahHatiNasional" "#PatahHatiNasional Shana Arkadewi keren sih! Lepas dari buaya langsung dapet si raja hutan. You go girl!" "Mbak Shana, please kasih tau cara dapetin duda kayak Handaru. Gue juga mau satu! #PatahHatiNasional" "Pupus harapan gue jadi anggota keluarga Atmadjiwo. Mbak Shana tolong jaga Handaru, kalau nggak pinjem dulu seratus #PatahHatiNasional" "Gue dari sema
Shella Clarissa. Wanita itu berada di sini. Mungkin sudah lelah karena Ndaru yang tak menggubris panggilannya. "Bawa Mas Juna masuk." Ndaru mematikan kompor dan memberikan Juna pada Bibi Lasmi. Ketegangan ini tak boleh didengar oleh anak itu. "Siapa, Mas?" tanya Shella berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah menahan marah. "Shel—" "Aku yang pengganggu?" Shella dengan beraninya memotong ucapan Ndaru. Ndaru memilih untuk kembali menutup mulut. Bukan berarti takut, tetapi dia tidak mau beradu argumen dengan orang yang sudah emosi. Baiklah, dia memang salah. Namun semuanya sudah terlanjur, bukan? "Shella, bukan begitu." Gilang menarik Shella yang semakin dekat dengan Ndaru. "Bisa-bisanya Mas Ndaru bilang gitu," geram Shella. "Harusnya aku yang marah. Mas Ndaru ke mana kemarin? Mas lupa acara pengajian Mbak Farah?!" "Ada hal yang harus saya lakukan." Tanpa diduga Shella tertawa. "Apa itu lebih penting dari Mbak Farah?" Tentu saja kegaduhan itu dapat didengar
Pagi kali ini terasa berbeda. Kata sapa terdengar lembut di telinga. Senyum tipis juga terasa sedap di mata. Aura ketenangan itu begitu terasa. Kala sang tuan rumah mendadak memasak dengan sendirinya. Aneh. Pemandangan yang jarang untuk dilihat. Bahkan bisa dikatakan tak pernah terlihat. Bisa dihitung dengan jari Bibi Lasmi melihat atasannya itu menyentuh spatula. Benar-benar pemandangan yang patut diabadikan. "Ibu biasanya pinggiran rotinya dipotong, Pak." Bak seperti komandan, Bibi Lasmi tampak memandu dari belakang. Melihat bagaimana dua manusia yang berbeda usia itu tampak serius dengan apa yang dikerjakan. "Biar Papa yang potong." Dengan sigap Ndaru menjauhkan pisau dari tangan Juna. "Nggak mau! Mau potong-potong juga!" Juna mulai merengek. Ndaru menyerah dan memberikan pisaunya. Bukan sepenuhnya memberi, karena dia ikut menuntun tangan anaknya agar lebih berhati-hati. Bibi Lasmi kembali melirik dari belakang. Melihat bagaimana dua pria itu tengah fokus pa
Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat o
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it
Sarapan pagi dipenuhi dengan makanan lezat. Mengingat jika sang Putra Sulung sudah kembali merapat. Membuat suasana rumah menjadi lebih hangat. Sungguh, potret keluarga bahagia yang terjalin dengan erat. Suara riuh dari teriakan sang cucu memenuhi ruangan. Tampak berlarian menghindari sarapan. Namun itu bukanlah sebuah kesulitan. Sudah ada para pengasuh yang siap bekerja sesuai arahan. "Nggak mau sayur!" "Biar sehat, Ayu," balas sang pengasuh yang masih mengejar. Pemandangan itu diabaikan oleh para manusia dewasa. Yang tetap duduk tenang dengan banyak makanan di atas meja. Perbincangan kecil juga ikut mengisi suasana. Membahas banyak hal yang tak terduga. "Udah pada denger belum?" Sania, Si Bungsu memulai topik baru. "Shana kecelakaan." Kalimat itu berhasil membuat pergerakan semua orang terhenti. Semua mata langsung tertuju pada Sania. "Kok bisa?" Atikah, sang ibu menunjukkan wajah khawatirnya. "Papa udah denger." Nurdin menghela napas kasar. "Di rumah sakit mana?"
Malam semakin larut. Rasa kantuk pun langsung beringsut. Tergantikan dengan rasa canggung yang menyelimut. Membuat lagi-lagi jantung mulai berdenyut. Di ruangan itu, hanya terdengar detik jarum jam yang berputar. Menahan seorang gadis agar tetap sadar. Mengingat jika ada seorang pria yang tengah duduk bersandar. Menatapnya lekat tanpa berkomentar. Shana memainkan jari-jemarinya di dalam selimut dengan gelisah. Dia masih menatap ke samping, ke arah yang berlawanan dari tempat Ndaru duduk. Sesekali dia melirik, dan menyadari jika pria itu masih menatapnya lekat. Hal itu membuat Shana gelisah. Pada akhirnya dia pun tak tahan. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Pak. Jangan liatin saya kayak gitu," gerutu Shana jengah. "Bodoh." Kalimat pertama yang keluar benar-benar di luar dugaan. Sangat tajam dan terdengar sangat menusuk. "Maksud Bapak apa?" tanya Shana mulai bangkit dari tidurnya. Meski kesal, Ndaru dengan sigap berdiri dan membantunya. Tangan besarnya membenarkan posis
Jantungnya berdegup dengan cepat. Langkah kakinya juga tidak melambat. Pikiran buruk berkeliling dengan dahsyat. Membuatnya seketika dilanda perasaan yang tak tepat. Tidak ada yang Ndaru pikirkan selain Shana. Setelah mendengar kabar yang tak terduga, ia lupa akan segala rencana. Tanpa perasaan ragu ia pun berbelok tujuan tanpa menunggu lama. Langkah kaki yang lebar itu membuat Gilang terlihat kesulitan untuk mengikuti. Namun dia sudah mulai membiasakan diri. Sudah tugasnya menjadi asisten pribadi. Bahkan sebelum sampai rumah sakit, ia sudah mengantongi banyak informasi. Mulai dari letak kamar, kondisi terkini si Nyonya Besar, hingga dokter yang menanganinya. Begitu lengkap, membuat Ndaru tak ragu untuk langsung melompat turun dari mobil begitu tiba. "Belok kanan, Pak." Ndaru langsung berbelok begitu dia di hadapkan pada dua jalan. Namun dengan cekatan Gilang memberitahunya. "Kamar paling ujung sebelah kanan, Pak," ujar Gilang lagi. Dahi Ndaru berkerut saat menyadari jika
Sebenarnya pertemuan Shana dengan Raja tidak berlangsung lama. Mereka hanya membahas hal-hal kecil mengenai iklan yang masuk. Setelahnya, Shana memilih untuk berdiam diri di kafe. Sudah lama ia tidak berada di ruangannya untuk waktu yang lama. Hal itu ia manfaatkan untuk kembali menulis. Mencari ide baru yang mungkin saja bisa keluar dari tema zona nyamannya. Tak terasa jarum jam terus berputar. Membuat Shana lupa akan waktu yang ternyata tidak sebentar. Matanya mulai mengedar, menatap dinding kaca yang menampilkan keadaan luar. Ramainya pengunjung mulai membuat konsentrasinya buyar. Sudah waktunya untuk dirinya menghindar. Shana meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Hanya sebuah pesan, tetapi langsung direspon dengan cepat. Terbukti dari pintu ruangannya yang langsung diketuk tiga kali dan disusul oleh seseorang yang masuk ke dalamnya. "Ada apa, Mbak?" Dia adalah Bagas, manager kafenya. "Buatin kopi buat take away." "Mbak Shana udah mau pulang? Mau kopi yang kayak