“Mau lari ke mana lagi kamu, hah?” tanya seorang pria yang berjalan dari arah kegelapan. Suara lumatan sepatunya memercik suara yang langsung mendominasi ruangan pengap ini.
Gadis bersurai panjang yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu baginya untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal. Ketika matanya benar-benar terbuka, ia dengan jelas melihat seorang pria bertubuh tambun tengah menatapnya dengan seringai tajam.
“Mau ke mana lagi kamu, hah?” ulang pria itu dengan suara menggema. Pria paruh baya itu memelotot sembari memutari sang korban yang tengah meronta.
Rania merotasikan bola mata. Dibanding merasa takut, ia justru jengkel karena untuk kesekian kalinya pria gendut itu berhasil menyekapnya di gudang bau ini. Pria yang tengah memutarinya memang gila. Walau begitu, tetap saja sosok itu adalah papanya sendiri, Ratnawan.
“Kamu gak bakalan bisa kabur dari sini, Rania.” Ratnawan terbahak sembari menepuk perutnya bak tengah menabuh gendang. “Papa bakal hukum kamu karena kamu udah berani kabur dari pesantren.”
“Pa,” panggil seorang wanita yang muncul dari belakang Ratnawan. Ia menggenggam tangan sang suami dengan lembut. “Kenapa Rania harus diiket kayak kangkung gitu, sih, Pa? Kita bisa bicarain ini baik-baik.”
Ratnawan melepas genggaman sang istri, kemudian menoleh ke arah Rania sembari berkacak pinggang. “Biarin aja, Ma. Si sendok nyam-nyam ini memang harus diberi pelajaran.”
Rania sontak memelotot dengan tajam. Lakban hitam yang membekap mulutnya tampak bergetar. Ada teriakan yang terhalang keadaan. Gadis itu kemudian mengentak-entak kursi hingga benda yang tengah didudukinya maju beberapa senti.
“Kasian Rania, Pa.” Risa, wanita di kursi roda itu kembali memohon.
Teriakan Rania lolos dari celah lakban. Bunyinya seperti kursi tua yang berderit. Sisi benda hitam itu sampai terbuka sebagian.
“Kamu ngomong apa, sih?” Ratnawan tergelak dengan tangan masih memukul perut.
Rania sontak menjerit saat Ratnawan menarik lakban dengan tiba-tiba. Ia mengaduh dengan pandangan berkaca-kaca. Mulut gadis itu serasa akan terlepas sampai hanya menyisakan deretan gigi. “Papa, ih!”
“Tenang, mulut kamu gak bakalan lepas kalau cuma ditarik kayak gitu. Gimana kalau pake cara lain? Mau?”
“Papa gak bosen apa nyekap-nyekap aku kayak gini?” tanya Rania. Pipinya langsung menggembung seirama dengan bibirnya yang maju beberapa senti ke depan.
“Mana mungkin Papa bosen. Udah jelas itu hobi Papa,” jawab Ratnawan enteng.
“Mama,” panggil Rania dengan nada memelas, “Papa udah gila.”
Risa tersenyum, lantas mengelus pipi sang putri dengan lembut. Untuk saat ini, ia sepertinya belum bisa banyak membantu. Ini konsekuensi dari ulah Rania sendiri.
“Kejutan!” teriak Ratnawan sembari mengangkat dua kantung keresek berwarna putih pucat.
“Papa, aku gak lagi ulang tahun! Lepasin cepet!” pekik Rania. Ia tahu kalau plastik itu berisi tepung terigu dan telur ayam.
“Jawab dulu pertanyaan Papa. Kenapa kamu kabur dari pesantren?”
“Lepasin dulu nanti aku jawab. Aku janji gak bakalan kabur,” tawar Rania.
“Jawab atau muka kamu bakal Papa jadiin adonan.” Ratnawan mengayun-ayunkan dua kantung itu di depan wajah Rania. “Jawab atau Papa—”
“Mama!” jerit Rania seraya berusaha melepas kungkungan tali.
Di detik ketiga setelah Rania memekik, satu butir telur sukses mendarat di kepala gadis itu, kemudian disusul oleh taburan tepung terigu di rambut. Menyadari hal itu, Rania sontak memelotot. Mulutnya hampir saja jatuh saking kaget dengan tindakan sang papa. “Aku gak lagi ulang tahun!” rengeknya kemudian.
