Rania hanya sibuk mengunyah makanan saat Raihan tengah berbicara dengan mama dan papanya. Ia pura-pura tuli saat lelaki itu berbicara tentang rencananya kembali ke pesantren. Beberapa kali Raihan meliriknya, tetapi ia enggan berpaling dari kumpulan daging di meja makan. Gadis itu sudah susah payah kabur dari pesantren, dan dengan menyebalkannya Raihan malah ingin mengajaknya pergi ke sana.
“Kenapa gak sekalian ajak Rania?” tanya Ratnawan.
Rania seketika tersedak. Ia buru-buru meminum segelas air yang disodorkan Raihan. Setelah tenang, ia kembali mengunyah makanan seolah tak pernah mendengar penuturan barusan.
“Saya malah senang jika Rania tinggal di pesantren,” lanjut Ratnawan.
Rania tiba-tiba berdiri, kemudian berlari menuju anak tangga. Lewat ekor matanya, ia melihat jika Raihan hendak menyusul. Gadis itu menutup pintu dengan kencang, kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menutup telinga dengan kedua tangan ketika
Ramon menyeka keringat dengan handuk setelah satu jam lamanya berlatih beladiri. Pria itu lantas duduk di kursi panjang, kemudian meneguk sebotol minuman hingga tandas. Tubuhnya yang letih dibuai oleh embusan angin. Taman belakang rumah tampak sepi dari lalu-lalang pelayan.Ramon tiba-tiba teringat dengan pertemuan yang diadakan beberapa waktu lalu. Selama pembahasan, ia tak banyak bicara dan lebih memilih mendengar intruksi dan informasi terbaru seputar tindakan yang akan sang papa ambil. Tak banyak orang yang hadir saat itu. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.Ramon sudah menunggu waktu pertemuan ini tiba. Ia ingin menunjukkan hasil kerjanya dengan memberi informasi jika Ratnawan sudah menikahkan Rania dengan seorang lelaki asing. Saat waktu dan tempat hanya menyisakan keduanya dalam ruangan, ia segera mendekat, kemudian menyodorkan sebuah map ke atas meja. “Pa,” ujar Ramon.
Raihan yang baru saja akan memejamkan mata tiba-tiba dikagetkan dengan suara pintu yang terbuka cukup keras. Begitu ia duduk, sebuah bantal besar melayang ke wajahnya. Ia hanya menghela napas panjang saat si pelaku dengan tanpa dosa langsung memakan kue yang ia bawa.“Ke mana aja lu, Han?” tanya sahabatnya dengan mulut yang sibuk mengunyah.“Gue ... disuruh bokap, Rom.” Raihan kembali berbaring di kasur, memandang langit-langit kamar, lalu menyilangkan tangan menjadi bantalan kepala.Sahabatnya hanya berdeham, sibuk memilah kue. “Siapa cewek yang bareng lu tadi?”Raihan tiba-tiba terbatuk, lantas mengganti posisi menjadi duduk. Sahabatnya segera memberi sebuah gelas yang kemudian diteguk habis oleh Raihan. “Dia ... sepupu gue.”Lelaki tinggi yang bernama Romi itu kembali berdeham. Ia larut dalam aktivitas memakan kue. Barulah saat perut sudah terisi, ia ikut berbaring di kasurnya.R
Ramon memasuki sebuah bangunan kecil di tengah hutan. Beberapa orang sudah tiba lebih dahulu di sana. Saat masuk, asap rokok dan bau alkohol menyambutnya. Pria itu lantas duduk di kursi depan, menatap satu per satu orang yang akan menjadi bagian dalam misinya.“Gue pengen lu semua kerahin anak buah buat ngawasin pesantren selama satu minggu ke depan,” ucap Ramon tanpa basa-basi, “ini misi penting dan gue gak mau ada kesalahan sekecil apa pun. Jangan sampai orang-orang Ratnawan curiga. Untuk tugas selanjutnya, gue bakal kasih info lagi sama lu semua.”Semua orang yang ada di ruangan serempak mengangguk. Suara tembakau yang terbakar dan dentingan gelas menjadi pengiring saat Ramon pergi. Kabar tentang anak buahnya yang dihabisi Ratnawan cukup membuatnya kesal. Ia masih beruntung memiliki satu mata-mata lagi di pasukan musuh bebuyutan papanya itu. Ramon memasuki mobil, lantas memacu kendaraan melewati jalan setapak di antara rindangny
Rania akhirnya bernapas lega. Ia terbayang kenikmatan hidup di rumahnya yang akan segera dirinya dapatkan kembali. “Biar aja si Raiko tinggal di sini. Dia pasti bakalan tebar pesona ke santri-santri cewek. Gue sampai bosan santri di sini ngomongin dia. Lagian apa sih yang menarik dari dia?”Rania cemberut, terlebih saat membayangkan wajah merah dan malu-malu Rumi. “Mereka gak tau aja kalau si Raiko itu sebelas dua belas sama cebong. Muka kayak adonan cimol aja sok jadi idola santri.”Rania terus mencibir Raihan sampai puas. Ketika melihat sebuah tangga kayu yang tergeletak di bawah pohon, ia segera mengambilnya, kemudian menyandarkannya ke tembok. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri, lalu mulai menaiki tangga. Setelah berhasil keluar dari pesantren, ia akan meminta pengawal untuk mengantarnya pulang.Rania refleks menyembunyikan diri ketika cahaya senter hendak mengungkap keberadaannya. Arahnya berasal dari balik tembok. Saat menoleh ke d
Raihan tak mengerti kenapa para santriwati yang berkumpul di depan UKS malah tersenyum sembari berbisik-bisik saat dirinya datang. Wajahnya masih tampan dan bajunya juga rapi. Jadi, tak ada yang aneh dengan dirinya. Namun, setelah menengok ke belakang, ia tahu kalau mereka tengah menggoda Rumi yang tanpa ia sadari mengikutinya.Ketika memasuki ruangan UKS, Raihan langsung disemprot oleh amukan ustazah yang terkenal garang.“Kenapa antum ada di sini?” tanya Ustazah dengan mata memelotot.“Ana ingin jenguk Rania, sepupu ana.” Raihan terpaksa berbohong.Ustazah menoleh pada pada para santriwati untuk sesaat. “Sepuluh menit,” ucapnya sebelum keluar dari ruangan.Raihan duduk di samping kasur, membenarkan letak selimut Rania. Gadis itu masih tertidur. Suhu badannya panas dan wajahnya tampak pucat. Raihan melepas peci, kemudian menyisir rambut dengan jemari. Ia lantas menyandarkan tubuh ke kursi. Hela
Raihan menarik napas dalam begitu ponselnya terhubung dengan Ratnawan. Ketakutan tiba-tiba saja menyergap begitu memorinya justru membuka kejadian tempo hari di bangunan belakang rumah. Mengingatnya seringkali menimbulkan tanya, apa yang sebenarnya terjadi di sana? Lalu siapa Ratnawan sesungguhnya?Jantung Raihan berdenyut lebih cepat begitu runtuian kata mulai terdengar dari seberang telepon. Pemuda itu mengusap rambut beberapa kali sembari mengawasi halaman belakang sekolah. Untuk menghilangkan gugup, ia memasukan satu tangan ke saku celana.“Rania ... sakit, Pa,” ucap Raihan setelah berbasa-basi. Ia yakin jika suaranya bergetar ketika bicara barusan. “Saya ... minta maaf.”“Nak Raihan tak perlu minta maaf.” Ratnawan terkekeh.Raihan menjauhkan ponselnya sesaat, berkerut bingung.“Saya tahu gimana Rania. Ini pasti cuma akal-akalan dia biar bisa balik ke rumah. Nak Raihan tenang aja.”Ra
Rania duduk di kasur seraya memeluk kedua lutut. Pandangannya tertuju pada jendela yang menampilkan lalu-lalang santriwati. Ini pertama kali bagi Rania merasa terasing seperti ini. Ia seakan hidup sendiri, tak punya apa pun dan siapa pun. “Ini semua gara-gara si Raiko!” Hujan deras mengguyur pesantren. Rania menepuk pipi beberapa kali seraya turun dari kasur. Ia membuka pintu kamar, lalu berdiri di sana sembari memandangi sekeliling. Udara sore hari begitu segar, terlebih ketika mencium bau tanah karena hujan. Dari kejauhan, ia melihat Rumi datang dengan seorang perempuan. Dilihat dari penampilannya, wanita itu seperti seorang dokter. Rania kembali berbaring di kasur. Ia sebal karena rencana untuk jalan-jalan di sekitar pesantren gagal. Tenang saja, ia enggak berniat kabur lagi, kok. Ya, hanya sekadar melepas suntuk. Lagi pula, kalau hujan begini ia takut jadi putri duyung. Rumi masuk bersama wanita tersebut. Dugaan Rania tepat karena perempuan berjas p
“Rania.” Raihan mengguncang tubuh Rania beberapa kali. Tatapannya tertuju pada jendela yang menampilkan keriuhan di luar. Terdengar teriakan ustazah yang meminta para santriwati untuk segera berkumpul di titik evakuasi.Rania mengerjap tak lama kemudian. Ia sontak menarik selimutnya lebih tinggi. “Gue gak mau minum obat,” ucapnya sambil mengubah posisi tidur menjadi menyamping.“Dasar kebo,” ledek Raihan di tengah kepanikan.Rania sontak memelotot begitu mendengar suara Raihan. Ia segera menghempas selimut, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Apa yang lu bilang?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Lu ngapain masih di sini?” Raihan menyimpan selimut kembali ke atas kasur. “Lu harus segera ke titik evakuasi.”Rania seketika menekuk wajah, lantas berbaring seraya menyelimuti tubuhnya lagi. Melihat Raihan berada di sini benar-benar membuatnya muak. “Jangan ganggu gue.&rdq