Acara tahlilan telah selesai. Seperti biasa, keluarga Atmadjiwo kembali berkumpul di ruang keluarga. Bukan lagi untuk membahas perubahan strategi, melainkan skandal yang terjadi. Masa berkabung seolah tak lagi berarti. Ada hal genting lain yang menanti.
Malam ini, Ndaru mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana chinos abu-abu. Dia memilih untuk duduk tenang di salah satu sofa. Terlepas dari apa yang menimpanya, Ndaru sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Padahal dalam hati dia juga dibuat pusing dengan apa yang terjadi. Bahkan saat ini, dia yakin jika akan kembali disidang. "Berita nggak mereda sama sekali," keluh Yanti. Dia cukup khawatir dengan karir politik suaminya. "Saham Atmadjiwo Grup juga menurun," lanjut Guna. Topik itu yang akan mereka bahas malam ini. Apa saja akibat yang mereka dapat dari skandal yang menyerang si bungsu. "Bahkan berita tentang kecelakaan Arya sudah tenggelam." "Seharusnya dari awal kamu nggak perlu datang ke sini." Putri berbicara. Wanita itu memang ikut berkumpul setelah berhasil menenangkan diri dengan tidak menyerang Ndaru. Namun sepertinya rasa sakit itu masih ia rasakan. "Maaf, Mbak." Ndaru benar-benar tulus meminta maaf. "Sudah banyak cara yang kita lakukan. Pengalihan isu pun nggak berguna sama sekali." Yanti menatap Ndaru. "Kamu kasih netizen apa, sih, Ru? Sampe heboh banget bicarain kamu?" "Ya, karena Om Ndaru ganteng, misterius, dan tak tersentuh. Sekali muncul eh malah foto panas yang kesebar. Gimana nggak rame?" Kali ini Mala, anak Guna yang berbicara. Entah apa yang membuat remaja berusia 16 tahun itu tiba-tiba ikut bergabung. Mungkin penasaran dengan skandal dari pamannya itu. "Sekarang orang-orang pada heboh bahas yang lain. Mereka ngira Om Ndaru selingkuhannya Shana Arkadewi." Ndaru memijat keningnya. Apa lagi ini? "Jadi gimana sekarang? Nggak mungkin kita diem aja sampai berita hilang. Pak Roni minta aku untuk segera selesaikan masalah ini," jelas Guna. "Susah ambil suara rakyat kalau berhubungan sama adab gini." Bahkan ketua partai yang Guna naungi pun ikut turun tangan. "Dan jangan sampai pemegang saham perusahaan ikut menentang Ndaru untuk memimpin perusahaan." "Oke." Akhirnya Ndaru membuka suara. "Aku akan klarifikasi nanti." Ndaru sudah memikirkan hal ini dengan matang. Usaha yang mereka lakukan benar-benar tak berarti. Mulai dari menghapus sumber cuitan serta semua cuitan yang berhubungan, menuntut penyebar berita, sampai tiga berita pengalihan isu juga mereka keluarkan. Namun tetap tidak ada yang berhasil. Nama Handaru dan Shana masih menjadi perbincangan hangat. Publik terus membicarakan masalah foto itu dan menunggu jawaban. Jika ia tidak membuka suara maka masyarakat tidak akan berhenti dan malah semakin menjadi-jadi. Dalam sehari saja sudah banyak hal yang merugikan mereka. Mulai dari karir politik Guna sampai saham perusahaan. Bagaimana jika hal ini terus berlangsung? Ndaru tidak bisa membayangkannya. "Klarifikasi yang bagaimana, Mas? Kamu jangan gegabah." Harris memperingati. "Biar aku pikirkan nanti. Yang pasti, publik ingin aku angkat bicara tentang masalah ini. Kalau terus diam, malah semakin banyak berita tidak bener yang berkembang. Bahkan sekarang buzzer untuk jatuhin Mas Guna sudah banyak." "Pastikan kamu bahas sama kita dulu sebelum publish klarifikasi kamu." Ndaru mengangguk dan mulai berdiri. "Aku harus pulang." "Ke Hotel?" Ndaru menggeleng. "Apartemen. Gilang sudah mengetatkan keamanan." "Kenapa nggak beli rumah aja, Ru? Kan kamu juga mau pindah ke sini?" tanya Yanti. "Mau Mbak bantu carikan? Atau mau yang satu komplek sama kita? Keamanan terjamin kalau itu yang kamu khawatirkan." "Nanti aku pikirkan, Mbak." "Iya, Mas. Apa kamu sudah memutuskan untuk kembali?" tanya Harris. Ndaru tersenyum miring. "Nggak ada pilihan lain, kan, Pa?" "Bagus. Segera kamu urus