“Pa, ini udah cukup. Kita bicarain semuanya baik-baik, ya.” Risa menengahi.
“Papa belum puas kalau tusukan cimol ini belum nangis, Ma.”
“Aku bosen tinggal di pesantren, Pa. Gak betah,” ungkap Rania.
Satu kucuran telur kembali berlabuh di surai panjang Rania. Kali ini ditambah dengan adukan tangan Ratnawan. Gadis itu merasa anyir, ingin muntah saking sebalnya.
“Pokoknya aku gak mau tinggal di pesantren!” pungkas Rania dengan wajah merengut.
“Gak betah gimana maksud kamu? Baru dua jam kamu tinggal di pesantren, dan kamu bilang kamu gak betah?” Ratnawan menggeleng.
“Aku udah lakuin apa yang Papa pinta. Pake kerudung, ikutan les ngaji, les kosidah sampai aku bela-belain masuk pesantren. Terus apalagi nanti?”
“Gak ada satu pun yang kamu lakuin dengan bener,” balas Ratnawan, “pake kerudung tapi bawahannya pake rok mini, les ngaji malah nyiram gurunya pake kuah bakso, ekskul kosidah ngancurin alat-alatnya, sampai masuk pesantren malah bikin rusuh seisi pondok. Kamu hadir gak, sih, pas pembagian otak?”
“Saat itu ‘kan aku lagi sama Papa,” jawab Rania.
Ratnawan mengembus napas panjang. “Papa bakal lepasin kamu asal kamu ikutin perintah Papa.”
“Apa lagi?” Rania setengah pasrah. “Apa?” ulangnya ketus.
“Satu hal.” Ratnawan tersenyum lebar.
“Apa?” Rania memutar bola mata. Ia masih berusaha melepas ikatan. Kursinya beberapa kali mengentak lantai hingga menimbulkan suara.
“Satu ... hal,” ulang Ratnawan.
“Iya, apa?” Rania mencebik.
“Kamu bakal Papa jodohin,” bisik Ratnawan, “kamu bakal Papa jodohin,” tandasnya kemudian.
Rahang Rania seakan lapuk saat mendengar ucapan barusan. Mulutnya menganga bak gua. Otaknya dengan cepat bekerja keras untuk memahami maksud Ratnawan. Tiga detik setelahnya, Rania mengambil napas panjang, lantas berteriak, “Papa, gak lucu!”
“Memang siapa yang lagi ngelawak?” tanya Ratnawan.
“Papa, aku gak mau dijodoh-jodohin. Aku baru aja dua puluh tahun. Pokoknya aku gak mau!” Rania menoleh ke arah lain.
“Pa.” Risa menggoyangkan tangan sang suami.
“Jodohin,” ujar Ratnawan sembari meloloskan telur ke surai panjang Rania. Tak puas, pria itu kemudian menabur tepung ke wajah gadis itu. “Sempurna.”
“Papa!” Rania terbatuk beberapa kali. Perutnya kembali mual karena mencium bau anyir. Setelah berhasil menguasai diri, ia bertanya, “Papa mau ngejodohin aku sama siapa, sih? Kalau Papa mau jodohin aku sama Kim Taehyung atau Kim Seokjin, aku janji gak bakalan nolak.”
Ratnawan menarik telinga Rania, kemudian berbisik, “Papa jodohin kamu sama ustaz.”
Rania sontak memelotot saat bisikan itu terdengar. Bulu kuduknya mendadak meremang. Jantungnya serasa akan pindah ke kerongkongan. Di sisi lain, otaknya mendadak menampilkan bayangan aneh kalau sampai hal itu benar-benar terjadi. Rania akan dipanggil ustazah, berpakaian tertutup, mengurus anak sampai berbagi tempat tidur dengan orang lain. Entahlah, di pikirannya saat ini, ustaz adalah sosok pria tua dengan wajah keriput dan janggut panjang.
Saat keterkejutan belum sepenuhnya usai, Rania justru kian berimajinasi liar. Mendengar akan dijodohkan dengan seorang ustaz, gadis itu malah takut akan dijadikan istri simpanan, atau bahkan akan tinggal serumah dengan perempuan yang lebih dahulu menjadi istri si ustaz dalam bayangannya. Ia akan disuruh-suruh, dicibir tetangga, dituduh pelakor hingga menjadi buronan polisi karena terbukti meracuni suami atau salah satu dari madunya.
