“Masuk ke dalam mobil sekarang!” perintah orang di belakang Raihan.
Raihan segera mengangkat kedua tangan, sesekali melirik ke samping untuk melihat keadaan Rahmadi. Namun, ia tidak bisa melihat apa pun. Pemuda itu digiring menuju mobil, didorong hingga terjerembap di bawah kursi. Benar-benar sial! Posisi dan keadaannya saat ini tak menguntungkan.
Mobil melaju ke arah sebaliknya. Raihan terngkurap di atas mobil. Matanya ditutup dengan sebuah kain. Punggungnya diinjak oleh seseorang, di mana dinginnya moncong pistol masih terasa di kepala. Seingatnya, ada dua orang pria yang membawanya ke kendaraan. Jika satu orang tengah menginjaknya, maka sisanya pasti bertindak sebagai sopir.
“Tuan Ramon minta kita bawa bocah ini,” ujar salah satu pria di mobil.
“Siap,” balas yang lain.
“Ramon,” gumam Raihan dengan gigi bergemelatuk. Pria itu benar-benar tak habis-habisnya membuat masalah.
Raihan hanya punya
Beberapa menit yang laluRania tiba-tiba berdiri ketika sebuah mobil menepi di depan halaman rumah sakit jiwa. Dua orang pria berseragam hitam turun dari kendaraan, kemudian mendekat ke arahnya.“Nona Rania, silakan ikut kami,” ujar salah satu pria itu.Rania masih tercenung di tempat, menggenggam erat pegangan koper. Ia memang agak familier dengan mobil yang terparkir tak jauh darinya. Hanya saja, ia kesulitan bila diminta mengingat dua pria itu.“Kalian siapa?” tanya Rania.“Kami pengawal yang diperintahkan Tuan Ratnawan untuk mengawal Nona Rania,” terang pria tadi.“Tapi, Papa masih di penjara saat ini. Jadi gimana mungkin Papa—”“Kamu bisa ikut mereka, Rania,” sela Risa yang berjalan bersama kursi roda dari arah pintu keluar. “Perlu kamu tahu kalau Papa sebentar lagi bebas. Saudara Papa yang bantu Papa untuk bebas.”&ldqu
Setelah melihat kerumunan orang dari atas gedung, Raihan kembali ke bawah dengan cara mengendap-endap. Sialnya, saat ia baru turun, aksinya dipergoki seseorang. Raihan langsung memunggungi pria itu.“Mau ke mana lu?” tanya pria yang memergoki Raihan, “cepat pake ini topeng. Bentar lagi kita berangkat.”Raihan segera mengambil topeng itu, memakainya dengan terburu-buru, lantas mengikuti tiga pria di depannya. Pemuda itu lalu naik ke truk yang sudah disesaki orang-orang. Dari tempatnya saat ini, Raihan berusaha mengintip melalui celah yang terbuka. Nyatanya, banyak kendaraan dan juga orang-orang yang sepertinya akan berangkat ke suatu tempat.Mobil mulai meninggalkan halaman. Lambat laun bangunan megah itu kian mengecil, lantas menghilang begitu kendaraan berbelok ke samping. Raihan sama sekali tak bersuara selama perjalanan. Ia berusaha memusatkan pendengaran untuk mengumpulkan informasi. Kesabarannya membuahkan hasil. Ia dan orang-o
Romi segera berlari ke arah jendela begitu ledakan terdengar. Suaranya saling bersahutan pertanda perang sudah dimulai. Seperti yang diprediksi sebelumnya, pasukan Ratnawan menyerang melalui hutan. Asap hitam mulai mengepul di langit, bergerak ke berbagai arah karena disapu angin. Tak lama setelahnya, alarm keamanan berbunyi. Suara nyaringnya membuat pasukan yang berada di kediaman ini langsung siaga.Sebuah dentuman keras dari arah hutan tiba-tiba terdengar. Getarannya terasa hingga kaca di ruangan ini bergoyang. Kepulan asap hitam kembali membumbung tinggi. Para pasukan yang berjaga di halaman segera bergerak ke arah gerbang. Hanya masalah waktu musuh akan merangsek ke kediaman.“Sialan! Kenapa gue mlah kejebak di sini?” Romi mengusap wajah, menarik rambut ke belakang. Ia menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara langkah kaki.“Kita diminta jaga di luar,” ujar salah seorang pria dari balik pintu.Romi mengambus napas panjang,
Rania mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pening bak dipukul palu godam. Saat akan bangkit dari kasur, ia harus berpegangan pada sisi ranjang dan sudut meja. Matanya lantas menyisir kamar, menyelidik. Dekorasi ruangan ini amat berbeda dengan tempat terakhir kali ia dikunci papanya.Rania bergerak ke arah jendela sembari memijat kepala. Halaman sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang, menenteng senjata. “Ini di mana?” tanyanya dengan raut bingung.Rania kembali duduk di bibir kasur, berkonsentrasi untuk mengembalikan ingatan. Seingatnya, setelah papanya menguncinya di kamar, ia terus berteriak, memukul-mukul pintu. Namun, tak ada tanggapan hingga beberapa menit berlalu. Saat mengintip melalui jendela, puluhan mobil keluar dari pintu gerbang. Jelas saja ia bingung karena ketika dirinya memasuki bangunan ini, ia tidak melihat kerumunan mobil tersebut.Di tengah kebingungannya saat itu, pintu tiba-tiba saja terbuka dari luar. Rania seke