kepindahan kamu. Sia-sia otakmu kalau dibuat ngurus anak perusahaan Atmadjiwo aja." Ndaru mengangguk. "Aku pulang." Dia berpamitan pada semua orang. Tak terkecuali kakak iparnya yang sedari tadi masih diam. beruntung kali ini Putri mau menjabat tangannya. Benar, mereka memang butuh waktu. *** Di dalam mobil, Ndaru membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Perjalanan akan sedikit memakan waktu mengingat jika hari ini adalah malam Sabtu. Tentu jalanan akan dibuat padat oleh orang-orang yang mencari hiburan setelah lelah bekerja. "Pak Ndaru benar ingin membuat klarifikasi?" tanya Gilang memastikan. "Nggak ada cara lain. Berita sudah melebar ke mana-mana." Ndaru menatap Gilang. "Kamu denger kata Mala tadi? Sekarang saya malah dituduh jadi selingkuhan perempuan itu." Gilang meringis. Ada benarnya juga. Diam tidak akan menyelesaikan masalah. Malah berita menjadi berkembang liar ke mana-mana. Cara yang biasa mereka lakukan tidak berhasil. Mungkin mereka harus mencoba cara lain sekarang. "Oh, iya, Pak." Gilang mulai menatap Ndaru serius. "Shana Arkadewi menghubungi saya." Ndaru terkejut mendengarnya. "Untuk?" "Dia ingin bertemu Bapak." Gilang menunjukkan pesan email yang Shana kirim tadi sore. "Mungkin dengan pertemuan ini, Bapak bisa mencari jalan keluar yang aman bersama." "Oke, atur jadwal untuk besok." *** TBCPagi ini Shana memilih untuk bermalas-malasan. Dia duduk di meja makan sambil menatap Erina yang sibuk ke sana-ke mari. Tampak bersiap untuk berangkat bekerja. Profesinya yang merupakan seorang chef selebriti tentu membuatnya cukup sibuk. Bahkan Erina memiliki tiga program acara unggulan di televisi. Yang berhubungan dengan kuliner tentu saja. "Gue udah bikin sarapan. Lo tinggal makan aja." Shana menyandarkan kepalanya dengan malas. "Gue pingin makan ketoprak." Erina berdecak. "Makan yang ada. Gue harus berangkat sekarang." Shana kembali menegakkan kepalanya. "Gue beneran nggak boleh keluar?" "Boleh, kalau lo mau dikeroyok wartawan." Shana berdecak, "Gila, ya? Masih aja rame bahas masalah kemarin." "Lo yang gila! Ngapain nyosor bibir orang? Mana yang disosor klan Atmadjiwo. Apa nggak heboh satu negara?" Shana mengusap hidungnya kasar. Sepertinya memang lebih baik dia diam. Seketika kepalanya pening saat Erina kembali mengomel. "Gue nggak bisa nulis apa-apa. Kepa
Tidak ada yang berubah hari ini. Semua berjalan seperti biasa. Masih dengan berita yang ramai diperbincangkan tentu saja. Namun Ndaru berusaha untuk mengabaikannya. Di dalam kamarnya, dia mencoba fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Cukup sulit bekerja dengan jarak jauh seperti ini. Namun Ndaru harus segera menyelesaikan semuanya sebelum kembali ke pusat. Baik Kakak dan Ayahnya sudah mendesaknya untuk segera mengambil alih induk perusahaan. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. Tanpa menjawab pun dia tahu jika Gilang yang mengetuk pintu kamarnya. Benar saja, tak lama asisten pribadinya itu masuk. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta semalam," ucap Gilang memberikan sebuah map coklat yang cukup tebal. "Sudah lengkap?" tanya Ndaru mulai membuka map itu. "Saya sedikit kesulitan untuk mencari tahu latar keluarganya, Pak." Ndaru mengangguk mengerti. Dia memaklumi kekurangan informasi yang Gilang cari. Toh, permintaannya memang menda
Sebagai kepala keluarga, tentu Harris Atmadjiwo tidak bisa tenang. Hatinya dikuasai rasa bimbang. Kematian anak tengahnya sudah cukup membuatnya terguncang. Lalu sekarang anak bungsunya kembali datang dengan masalah yang menantang. Seharusnya di usianya yang menginjak 71 tahun ini, Harris sudah bisa bersantai di hari tuanya. Kehidupan serta karir anak-anaknya juga sudah bagus dan menjanjikan. Namun siapa sangka jika dia tetap turun tangan saat ada permasalahan yang menyangkut nama Atmadjiwo. Bukan usaha yang mudah untuknya membangun kerajaan bisnis hingga seperti ini. Harris percaya jika nama baik akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari kepercayaan rekan bisnis hingga kepercayaan masyarakat. Meski ada juga yang membenci, tetapi suara mereka tidak terlalu vokal. Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun hidup tenang, keluarganya terguncang dengan satu skandal. Skandal yang untuk pertama kalinya sulit mereka atasi. Sekali lagi, nama baik Atmadjiwo sangat penting untuknya. Ha