Ketika kesadarannya pulih, Rania sontak menjerit, “Mama, Papa mau jodohin aku sama ustaz!” Gadis itu hendak bangkit, tetapi tubuhnya masih tertanam kuat di kursi.
“Pa.” Risa tersentak kaget. “Kita udah bicarain hal ini sebelumnya. Rania masih—”
Ratnawan tak mengindahkan ucapan maupun gestur yang ditampilkan Risa. Ia berjongkok, kemudian menatap Rania dengan dalam. “Kamu bakal nikah besok.”
Mata Rania serasa turun ke perut. Ia ingin berguling-guling di lantai sembari menangis histeris. Mungkin ini hanya sekadar candaan, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan, apalagi kalau sampai menjadi kenyataan. Syok mendengar penuturan tersebut, penglihatan gadis itu tiba-tiba memudar hingga muncul titik-titik terang yang membawanya ke kegelapan mimpi.
Kepulan asap menari di atas dua cangkir gelas, meliuk-liuk karena tergoda angin dari pintu depan yang terbuka. Rinai hujan masih enggan reda, tetapi kedua penghuni rumah masih belum bersuara. Raihan, lelaki berahang tegas itu sesekali mencuri pandang melalui ekor mata. Tampak sang bapak baru saja meletakkan cangkir ke meja. Ada seberkas senyum yang tersungging di bibir. Hari ini adalah kali pertama dirinya bertatap wajah dengan pria berbaju batik itu setelah sekian lama. “Ada hal yang ingin Bapak sampaikan sama kamu, Han,” ucap pria paruh baya itu tanpa menatap sang putra. Raihan hanya menunduk, merasa berat untuk sekadar bertemu pandang dengan bapaknya. Ia hanya diam sembari sesekali mengepalkan tangan. Setelah perkataan barusan, ruangan kembali didekap keheningan. “Kamu harus tahu kalau Bapak menaruh harapan besar sama kamu, Han.” Raihan mengangguk. Saat mendongak, pemuda itu melihat kristal bening yang menyelimuti bola mata sang bapak. Dili
Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya. Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria. “Masuk,” pinta Rojak. Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan. “Kamu sudah
Rania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Walau bibirnya mulai merangkai senyum, tetapi hatinya penuh dengan sumpah serapah yang tertuju pada papanya. Ia berjanji tidak akan lagi mendoakan pria itu agar mirip Oh Sehun. “Gue gak akan kabur,” ketus Rania sembari berjalan ke tepi untuk melihat kondisi lantai satu. Matanya membola saat melihat ruangan itu sudah tertata dengan rapi. “Nona, calon pengantin pria sudah datang,” ucap salah satu pelayan wanita. “Suruh dia balik,” respons Rania seadanya. Gadis itu buru-buru membelah jalan para pelayan sembari menyentil kening mereka satu per satu. “Gimana calon suami gue?” tanya Rania sembari memutar tubuh. Ia baru ingat kalau belum tahu bagaimana wujud si calon suami. Semalam, papanya memang memasukkan sebuah map berisi biodata mempelai laki-laki itu melalui celah di bawah pintu. Akan tetapi, Rania malah membakarnya saat itu juga. Alhasil, ia amat penasaran sekarang. Apa mungkin calon
Satu hal yang Rania inginkan sekarang hanyalah mengecat wajah papanya saat tidur, lalu mendandani pria itu dengan kostum bayi. Untuk langkah akhir, ia akan memotretnya, lantas menjadikannya sebagai stiker WA. Berbicara tentang masa depan, hal itu sudah raib setelah pernikahan ini terjadi. Realita berkata bila ucapan papanya kemarin bukanlah sekadar gertakan. Saat ini, Rania sudah menyandang gelar istri dari seorang pria yang tengah duduk di sampingnya. Ganteng, sih, dan untungnya bukan aki-aki seperti dalam bayangan. Sejak tadi, Rania terus saja melirik sinis lelaki di sampingnya seraya mengacung-acungkan satu tangan ke udara. Rania bermaksud agar lelaki itu sedikit menjauh dan tak berani macam-macam dengannya. Namun, yang terjadi justru pemuda itu malah mengangkat gelas, lalu memindahkan benda itu ke depan Rania. Dasar laki-laki enggak pernah peka. “Maksud gue tuh, lu jauh-jauh dari gue!” Rania mengerucutkan bibir, kemudian melipat tangan di d