Raihan menutup salat dengan ucapan salam di atas batu pipih. Tangannya sontak menengadah, di mana hati yang fokus mengharap kebaikan untuk semua orang terkasih. Setelahnya, lelaki itu kembali berjalan melalui pinggiran sungai dengan tidak mengurangi kewaspadaan.Setengah jam berjalan, Raihan mendadak berhenti begitu melihat pagar tinggi menjulang. Melihat gagah dan tingginya pagar tesebut, serta-merta membuatnya berdecak kagum. Ia bagai menemukan berlian dalam lumpur kotor. Akan tetapi, waktu seakan tak memberinya banyak pilihan padanya untuk tetap mengagumi bangunan tersebut. Pada kenyataannya suara dentuman kembali terdengar. Sepertinya pasukan Ratnawan berusaha memasuki kawasan lawan lebih dalam.Raihan mengembus napas panjang, lantas berlari dengan sebisa mungkin tak menimbulkan suara dan keributan. Ketika melihat helikopter terbang di atas, ia segera bersembunyi dalam rimbunnya pepohonan.Setelah dirasa aman, Raihan kembali meneruskan perjalan. Akan t
Kepulan asap berkali-kali terlihat dari kawasan hutan. Kawanan burung meliuk-meliuk di udara untuk mencari tempat aman. Suara ledakan, juga keributan sudah terdengar sejak beberapa jam lalu. Saat Rania mengintip dari balik tirai, musuh tampak bersiaga penuh, menenteng senjata di kanan-kiri. Sebagian berlari ke arah gerbang, sedang sisanya bertahan sembari meletuskan timah panas ke pasukan yang terus merangsek maju ke depan.Rania duduk gemetar di atas kasur. Meski bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini, tetapi kali ini kekhawatiran berlipat ganda. Ada jiwa lain yang harus ia lindungi selain dirinya. Rania yakin jika kekacauan akan merembet hingga ke ruangan ini. Cepat atau lambat, diduga atau tidak.“Raihan,” gumam Rania sembari mengelus perutnya beberapa kali. Matanya bergerak gelisah. Tubuhnya refleks mengambil benda apa pun yang bisa ia jadikan senjata kala gagang pintu itu tiba-tiba berputar. Ia berdiri siaga sembari memegang pas bunga
“Coba lu paksa gue bicara,” tantang Ramon.Sedetik setelah kalimat itu menguap dari bibir, dua anak manusia itu berlari dalam satu garis lurus, berhadap-hadapan. Di tengah angin berembus, di saat dua pasukan saling beradu, di waktu jingga sudah tumpah di luasnya cakrawala, di kala suara burung dan serangga malam mulai bersahutan, keduanya saling berbalas pukulan dan tendangan.Debu menjadi saksi bagaimana dua pasang kaki itu bergerak lincah. Kedua pasang mata tak sekalipun surut dari pergerakan rival. Baik Ramon dan Raihan, keduanya melakukan ritme yang sama, menyerang lalu bertahan, mendominasi lalu cepat membalikkan keadaan. Kala wajah terkena hantaman, lawan harus mendapat balasan setimpal. Bak lenguhan kerbau, embusan napas mereka saling bersahutan. Tak hanya sudut bibir dan hidung yang berdenyut ripuh, sudut mata keduanya tak jauh berbeda rasa. Lelehan keringat yang menetes menjadi bumbu penambah luka.“B*ngsat!” maki keduanya ketika
“Bagus, Sya!” teriak Ramon.Mata Raihan melebar begitu tahu siapa pelaku penyergapan barusan. Lelaki yang mengunci pergerakannya saat ini tak lain adalah Romi. Tubuhnya ditekan kuat-kuat ke alas rooftop.“Apa yang sebenarnya terjadi sama lu, Rom?” tanya Raihan dengan geram.Raihan mendadak mendongak saat Romi menarik rambutnya ke atas. Ia melihat sebuah helikopter terbang di atas rooftop. Selain deru angin dari baling-baling pesawat, embusan napas Romi juga terasa di sekitar tengkuknya. Bibir lelaki itu bergerak-gerak, mengucap sesuatu.Raihan membalikkan keadaan, membanting Romi ke samping. Ia lantas berlari ke arah mertuanya yang terduduk menahan luka. Namun sayang, orang di dalam helikopter meloncat dan langsung membekuk Ratnawan. Di tengah kegamangan, Raihan melihat bibir Romi kembali bergerak, mengucapkan kata-kata yang sama saat ia mendengar sahabatnya itu berbisik padanya.“Pergi!” pinta