Meskipun hari sudah malam, tetapi suasana bandara tetap ramai. Sayangnya itu tidak berlaku untuk di dalam kendaraan. Keadaan benar-benar sangat tenang. Namun juga menegangkan. Perjanjian kontrak yang telah disetujui seolah tidak ada artinya. Tembok besar masih berdiri kokoh sebagai pemisah. Maklum tentu menjadi dasar utama. Pertemuan awal yang tidak baik tentu tak bisa memperbaiki hubungan keduanya. Shana memilih untuk melihat ke luar jendela. Mulutnya juga masih tertutup rapat. Bahkan sejak satu jam yang lalu saat perjalanan dimulai. Shana tidak tahu apa yang Ndaru lakukan di sampingnya. Lagi pula Shana juga tidak ingin mencari tahu. Pria itu terlalu fokus menutup mulut dan menatap layar iPad-nya. "Semua sudah selesai, kan, Lang? Saya tinggal menghadiri acara perpisahan." Untuk pertama kalinya Ndaru membuka suara setelah satu jam lebih terjadi keheningan. "Betul, Pak. Tiga hari lagi Bapak bisa ke Surabaya." Shana masih diam, meski sesekali dia juga mencuri dengar. Dia i
Roda kehidupan terus berputar tanpa henti. Mengundang masalah untuk datang silih berganti. Sebagai manusia kita hanya bisa meyakinkan diri. Jika masalah datang bukan tanpa arti. Ada makna dan pembelajaran yang bisa menguatkan hati. Ndaru adalah orang yang sangat disiplin. Dia selalu bangun pagi untuk menjalankan kewajiban dan aktivitasnya. Selarut apapun dia tidur, matanya otomatis akan terbuka jika waktu Subuh tiba. Mungkin bisa dihitung jari kapan ia bangun terlambat. Kegiatan pagi yang sering ia lakukan adalah berenang. Ini pertama kalinya Ndaru mencoba kolam renang di rumah barunya. Tanpa peduli dengan suhu air yang cukup dingin, dia tetap menenggelamkan tubuhnya di sana. Berenang dari ujung-ke ujung sampai ia merasa puas dan lelah. Tangan besar Ndaru mengusap wajahnya kasar. Menghilangkan tetes air yang mengganggu pandangannya. Kepalanya mendongak menatap langit gelap. Semburat biru perlahan mulai mengintip. Menandakan jika matahari akan muncul sebentar lagi. Ndaru
Sebenarnya, bukan gaya Atmadjiwo untuk selalu tampil di layar televisi. Biasanya, mereka akan memanggil satu media terpercaya untuk menyebarkan press realease. Namun akhir-akhir ini alur kegiatan keluarga mereka mulai berubah. Tidak lagi begitu misterius. Karena apa? Karena ada kepentingan tersendiri yang membutuhkan perhatian publik. Adhiguna Amir ingin menjadi anggota dewan dan Handaru Gama ingin mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Mereka sama-sama memiliki kepentingan. Bukan hanya mereka berdua, tetapi Harris Atmadjiwo juga. Sebagai tokoh visioner keluarga, dia juga memiliki kepentingan. Selama menjadi pembisnis, dia tidak pernah ikut terjun ke politik. Dia selalu bermain rapi di belakangnya. Memberi dan memfasilitasi semua keperluan dengan harapan orang-orang yang ia dukung akan membantu bisnisnya. Itu yang masih ia lakukan hingga saat ini. Kepergian Haryadi secara mendadak tentu menjadi pukulan berat. Mereka harus merubah strategi dan rencana keluarga. Namun skandal se
