Saat pagi, Rania cemberut karena niatan untuk mengecat wajah papanya saat tidur gagal total. Hampir semalaman, waktunya hanya dihabiskan untuk berjaga-jaga, takut jika si Raihan itu tiba-tiba kemasukan mahluk gaib dan menyeruduk layaknya banteng. Meski harus menahan kantuk, Rania rela bergadang demi keselamatan jiwa dan raganya. Alhasil, tampilannya saat bagun benar-benar kacau.
Setelah mencuci wajah, Rania bergegas turun ke lantai satu untuk memberi kabar kalau ia disiksa semalaman oleh Raihan. Namun, nyatanya lelaki menjengkelkan itu malah sedang berbincang dengan papa dan mamanya di meja makan. Rania berhenti di anak tangga terakhir, mengamati penampilan Raihan yang dibalut kaus hitam dan celana jin warna biru pudar. Ia dengan cepat menepuk-nepuk pipinya untuk mengusir hal gila yang baru saja terbersit di pikiran.
Enggak boleh, batin Rania seraya menggeleng.
Setengah jam kemudian, Ratnawan meminta pasangan baru itu untuk duduk di ruang keluarga.
“Jadi untuk apa Papa memanggil saya dan Rania?” tanya Raihan.
“Dia bukan Papa lu!” Rania melempar sandalnya ke wajah Raihan, tetapi pemuda itu dengan cekatan menghindar.
“Sayang,” tegur Risa sembari menggeleng saat melihat kelakuan Rania.
Rania langsung menekuk wajah dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
“Begini, Nak Raihan,” ucap Ratnawan sembari menahan tawa. “Gimana perang kalian semalem?”
Rania tiba-tiba berdiri. “Dia nyiksa aku, Pa,” ucapnya sembari menunjuk Raihan.
Ratnawan langsung tergelak saat mendengarnya, sedang Risa hanya menunduk karena wajahnya tiba-tiba saja memerah.
“Dia nyiksa aku sampai harus begadang,” rengek Rania, “makanya penampilan aku acak-acakan kayak gini.”
“Bukannya emang tiap hari kayak gitu,” balas Ratnawan enteng.
“Papa!” jerit Rania sembari mengentakkan kaki. “Pokoknya aku gak mau ngomong sama Papa.”
Raihan hanya mampu beristigfar melihat kelakuan Rania. Jujur saja, ia baru pertama kali mengenal seorang gadis dengan perangai seperti ini.
“Saya ingin kalian berbulan madu ke Thailand sekarang juga,” ujar Ratnawan.
“Bu-bulan madu?” Raihan terhenyak kaget.
“Nak Raihan gak perlu khawatir soal pendidikan Nak Raihan. Saya sudah mengatur semuanya. Pokoknya aman,” ucap Ratnawan sembari menganggat tangan dengan simbol oke.
“Papa!” Rania langsung melempar tubuhnya ke kursi, kemudian menendang-nendang meja. “Aku mau pergi ke Thailand asal gak bareng sama si Raiko!”
“Sayang.” Risa mengingatkan.
“Udah cukup ya, Pa. Aku gak tahan lagi.” Rania kembali berdiri, kemudian berjalan meninggalkan tempat pembicaraan dengan langkah lebar.
Raihan memahami bagaimana perasaan Rania. Namun, di situasi seperti ini, ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya berusaha patuh pada pesan bapaknya sebelum pria itu pulang ke rumah.
‘Ikuti semua perintah Ratnawan’
Raihan menarik napas panjang. Ia memaksakan senyum saat melihat Ratnawan tengah menepuk-nempuk punggung tangannya. “Iya, Pa.”
Tak lama kemudian, empat orang pelayan wanita datang dengan masing-masing koper di tangan. Di belakang mereka, Rania sedang diseret oleh dua orang pengawal pria yang berperawakan besar.
“Segala keperluan kalian berdua selama di Thailand sudah saya siapkan,” sambung Ratnawan.
Raihan tak terlalu menggubris perkataan sang mertua. Ia berdiri, lantas mendekat ke salah satu pria yang menarik Rania. “Kalian lepasin Rania!” pintanya ketika melihat Rania diseret layaknya karung beras. Ekor matanya menangkap jika mertuanya ikut berdiri. Meski begitu, ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari dua pria di hadapannya.
“Dasar kurang ajar!” Rania mengelus-elus baju tidurnya setelah dua pria itu pergi. Gadis itu lantas pergi ke arah teras tanpa menoleh pada papa dan mamanya.
“Kalian bisa pergi sekarang,” ujar Ratnawan.
Raihan segera menyusul Rania ke beranda. Dua buah mobil sudah terparkir di depan selesar rumah.
“Jangan ikutin gue!” Rania masuk ke mobil yang terparkir paling depan.
Raihan mengembus napas panjang. Saat akan memasuki mobil kedua, para pengawal mencegahnya dengan alasan bahwa kendaraan itu digunakan untuk menyimpan koper. Mau tak mau, pemuda itu menuju mobil pertama, kemudian duduk di samping Rania.
