Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.
Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.
“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.
Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”
Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn