“Bagus, Sya!” teriak Ramon.
Mata Raihan melebar begitu tahu siapa pelaku penyergapan barusan. Lelaki yang mengunci pergerakannya saat ini tak lain adalah Romi. Tubuhnya ditekan kuat-kuat ke alas rooftop.
“Apa yang sebenarnya terjadi sama lu, Rom?” tanya Raihan dengan geram.
Raihan mendadak mendongak saat Romi menarik rambutnya ke atas. Ia melihat sebuah helikopter terbang di atas rooftop. Selain deru angin dari baling-baling pesawat, embusan napas Romi juga terasa di sekitar tengkuknya. Bibir lelaki itu bergerak-gerak, mengucap sesuatu.
Raihan membalikkan keadaan, membanting Romi ke samping. Ia lantas berlari ke arah mertuanya yang terduduk menahan luka. Namun sayang, orang di dalam helikopter meloncat dan langsung membekuk Ratnawan. Di tengah kegamangan, Raihan melihat bibir Romi kembali bergerak, mengucapkan kata-kata yang sama saat ia mendengar sahabatnya itu berbisik padanya.
“Pergi!” pinta
18 tahun yang laluSeorang pria berpakaian lusuh berlari melewati taman bunga serta gemerincik air mancur. Lututnya menyembul dari celana jin sobek kala rambut acak-acakannya menari-nari di anak tangga. Pemakai kaus ketat dan jaket jin sobek tanpa tangan itu melewati koridor, lantas berhenti di depan sebuah pintu.Pria itu mengatur pernapasannya sebelum memasuki ruangan. Ia seketika berjongkok seraya menunduk saat menemukan seseorang tengah memunggunginya. Pria itu sama sekali tak berani mengangkat badan dan kepala sebelum tuan besar memberi titah.“Saya di sini, Tuan,” ucap pria itu.Seorang pria tambun dengan postur tubuh tak terlalu tinggi seketika berbalik. Kumis tipisnya melintang di atas bibir. Pria yang dipanggil tuan itu mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi. “Sudah saya bilang kalau kamu tidak perlu berjongkok seperti itu, Reza.”“Ini sebagai bentuk penghormatan saya pad
Reza baru saja mengalami sebuah pertaruhan mematikan. Badannya sudah dibanjiri keringat. Ia memaksakan kakinya untuk bergerak mengikuti aliran sungai dengan bekal pencahayaan bulan. Untunglah bayi ini tak rewel seperti yang ia takutkan. Sesekali si bayi terbangun dan kemudian terlelap lagi.Reza berhasil keluar dari kawasan musuh setelah berjibaku selama beberapa jam. Ia berhenti sesaat untuk menstabilkan napasnya yang nyaris putus. Kini, pria itu berada di sebuah bukit yang cukup jauh dari kawasan hutan. Pemandangan kota yang bertabur cahaya tampak indah dari tempatnya saat ini.Reza masuk lebih dalam ke rerimbunan pohon, lantas berhenti di pinggir tebing. Pemandangan sama masih terlihat dari tempat yang akan ia jadikan lokasi eksekusi. Bayi mungil itu rupanya terbangun begitu dirinya mendaratkan tubuhnya di atas sebuah batu. Tak ada tangisan yang terdengar, yang ada si bayi justru tersenyum ke arahnya.Reza merasakan lelahnya seketika hanyut saat melihat bayi
“Siapa itu, Pak?” tanya perempuan yang sedang menggendong bayi, “dan kenapa wajah Bapak babak belur begini?”“Nanti Bapak ceritakan,” ucap Rizal sembari membereskan sajadah. Ia kembali menemui tamunya di ruang tamu.“Apa yang mau kamu lakuin setelah ini?” tanya Rizal langsung ke inti. Sikap waspada tetap ia lakukan. Pria itu sudah menghubungi pihak pesantren dan menjelaskan ceritanya meski singkat.Reza menggeleng, menatap bayi di gendongannya yang kini tertidur.“Saya akan bawa kamu ke pesantren. Kamu bisa ceritakan masalah ini sama Kiai. Saya yakin beliau akan bantu,” sambung RizalReza hanya mengangguk kecil, tak terlalu menaruh peduli terhadap tatapan sinis dari wanita di balik tirai ruangan. Lagi pula, ia sudah terbiasa dipandang kotor dan hina.Rizal yang merupakan pemilik vila ini lantas meminta Reza menunggu di teras depan. Ia sendiri menyuruh istrinya segera berkemas.
