Share

7. Dua Pilar Cinta

Saat pagi, Rania cemberut karena niatan untuk mengecat wajah papanya saat tidur  gagal total. Hampir semalaman, waktunya hanya dihabiskan untuk berjaga-jaga, takut jika si Raihan itu tiba-tiba kemasukan mahluk gaib dan menyeruduk layaknya banteng. Meski harus menahan kantuk, Rania rela bergadang demi keselamatan jiwa dan raganya. Alhasil, tampilannya saat bagun benar-benar kacau.

Setelah mencuci wajah, Rania bergegas turun ke lantai satu untuk memberi kabar kalau ia disiksa semalaman oleh Raihan. Namun, nyatanya lelaki menjengkelkan itu malah sedang berbincang dengan papa dan mamanya di meja makan. Rania berhenti di anak tangga terakhir, mengamati penampilan Raihan yang dibalut kaus hitam dan celana jin warna biru pudar. Ia dengan cepat menepuk-nepuk pipinya untuk mengusir hal gila yang baru saja terbersit di pikiran.

Enggak boleh, batin Rania seraya menggeleng.

Setengah jam kemudian, Ratnawan meminta pasangan baru itu untuk duduk di ruang keluarga.

“Jadi untuk apa Papa memanggil saya dan Rania?” tanya Raihan.

“Dia bukan Papa lu!” Rania melempar sandalnya ke wajah Raihan, tetapi pemuda itu dengan cekatan menghindar.

“Sayang,” tegur Risa sembari menggeleng saat melihat kelakuan Rania.

Rania langsung menekuk wajah dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

“Begini, Nak Raihan,” ucap Ratnawan sembari menahan tawa. “Gimana perang kalian semalem?”

Rania tiba-tiba berdiri. “Dia nyiksa aku, Pa,” ucapnya sembari menunjuk Raihan.

Ratnawan langsung tergelak saat mendengarnya, sedang Risa hanya menunduk karena wajahnya tiba-tiba saja memerah.

“Dia nyiksa aku sampai harus begadang,” rengek Rania, “makanya penampilan aku acak-acakan kayak gini.”

“Bukannya emang tiap hari kayak gitu,” balas Ratnawan enteng.

“Papa!” jerit Rania sembari mengentakkan kaki. “Pokoknya aku gak mau ngomong sama Papa.”

Raihan hanya mampu beristigfar melihat kelakuan Rania. Jujur saja, ia baru pertama kali mengenal seorang gadis dengan perangai seperti ini.

“Saya ingin kalian berbulan madu ke Thailand sekarang juga,” ujar Ratnawan.

“Bu-bulan madu?” Raihan terhenyak kaget.

“Nak Raihan gak perlu khawatir soal pendidikan Nak Raihan. Saya sudah mengatur semuanya. Pokoknya aman,” ucap Ratnawan sembari menganggat tangan dengan simbol oke.

“Papa!” Rania langsung melempar tubuhnya ke kursi, kemudian menendang-nendang meja. “Aku mau pergi ke Thailand asal gak bareng sama si Raiko!”

“Sayang.” Risa mengingatkan.

“Udah cukup ya, Pa. Aku gak tahan lagi.” Rania kembali berdiri, kemudian berjalan meninggalkan tempat pembicaraan dengan langkah lebar.

Raihan memahami bagaimana perasaan Rania. Namun, di situasi seperti ini, ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya berusaha patuh pada pesan bapaknya sebelum pria itu pulang ke rumah.

‘Ikuti semua perintah Ratnawan’

Raihan menarik napas panjang. Ia memaksakan senyum saat melihat Ratnawan tengah menepuk-nempuk punggung tangannya. “Iya, Pa.” 

Tak lama kemudian, empat orang pelayan wanita datang dengan masing-masing koper di tangan. Di belakang mereka, Rania sedang diseret oleh dua orang pengawal pria yang berperawakan besar.

“Segala keperluan kalian berdua selama di Thailand sudah saya siapkan,” sambung Ratnawan.

Raihan tak terlalu menggubris perkataan sang mertua. Ia berdiri, lantas mendekat ke salah satu pria yang menarik Rania. “Kalian lepasin Rania!” pintanya ketika melihat Rania diseret layaknya karung beras. Ekor matanya menangkap jika mertuanya ikut berdiri. Meski begitu, ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari dua pria di hadapannya.

“Dasar kurang ajar!” Rania mengelus-elus baju tidurnya setelah dua pria itu pergi.  Gadis itu lantas pergi ke arah teras tanpa menoleh pada papa dan mamanya.

“Kalian bisa pergi sekarang,” ujar Ratnawan.

Raihan segera menyusul Rania ke beranda. Dua buah mobil sudah terparkir di depan selesar rumah.

“Jangan ikutin gue!” Rania masuk ke mobil yang terparkir paling depan.

Raihan mengembus napas panjang. Saat akan memasuki mobil kedua, para pengawal mencegahnya dengan alasan bahwa kendaraan itu digunakan untuk menyimpan koper. Mau tak mau, pemuda itu menuju mobil pertama, kemudian duduk di samping Rania.

Rania seketika memelotot saat melihat Raihan. “Gue bilang jangan ikutin gue!”

“Gue juga sebenernya gak mau deket-deket sama cewek bau kayak lu,” balas Raihan tenang.

“Apa lu bilang?” Rania kontan berkacak pinggang. “Hanya karena lu nolongin gue tadi, lu bisa ngomong macem-macem sama gue, Raiko!”    

“Sebenernya yang jangan deket-deket itu lu, bukan gue.” Raihan menyandarkan punggung ke kursi.

“Hah?” Mulut Rania sontak mengangga seutuhnya. “Kenapa juga gue harus deket-deket lu? Kita itu beda kasta, beda segalanya.”

Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman. Ratnawan dan Risa melambaikan tangan di teras rumah, kemudian berbincang sesaat sebelum kembali masuk ke rumah.

“Coba liat keadaan lu sekarang. Ada gitu orang normal yang pergi ke bandara dalam keadaan belum mandi sama pakai piyama doang?”

“Siapa yang pake ....” Rania segera melumat kembali perkataannya saat mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. Astaga, apa yang dikatakan pria menyebalkan itu benar. Ia baru sadar kalau dirinya masih memakai pakaian tidur.

“Pokoknya jangan deket-deket gue.” Raihan berusaha menyembunyikan tawa.

“Raiko!” Rania menendang-nendang kursi sopir. Sekarang, ia ingin sekali bertukar tempat dengan gantungan spion di depan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status