Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.
Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.
Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.
“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
“Mau lari ke mana lagi kamu, hah?” tanya seorang pria yang berjalan dari arah kegelapan. Suara lumatan sepatunya memercik suara yang langsung mendominasi ruangan pengap ini. Gadis bersurai panjang yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu baginya untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal. Ketika matanya benar-benar terbuka, ia dengan jelas melihat seorang pria bertubuh tambun tengah menatapnya dengan seringai tajam. “Mau ke mana lagi kamu, hah?” ulang pria itu dengan suara menggema. Pria paruh baya itu memelotot sembari memutari sang korban yang tengah meronta. Rania merotasikan bola mata. Dibanding merasa takut, ia justru jengkel karena untuk kesekian kalinya pria gendut itu berhasil menyekapnya di gudang bau ini. Pria yang tengah memutarinya memang gila. Walau begitu, tetap saja sosok itu adalah papanya sendiri, Ratnawan. “Kamu gak bakalan bisa kabur dari sini, Rania.” Ratnawan terbahak sembari menepuk perutnya
Kepulan asap menari di atas dua cangkir gelas, meliuk-liuk karena tergoda angin dari pintu depan yang terbuka. Rinai hujan masih enggan reda, tetapi kedua penghuni rumah masih belum bersuara. Raihan, lelaki berahang tegas itu sesekali mencuri pandang melalui ekor mata. Tampak sang bapak baru saja meletakkan cangkir ke meja. Ada seberkas senyum yang tersungging di bibir. Hari ini adalah kali pertama dirinya bertatap wajah dengan pria berbaju batik itu setelah sekian lama. “Ada hal yang ingin Bapak sampaikan sama kamu, Han,” ucap pria paruh baya itu tanpa menatap sang putra. Raihan hanya menunduk, merasa berat untuk sekadar bertemu pandang dengan bapaknya. Ia hanya diam sembari sesekali mengepalkan tangan. Setelah perkataan barusan, ruangan kembali didekap keheningan. “Kamu harus tahu kalau Bapak menaruh harapan besar sama kamu, Han.” Raihan mengangguk. Saat mendongak, pemuda itu melihat kristal bening yang menyelimuti bola mata sang bapak. Dili
Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya. Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria. “Masuk,” pinta Rojak. Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan. “Kamu sudah