Rania seketika memelotot saat melihat Raihan. “Gue bilang jangan ikutin gue!”
“Gue juga sebenernya gak mau deket-deket sama cewek bau kayak lu,” balas Raihan tenang.
“Apa lu bilang?” Rania kontan berkacak pinggang. “Hanya karena lu nolongin gue tadi, lu bisa ngomong macem-macem sama gue, Raiko!”
“Sebenernya yang jangan deket-deket itu lu, bukan gue.” Raihan menyandarkan punggung ke kursi.
“Hah?” Mulut Rania sontak mengangga seutuhnya. “Kenapa juga gue harus deket-deket lu? Kita itu beda kasta, beda segalanya.”
Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman. Ratnawan dan Risa melambaikan tangan di teras rumah, kemudian berbincang sesaat sebelum kembali masuk ke rumah.
“Coba liat keadaan lu sekarang. Ada gitu orang normal yang pergi ke bandara dalam keadaan belum mandi sama pakai piyama doang?”
“Siapa yang pake ....” Rania segera melumat kembali perkataannya saat mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. Astaga, apa yang dikatakan pria menyebalkan itu benar. Ia baru sadar kalau dirinya masih memakai pakaian tidur.
“Pokoknya jangan deket-deket gue.” Raihan berusaha menyembunyikan tawa.
“Raiko!” Rania menendang-nendang kursi sopir. Sekarang, ia ingin sekali bertukar tempat dengan gantungan spion di depan.
Hal pertama yang harus dilakukan Raihan ketika menginjakkan kaki di negeri gajah putih ini adalah segera menjauh dari Rania, berpura-pura tak kenal, menjaga jarak dan jangan sampai orang-orang mengira kalau mereka adalah sepasang suami-istri.Raihan tak peduli bagaimana reaksi Rania sekarang. Baginya sudah cukup ia dekat-dekat dengan gadis itu selama di pesawat. Bukan karena tampang Rania yang jelek ataupun di bawah standar, tetapi karena tampilan gadis itu yang mencolok dengan piyama kuning polkadot ditambah sandal berbentuk Spongebob.Biar saja Rania memelotot dan berteriak di belakangnya. Salah sendiri mengganti nama orang seenak jidat. Lagi pula namanya bukan merek penyedap rasa yang dahulunya dihargai lima ratus dapat dua.Namanya Raihan Amirul Jihad.“Sumpah ya lu, Raiko” Rania berusaha menyejajarkan langkah dengan Raihan. “Tungguin gue!”Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik. “Bisa gak—”&
Rania melempar tubuhnya ke kasur setelah selama setengah jam dengan mati-matian menahan kesal pada Raihan. Gadis itu merentangkan tubuh sembari menguap lebar hingga mengundang tatapan aneh dari Raihan yang baru selesai salat zuhur.“Apa lo liat-liat?” Rania sewot.“Cepetan mandi terus ganti baju,” pinta Raihan.Rania seketika duduk, kemudian melempar bantal pada Raihan. “Jangan berani-berani nyuruh gue! Lu bukan siapa-siapa gue!”“Kenapa masih diem? Cepet mandi atau gue seret ke kamar mandi!” Raihan segera merapikan sajadah, kemudian duduk di sofa.“Bau banget.” Raihan menutup hidung saat pandangannya bertemu dengan Rania“Raiko!” Rania turun dari kasur, kemudian berkacak pinggang dengan tatapan tajam, berharap bila pemuda di depannya hangus.“Gue yang tanggung jawab ke bokap lu selama lu ada di Bangkok. Jadi lu harus nurutin semua perintah gue.”
Rania merotasikan bola mata saat melirik Raihan yang tengah serius memeriksa hasil bidikan kamera selama berkunjung ke kawasan Sea Life Bangkok Ocean World. Wajah gadis itu tertekuk sebal saat mengingat kalau pemuda di depannya malah menyamakannya dengan berbagai biota laut di tempat ini. Seenak jidat, Raihan bilang kalau dirinya cucu cumi-cumi, tunangan gurita, gebetan ikan kembung, sampai disamakan dengan dugong di serial kartun Upin Ipin. Itu, loh, episode ketika mereka jadi pelaut. Tak hanya sampai di sana Rania dibuat emosi. Raihan anteng memotret keindahan kawasan Sea Life Bangkok Ocean World, padahal ketika dirinya iseng minta difoto, pemuda itu justru mengusirnya dengan sapuan tangan. Katanya membuat memori penuh saja. “Gue sebel sama lu, Raiko.” Rania menoleh ke seberang jalan. Tubuhnya dibuat menyamping dengan kaki menyilang. “Lu gak bakalan jadi cantik kalau terus cemberut kayak gitu.” Raihan menyimpan kembali kamera. Ia cukup puas karena bisa meng
Rania merasa bila hari ini akan menjadi momen yang buruk. Semalam suntuk, ia harus terjaga hingga jam tiga pagi. Alasannya hanya satu, ia takut kalau Raihan tiba-tiba berbuat tak senonoh padanya. Meski masih kantuk, mau tak mau dirinya harus mengikuti Raihan menuju kawasan Khao San Road.“Ayo cepet!” pinta Raihan tanpa menoleh ke arah Rania. Semalam, ia tidur dengan nyenyak. Jadi, hari ini ia amat bersemangat untuk menjelajahi tempat baru.Rania tak menggubris. Sebaliknya, ia malah kian memperlambat laju jalan. Gadis itu masih marah karena tadi pagi Raihan membangunkannya dengan cara menyiramnya.“Ayo!” Raihan menarik-narik tali merah yang sengaja dipasang di antara lengan kirinya dan lengan kanan Rania. Tujuannya agar mereka tidak berpisah dan kehilangan satu sama lain.“Gue ngantuk, Raiko!” Rania balas menarik.Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik menghadap Rania yang sesekali menguap lebar.
Raihan perlahan mengerjap. Setelah penglihatannya kembali normal, pandangannya segera menyisir sekeliling. Ketika menyadari sebuah selang infus tertanam di tangan dan kepala yang sudah diperban, pemuda itu langsung menyadari kalau dirinya sedang berada di rumah sakit.Raihan mendapati Rania tengah terlelap di samping kirinya. Pemuda itu lantas turun dari kasur, kemudian berjalan ke arah pintu keluar di mana para pengawal berada. Ia memanggil salah seorang dari mereka, lantas memintanya untuk membantu memindahkan Rania ke atas kasur. Sepertinya gadis itu tidur dalam posisi tak nyaman.Raihan kemudian duduk di kursi yang ditempati Rania tadi. Kepalanya masih sedikit pusing. Ketika menoleh pada jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Pemuda itu bergegas melaksanakan salat. Setelah usai, ia berbaring di sofa dan tak lama kemudian kembali tertidur. Tepat saat sinar matahari mencumbu kesadaran, ia terbagun.“Makasih, ya,” ujar Raihan se
Ramon berdecak, kemudian melepas genggaman dari dagu Rania. Pria itu lantas menoleh, menatap tajam Raihan yang baru saja masuk ke arah kamar.“Raiko,” lirih Rania seraya mendorong punggung Ramon. Ia segera bersembunyi di belakang punggung Raihan.“Siapa lu?” bentak Ramon tiba-tiba.“Dia ... pengawal pribadi gue,” jawab Rania cepat.“Jangan buat keributan di sini,” ucap Raihan Dingin. Tatapannya masih terkunci pada pria yang masih berada di dalam ruangan. Jelas, Raihan tahu kalau lelaki itu bukan sedang bertamu. Kalaupun tebakannya benar, sudah pasti Rania tidak akan bersembunyi di belakang punggungnya layaknya upil di bawah meja.Ramon mendekat. “Jangan pernah lu berani nyuruh gue!”“Kalau begitu silakan pergi dari sini!”“Gue bilang jangan pernah lu berani nyuruh gue!” Ramon menarik kerah baju Raihan, menyisakan sedikit jarak saat tatapan mereka berte
Raihan dan Rania tiba di kediaman tepat saat tengah hari. Kedatangan mereka disambut bak pangeran dan putri yang baru kembali setelah perjalanan jauh. Karpet merah terhampar sampai ke arah teras, para penjaga dan maid membungkuk di sisi kanan dan kiri jalan. Di selesar rumah, sudah ada Rojak, Ratnawan, Risa serta beberapa penjaga yang berdiri di belakang mereka.“Kenapa kepala kamu, Han?” tanya Rojak.“Raihan ... cuma kepeleset aja,” jawab sang empunya nama.“Kayak bocil aja kepeleset,” sahut Rania yang langsung memasuki rumah.Obrolan beralih ke ruang keluarga. Kini, Raihan diinterogasi oleh sang bapak dan juga mertuanya. Rania tampak menyilangkan dada dengan mulut mengerucut. Ketika akan menaiki tangga, Ratnawan memintanya untuk ikut duduk.“Raihan benar-benar gak apa-apa.” Pemuda berhidung bangir itu meyakinkan.“Segera periksa menantu saya,” ucap Ratnawan pada seo
Setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah toko buku. Sejujurnya, Rania tak suka berlama-lama di tempat seperti ini. Ia mudah sekali mengantuk meskipun baru membaca judul buku. Alhasil, ia hanya mengikuti Raihan.“Ini cocok buat lu,” ucap Raihan sembari memperlihatkan sebuah buku pada Rania. Isi bukunya tentang bagaimana menulis dengan baik, dan itu adalah buku anak SD.“Raiko!” teriak Rania. Beberapa pengunjung serempak menoleh.“Mohon tenang,” ingat pegawai toko dengan senyum ramah.Raihan berusaha menahan tawa sembari menelusuri rak-rak buku.“Lu lagi nyari buku apa, sih? Jangan bilang lu lagi nyari majalah porno?” tuduh Rania.“Hus!” Raihan mengusir Rania dengan sapuan tangan. “Jangan ganggu gue! Mending lu bantuin pegawai toko ngepel lantai. Itu lebih bermanfaat dibanding buntutin gue.”“Raiko!” Rania kembali berteriak.“Mohon tenan