Reza menghela napas berat ketika dirinya sudah berada di depan pintu kediaman Ratnawan. Seperti yang sudah pria itu katakan pada Kiai, ia pasti akan mendapat hukuman berat karena tak becus membunuh bayi itu, entah cacat tubuh atau justru harus menukar nyawa. Ia mengakui kalau dirinya begitu sesumbar menyanggupi misi hingga tak mampu mengukur diri. Bukan masalah ia takut pada kejamnya musuh, tetapi ini perihal membunuh nyawa yang sejatinya tak memiliki dosa.Reza sadar jika dirinya hidup bergelimang dosa. Tak sekalipun waktu, pikiran dan tenaganya ia habiskan untuk mendekat pada Tuhan. Kejahatan sudah menjadi bagian dirinya, dan kebaikan sudah hampir musnah dalam jiwanya. Alasan yang ia suguhkan saat menyelamatkan bayi itu tentu akan jadi celaan semua orang, terutama Ratnawan.Reza mulai mendorong pintu, berjalan masuk begitu benda itu terbuka. Badannya tegap, tetapi harga dirinya terasa rapuh. Ratnawan menyambutnya dengan senyuman lebar. Ruang utama sudah berubah jadi
Seorang anak kecil berusia lima tahun tak berhenti menangis sejak semalam. Ia tengah berbaring di atas kasur, menutup seluruh badannya dengan selimut. Makanannya sama sekali belum disentuh sejak tadi. Ia larut dalam kesedihan karena adiknya tak lagi ada di sisinya.“Tuan Amon makan dulu, ya,” pinta seorang wanita sembari menyodorkan sepiring nasi.“Nanti kalau udah makan, kita main perang-perangan lagi,” ujar seorang pria di sudut pintu.“Enggak mau!” teriak anak laki-laki itu di dalam selimut, “Amon mau Dede Asya ada di sini lagi. Amon gak mau main sama kalian. Pergi!”Tangis Ramon kecil perlahan reda saat ia mendengar suara mobil masuk dari halaman. Sontak ia berlari ke arah balkon, mengintip ke lantai bawah. “Papa!” teriaknya yang kemudian keluar dari kamar, melewati koridor dengan cepat.Keadaan rumah masih tampak ramai dengan para pengawal yang mencari petunjuk mengenai peristiwa penc
Seorang pria yang sejak tadi terbaring di kasur mulai tersadar. Dengan perlahan, ia mendudukkan tubuh di atas ranjang, kemudian bersandar pada tepian kasur. Kepala dan beberapa bagian tubuhnya sudah dibalut perban. Rasa sakit tercipta setiap kali ia menggerakan badan. Pria itu mengamati sekeliling ruangan, lantas meringis tak bersuara saat kakinya mulai menyentuh lantai.“Apa ini neraka?” tanya Reza.“Pemimpin Utama memang tangguh,” ucap Ratnawan yang sejak tadi duduk di sudut kamar. Pria itu bertepuk tangan dengan cukup keras.“Tuan.” Reza segera berlutut meski raganya seperti diremas.“Tak salah kalau kamu didapuk jadi pemimpin utama.” Ratnawan berjalan mendekat dengan senyum tipis. “Sepertinya kamu memang belum pantas mati sekarang.”“Seharusnya Tuan menembak saya saat itu.”“Membunuh kamu lalu kehilangan informasi mengenai keberadaan bayi si Rudi itu?” Ra
“Bapak,” ucap Raihan tak percaya. Tubuh pemuda itu seketika bergetar hebat. Dadanya mendadak menyempit hingga membuatnya sulit bernapas. Keterkejutan yang ia rasa berubah dengan cepat menjadi ketakutan. Netranya megamati setiap senti tubuh Rojak dari atas hingga bawah. Kepalanya menggeleng pelan kala senyum hangat sang bapak hadir di saat tak tepat.“Han, Bapak ... minta maaf,” ” ujar Rojak dengan suara erak. Setetes air mata membelah pipi, turun, lalu menyatu dengan genangan darah di dada.“Kita ke rumah sakit, Pak.” Raihan berusaha berdiri, tetapi tangan sang bapak yaag menarik tangannya seakan memberi tanda jika hal itu adalah tindakan sia-sia. “Bapak pasti masih bisa selamat.”Raihan mencoba berdiri kembali.“Han,” kata Rojak lagi, “Bapak ... minta maaf untuk semua yang udah Bapak lakukan ke kamu. Bapak ... belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu, belum bisa mem
Sudah hampir dua jam Rumi duduk di teras rumah Raihan. Kedua orang tuanya beberapa kali memintanya pulang, tetapi selalu ia balas dengan gelengan. Hidangan di rantang yang sedianya akan ia beri untuk keluarga pemuda itu sudah sedingin udara saat ini. Rumi berusaha nyaman dalam duduk, membesarkan harap dengan senyum yang coba ia pahat.“Rum,” panggil Rizal, “kita pulang sekarang.”“Ini sudah malam, Rum.” Rahma membagi ketegaran pada sang putri dengan elusan di kepala. “Mungkin saja Raihan dan keluarganya punya kesibukan di luar sana. Kita bisa kembali besok.”Hangatnya sentuhan sang ibu membuat bekunya harapan Rumi perlahan cair. Pipi gadis itu menghangat kala dua anak sungai mengalir dari mata. Ia dengan cepat menggeleng, masih ingin bertahan sebentar lagi.“Pulang, Rum!” ujar Rizal dengan setengah membentak.Mau tak mau Rumi memasuki mobil. Sepanjang perjalanan, gadis itu menoleh ke sampi