Erina tidak tahu apa tujuan Shana menculiknya. Saat ia memutuskan untuk bersantai di rumah, tiba-tiba adiknya memaksanya untuk ikut dengannya. Terpaksa Erina harus meminta Fathur yang akan datang berkunjung untuk putar balik. Karena Shana tidak akan membiarkannya berada di rumah malam ini. "Ngapain kita ke sini?" tanya Erina menatap bangunan khas di depannya dengan wajah tak suka. Djiwo Resto adalah salah satu pesaingnya di dunia kuliner. Erina kesal saat harus mengingat jika restorannya selalu berada di bawah peringkat Djiwo Resto. "Makan malem. Gue yang traktir." "Nggak mau!" Erina berniat untuk menghentikan taksi, tetapi Shana lebih dulu menariknya. "Kenapa, sih, Mbak? Nurut aja buat malam ini." "Lo ngapain bawa gue ke sini? Kalau mau traktir makan bisa di restoran lain. Atau enggak di warung tenda pinggir jalan. Mending di situ dari pada di sini," gerutunya. Shana meringis menyadari kekesalan Erina. Gadis itu memang sangat sensitif akhir-akhir ini jika berhubungan
Salah satu hal yang membuat Ndaru enggan memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo adalah waktu. Dia seolah tidak memiliki waktu lagi selain untuk bekerja. Ndaru pernah menjadi wakil direktur Guna sebelum pindah ke Surabaya, dan itu cukup menguras waktu dan tenaganya. Bahkan beberapa kali Ndaru harus berdebat dengan mendiang istrinya karena kesibukannya. Semenjak Farah meninggal, akhirnya Ndaru memutuskan untuk melepas semuanya. Dia rela melepas jabatan pentingnya untuk memimpin anak perusahaan Atmadjiwo Grup di Surabaya. Ndaru hanya ingin mengganti waktu yang tak pernah istrinya dapatkan agar lebih fokus mengurus Juna. Namun ternyata itu tidak berlangsung lama. Haryadi meninggal dan membuatnya mau tidak mau kembali ke Jakarta. Bukan lagi untuk menduduki posisi wakil direktur, melainkan menjadi direktur utama, memimpin semua kerajaan bisnis Atmadjiwo Grup. Terpaksa? Awalnya iya. Namun Ndaru berusaha untuk berpikir realistis. Lahir dengan darah Atmadjiwo tentu tidak bisa membuatnya
Hari ini Ndaru benar-benar membuat langkah yang berbeda. Bukan kali pertama, tetapi Gilang sadar jika ada banyak hal di kepalanya. Hanya saja Ndaru memilih untuk menyimpannya. Menguburnya sendiri, menikmati tekanannya yang luar biasa. "Sudah jam sembilan malam, Pak." Ndaru yang sedang melamun sambil memutar cangkir kopinya pun menoleh. "Kamu boleh pulang dulu." Bukan ini yang Gilang inginkan. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu atasannya itu hingga memilih untuk menyendiri seperti ini. Biasanya hidup Ndaru selalu monoton. Bekerja, pulang, lalu bermain bersama Juna. Begitu seterusnya setiap hari. Namun hari ini berbeda. Ndaru tidak fokus bekerja, dia bahkan tidak langsung pulang, malah berakhir di kafe kopi lokal ternama. Tidak ada yang ia lakukan selain berdiam diri. Aneh. Handaru Atmadjiwo memang pendiam. Namum bukan diam yang seperti ini. "Bapak bisa cerita kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bapak." Ndaru menggeleng pelan sambil menyesap kopinya. "Nggak
Kesibukkan benar-benar terasa. Untuk mengurus banyak hal yang ada di depan mata. Apa lagi pemilihan umum sebentar lagi tiba. Debut perdana keluarga Atmadjiwo harus benar terlaksana. Bukan sekedar tes ombak semata, Guna Atmadjiwo harus bisa mendapatkan jatah kursinya. Banyak uang yang sudah mereka keluarkan. Serta janji yang mereka berikan. Semua itu mereka korbankan. Demi Guna bisa menjadi anggota dewan. Semua orang sibuk dengan itu. Namun tidak dengan Handaru. Banyak sekali hal yang ada di kepalanya. Membuatnya untuk kali ini saja melenceng dari prinsip hidupnya, yang harus sempurna. Ndaru melarikan diri. Keputusan diambil secara tiba-tiba. Membuat Gilang, sang asisten menggelengkan kepala. Rapat penting bersama keluarga mendadak ditunda. Mengingat Ndaru memilih untuk pergi ke tempat yang tak terduga. Pemakaman. Setelah kembali ke Jakarta, ini pertama kalinya Ndaru mengunjungi makam almarhum Farah. Entah kenapa kemarahan Shella waktu lalu tiba-tiba mengusiknya. Mengang
"Sialan!" Erina melempar bantal sofa. "Yang itu nggak perlu diperjelas." Shana menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menatap lampu kristal dengan tatapan menerawang. "Gue nggak bisa gini terus, Mbak." "Gue udah sering minta lo buat berhenti. Lupain semuanya." "Udah setengah jalan." Shana tersenyum kecut. "Keluarga kita hancur dan itu karena mereka." Erina menggenggam tangan Shana erat. "Keras kepala, persis kayak Mama." "Boleh gue minta tolong?" Shana menegakkan duduknya. "Apa?" "Ajak gue keluar. Gua mau ketemu Mas Nendra. Pak Ndaru larang dia buat jenguk gue kemarin." Shana mengetahuinya dari sosial media. Ternyata Nendra menjenguknya kemarin. Hanya saja pria itu tidak menemuinya. Sudah dipastikan Ndaru yang melarangnya, atau bahkan mengusirnya. "Kalau Ndaru tau dia bisa ngamuk." "Jangan sampai dia tau." "Roro gimana?" "Kita kabur." Shana mulai berdiri. Erina menggeleng pasrah. "Pantes aja Ndaru kasih pengawal. Tingkah lo emang
Seperti hari sebelumnya, suasana pagi di kediaman Putri tampak sepi. Tampak berbeda setelah sang kepala keluarga pergi. Meninggalkan rasa dingin di setiap sisi. Tak hanya rumah melainkan juga isi hati. Beruntung Putri tidak sendiri. Ada Ayah yang selalu menemani. Memberikan perhatian penuh pada anak yang ia sayangi. Yang kadang Putri abaikan karena ingin memilih sendiri. Dari luar memang Putri terlihat begitu kuat. Pulihnya luka berangsur sembuh dengan cepat. Namun sayang itu hanya topeng sesaat. Begitu ia sendiri, dia kembali menjadi Putri dengan kesedihan yang dahsyat. "Mama udah bangun?" Darma menggendong Satria untuk turun menuju ruang makan. Cucunya masih terlihat mengantuk dengan baju tidurnya. "Nggak tau. Mama nggak ada tadi," adu Satria. "Mungkin Mama udah di bawah." Ternyata perkiraan Darma salah. Tidak ada Putri di ruang makan. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak tahu keberadaannya. Pagi tadi, Satria memang menemuinya karena ibunya yang mendadak tidak ada.
Shella Clarissa. Wanita itu berada di sini. Mungkin sudah lelah karena Ndaru yang tak menggubris panggilannya. "Bawa Mas Juna masuk." Ndaru mematikan kompor dan memberikan Juna pada Bibi Lasmi. Ketegangan ini tak boleh didengar oleh anak itu. "Siapa, Mas?" tanya Shella berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah menahan marah. "Shel—" "Aku yang pengganggu?" Shella dengan beraninya memotong ucapan Ndaru. Ndaru memilih untuk kembali menutup mulut. Bukan berarti takut, tetapi dia tidak mau beradu argumen dengan orang yang sudah emosi. Baiklah, dia memang salah. Namun semuanya sudah terlanjur, bukan? "Shella, bukan begitu." Gilang menarik Shella yang semakin dekat dengan Ndaru. "Bisa-bisanya Mas Ndaru bilang gitu," geram Shella. "Harusnya aku yang marah. Mas Ndaru ke mana kemarin? Mas lupa acara pengajian Mbak Farah?!" "Ada hal yang harus saya lakukan." Tanpa diduga Shella tertawa. "Apa itu lebih penting dari Mbak Farah?" Tentu saja kegaduhan itu dapat didengar
Pagi kali ini terasa berbeda. Kata sapa terdengar lembut di telinga. Senyum tipis juga terasa sedap di mata. Aura ketenangan itu begitu terasa. Kala sang tuan rumah mendadak memasak dengan sendirinya. Aneh. Pemandangan yang jarang untuk dilihat. Bahkan bisa dikatakan tak pernah terlihat. Bisa dihitung dengan jari Bibi Lasmi melihat atasannya itu menyentuh spatula. Benar-benar pemandangan yang patut diabadikan. "Ibu biasanya pinggiran rotinya dipotong, Pak." Bak seperti komandan, Bibi Lasmi tampak memandu dari belakang. Melihat bagaimana dua manusia yang berbeda usia itu tampak serius dengan apa yang dikerjakan. "Biar Papa yang potong." Dengan sigap Ndaru menjauhkan pisau dari tangan Juna. "Nggak mau! Mau potong-potong juga!" Juna mulai merengek. Ndaru menyerah dan memberikan pisaunya. Bukan sepenuhnya memberi, karena dia ikut menuntun tangan anaknya agar lebih berhati-hati. Bibi Lasmi kembali melirik dari belakang. Melihat bagaimana dua pria itu tengah fokus pa
Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat o
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it