Raihan berdiri di depan pintu selama beberapa waktu. Tangannya masih setia mengetuk benda itu. Tak ada lagi suara balasan Rania. Mengambil napas panjang, Raihan kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celana. Pemuda itu termenung beberapa saat ketika pintu berhasil dibuka, takjub akan suasana yang menurutnya seperti tempat raja dan ratu tinggal. Tak aneh sebenarnya jika melihat kondisi rumah ini yang luasnya berkali-kali dari lapangan sepak bola. Raihan mendekat ke arah kasur sembari menyisir sekeliling. Ia sedikit curiga pada selimut yang hampir menutupi seisi ranjang. Sejujurnya, kalaupun itu Rania, ia tidak akan berbuat macam-macam. Ia lebih memilih tidur di sofa dibanding bersama dengan gadis itu dalam satu tempat. Raihan yang penasaran menyibak selimut yang menutupi kasur. Namun, yang ia lihat hanya bantal dan guling yang disusun sedemikian rupa. Pemuda itu sontak menelisik ruangan. “Ke mana si gadis cerewet itu? Apa mungkin digondol kucing? Apa
Saat pagi, Rania cemberut karena niatan untuk mengecat wajah papanya saat tidur gagal total. Hampir semalaman, waktunya hanya dihabiskan untuk berjaga-jaga, takut jika si Raihan itu tiba-tiba kemasukan mahluk gaib dan menyeruduk layaknya banteng. Meski harus menahan kantuk, Rania rela bergadang demi keselamatan jiwa dan raganya. Alhasil, tampilannya saat bagun benar-benar kacau.Setelah mencuci wajah, Rania bergegas turun ke lantai satu untuk memberi kabar kalau ia disiksa semalaman oleh Raihan. Namun, nyatanya lelaki menjengkelkan itu malah sedang berbincang dengan papa dan mamanya di meja makan. Rania berhenti di anak tangga terakhir, mengamati penampilan Raihan yang dibalut kaus hitam dan celana jin warna biru pudar. Ia dengan cepat menepuk-nepuk pipinya untuk mengusir hal gila yang baru saja terbersit di pikiran.Enggak boleh, batin Rania seraya menggeleng.Setengah jam kemudian, Ratnawan meminta pasangan baru itu untuk duduk di ruang keluarga
Hal pertama yang harus dilakukan Raihan ketika menginjakkan kaki di negeri gajah putih ini adalah segera menjauh dari Rania, berpura-pura tak kenal, menjaga jarak dan jangan sampai orang-orang mengira kalau mereka adalah sepasang suami-istri.Raihan tak peduli bagaimana reaksi Rania sekarang. Baginya sudah cukup ia dekat-dekat dengan gadis itu selama di pesawat. Bukan karena tampang Rania yang jelek ataupun di bawah standar, tetapi karena tampilan gadis itu yang mencolok dengan piyama kuning polkadot ditambah sandal berbentuk Spongebob.Biar saja Rania memelotot dan berteriak di belakangnya. Salah sendiri mengganti nama orang seenak jidat. Lagi pula namanya bukan merek penyedap rasa yang dahulunya dihargai lima ratus dapat dua.Namanya Raihan Amirul Jihad.“Sumpah ya lu, Raiko” Rania berusaha menyejajarkan langkah dengan Raihan. “Tungguin gue!”Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik. “Bisa gak—”&
Rania melempar tubuhnya ke kasur setelah selama setengah jam dengan mati-matian menahan kesal pada Raihan. Gadis itu merentangkan tubuh sembari menguap lebar hingga mengundang tatapan aneh dari Raihan yang baru selesai salat zuhur.“Apa lo liat-liat?” Rania sewot.“Cepetan mandi terus ganti baju,” pinta Raihan.Rania seketika duduk, kemudian melempar bantal pada Raihan. “Jangan berani-berani nyuruh gue! Lu bukan siapa-siapa gue!”“Kenapa masih diem? Cepet mandi atau gue seret ke kamar mandi!” Raihan segera merapikan sajadah, kemudian duduk di sofa.“Bau banget.” Raihan menutup hidung saat pandangannya bertemu dengan Rania“Raiko!” Rania turun dari kasur, kemudian berkacak pinggang dengan tatapan tajam, berharap bila pemuda di depannya hangus.“Gue yang tanggung jawab ke bokap lu selama lu ada di Bangkok. Jadi lu harus nurutin semua perintah gue.”
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu