Raihan perlahan mengerjap. Setelah penglihatannya kembali normal, pandangannya segera menyisir sekeliling. Ketika menyadari sebuah selang infus tertanam di tangan dan kepala yang sudah diperban, pemuda itu langsung menyadari kalau dirinya sedang berada di rumah sakit.
Raihan mendapati Rania tengah terlelap di samping kirinya. Pemuda itu lantas turun dari kasur, kemudian berjalan ke arah pintu keluar di mana para pengawal berada. Ia memanggil salah seorang dari mereka, lantas memintanya untuk membantu memindahkan Rania ke atas kasur. Sepertinya gadis itu tidur dalam posisi tak nyaman.
Raihan kemudian duduk di kursi yang ditempati Rania tadi. Kepalanya masih sedikit pusing. Ketika menoleh pada jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Pemuda itu bergegas melaksanakan salat. Setelah usai, ia berbaring di sofa dan tak lama kemudian kembali tertidur. Tepat saat sinar matahari mencumbu kesadaran, ia terbagun.
“Makasih, ya,” ujar Raihan se
Ramon berdecak, kemudian melepas genggaman dari dagu Rania. Pria itu lantas menoleh, menatap tajam Raihan yang baru saja masuk ke arah kamar.“Raiko,” lirih Rania seraya mendorong punggung Ramon. Ia segera bersembunyi di belakang punggung Raihan.“Siapa lu?” bentak Ramon tiba-tiba.“Dia ... pengawal pribadi gue,” jawab Rania cepat.“Jangan buat keributan di sini,” ucap Raihan Dingin. Tatapannya masih terkunci pada pria yang masih berada di dalam ruangan. Jelas, Raihan tahu kalau lelaki itu bukan sedang bertamu. Kalaupun tebakannya benar, sudah pasti Rania tidak akan bersembunyi di belakang punggungnya layaknya upil di bawah meja.Ramon mendekat. “Jangan pernah lu berani nyuruh gue!”“Kalau begitu silakan pergi dari sini!”“Gue bilang jangan pernah lu berani nyuruh gue!” Ramon menarik kerah baju Raihan, menyisakan sedikit jarak saat tatapan mereka berte
Raihan dan Rania tiba di kediaman tepat saat tengah hari. Kedatangan mereka disambut bak pangeran dan putri yang baru kembali setelah perjalanan jauh. Karpet merah terhampar sampai ke arah teras, para penjaga dan maid membungkuk di sisi kanan dan kiri jalan. Di selesar rumah, sudah ada Rojak, Ratnawan, Risa serta beberapa penjaga yang berdiri di belakang mereka.“Kenapa kepala kamu, Han?” tanya Rojak.“Raihan ... cuma kepeleset aja,” jawab sang empunya nama.“Kayak bocil aja kepeleset,” sahut Rania yang langsung memasuki rumah.Obrolan beralih ke ruang keluarga. Kini, Raihan diinterogasi oleh sang bapak dan juga mertuanya. Rania tampak menyilangkan dada dengan mulut mengerucut. Ketika akan menaiki tangga, Ratnawan memintanya untuk ikut duduk.“Raihan benar-benar gak apa-apa.” Pemuda berhidung bangir itu meyakinkan.“Segera periksa menantu saya,” ucap Ratnawan pada seo
Setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah toko buku. Sejujurnya, Rania tak suka berlama-lama di tempat seperti ini. Ia mudah sekali mengantuk meskipun baru membaca judul buku. Alhasil, ia hanya mengikuti Raihan.“Ini cocok buat lu,” ucap Raihan sembari memperlihatkan sebuah buku pada Rania. Isi bukunya tentang bagaimana menulis dengan baik, dan itu adalah buku anak SD.“Raiko!” teriak Rania. Beberapa pengunjung serempak menoleh.“Mohon tenang,” ingat pegawai toko dengan senyum ramah.Raihan berusaha menahan tawa sembari menelusuri rak-rak buku.“Lu lagi nyari buku apa, sih? Jangan bilang lu lagi nyari majalah porno?” tuduh Rania.“Hus!” Raihan mengusir Rania dengan sapuan tangan. “Jangan ganggu gue! Mending lu bantuin pegawai toko ngepel lantai. Itu lebih bermanfaat dibanding buntutin gue.”“Raiko!” Rania kembali berteriak.“Mohon tenan
Ramon memacu mobilnya lebih cepat. Ia baru saja membuntuti mobil Rania. Saat kendaraan gadis itu mulai memasuki kawasan hutan, ia kembali memutar arah. Tujuannya saat ini adalah kembali ke rumah. Beberapa jam lalu, Ramon mendapat informasi tambahan mengenai info yang diberikan bawahannya kemarin. Sesuai dugaan, pengawal pribadi yang dimaksud Rania adalah suaminya sendiri.“Ratnawan sialan! Apa tujuannya nikahin Rania sama cowok itu?” Ramon memukul kemudi beberapa kali. Rahangnya mengeras hingga urat lehernya menyembul.Ramon berdecak sembari memukul kursi kosong di samping. Ia masih ingat kalau dirinya sampai menghajar bawahannya hingga babak belur saat mendapat kepastian tentang kabar tersebut. Ramon menyugar rambut yang sedikit panjang. Rencananya untuk menghancurkan keluarga Ratnawan melalui Rania gagal total. Dengan begini, ia sudah tak punya muka lagi di depan papanya.“Tua bangka sialan!” pekik Ramon, “kenapa lu gak henti-hent
Rania perlahan mulai membuka mata. Kepalanya masih agak pusing ketika pandangannya dipaksakan untuk memindai sekeliling. “Mama,” lirihnya.Rania bersandar pada punggung kasur dengan dibantu Risa. Ratnawan dan Raihan tengah duduk di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Dokter baru saja mengecek keadaan gadis itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena Rania hanya syok. Dirasa keadaan membaik, Ratnawan dan Risa memilih pamit. Kini, ruangan hanya diisi oleh Raihan dan juga Rania.Kondisi rumah sudah mulai terkendali. Meski begitu, para penjaga masih mencari keberadaan pelaku. Para pengawal yang berjumlah puluhan orang menyisir dan melakukan pengecekan di seluruh sudut rumah.“Lu sebaiknya tidur,” ucap Raihan.Rania segera memunggungi pemuda itu. Kejadian tadi terus terbayang dalam benaknya. Ia yang akan marah karena Raihan tiba-tiba memeluknya, dikagetkan dengan suara letusan. Setelahnya, ia dibuat berguling-guling beberapa kali
Rania hanya sibuk mengunyah makanan saat Raihan tengah berbicara dengan mama dan papanya. Ia pura-pura tuli saat lelaki itu berbicara tentang rencananya kembali ke pesantren. Beberapa kali Raihan meliriknya, tetapi ia enggan berpaling dari kumpulan daging di meja makan. Gadis itu sudah susah payah kabur dari pesantren, dan dengan menyebalkannya Raihan malah ingin mengajaknya pergi ke sana.“Kenapa gak sekalian ajak Rania?” tanya Ratnawan.Rania seketika tersedak. Ia buru-buru meminum segelas air yang disodorkan Raihan. Setelah tenang, ia kembali mengunyah makanan seolah tak pernah mendengar penuturan barusan.“Saya malah senang jika Rania tinggal di pesantren,” lanjut Ratnawan.Rania tiba-tiba berdiri, kemudian berlari menuju anak tangga. Lewat ekor matanya, ia melihat jika Raihan hendak menyusul. Gadis itu menutup pintu dengan kencang, kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menutup telinga dengan kedua tangan ketika
Ramon menyeka keringat dengan handuk setelah satu jam lamanya berlatih beladiri. Pria itu lantas duduk di kursi panjang, kemudian meneguk sebotol minuman hingga tandas. Tubuhnya yang letih dibuai oleh embusan angin. Taman belakang rumah tampak sepi dari lalu-lalang pelayan.Ramon tiba-tiba teringat dengan pertemuan yang diadakan beberapa waktu lalu. Selama pembahasan, ia tak banyak bicara dan lebih memilih mendengar intruksi dan informasi terbaru seputar tindakan yang akan sang papa ambil. Tak banyak orang yang hadir saat itu. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.Ramon sudah menunggu waktu pertemuan ini tiba. Ia ingin menunjukkan hasil kerjanya dengan memberi informasi jika Ratnawan sudah menikahkan Rania dengan seorang lelaki asing. Saat waktu dan tempat hanya menyisakan keduanya dalam ruangan, ia segera mendekat, kemudian menyodorkan sebuah map ke atas meja. “Pa,” ujar Ramon.
Raihan yang baru saja akan memejamkan mata tiba-tiba dikagetkan dengan suara pintu yang terbuka cukup keras. Begitu ia duduk, sebuah bantal besar melayang ke wajahnya. Ia hanya menghela napas panjang saat si pelaku dengan tanpa dosa langsung memakan kue yang ia bawa.“Ke mana aja lu, Han?” tanya sahabatnya dengan mulut yang sibuk mengunyah.“Gue ... disuruh bokap, Rom.” Raihan kembali berbaring di kasur, memandang langit-langit kamar, lalu menyilangkan tangan menjadi bantalan kepala.Sahabatnya hanya berdeham, sibuk memilah kue. “Siapa cewek yang bareng lu tadi?”Raihan tiba-tiba terbatuk, lantas mengganti posisi menjadi duduk. Sahabatnya segera memberi sebuah gelas yang kemudian diteguk habis oleh Raihan. “Dia ... sepupu gue.”Lelaki tinggi yang bernama Romi itu kembali berdeham. Ia larut dalam aktivitas memakan kue. Barulah saat perut sudah terisi, ia ikut berbaring di kasurnya.R
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu