Raihan menarik napas dalam begitu ponselnya terhubung dengan Ratnawan. Ketakutan tiba-tiba saja menyergap begitu memorinya justru membuka kejadian tempo hari di bangunan belakang rumah. Mengingatnya seringkali menimbulkan tanya, apa yang sebenarnya terjadi di sana? Lalu siapa Ratnawan sesungguhnya?
Jantung Raihan berdenyut lebih cepat begitu runtuian kata mulai terdengar dari seberang telepon. Pemuda itu mengusap rambut beberapa kali sembari mengawasi halaman belakang sekolah. Untuk menghilangkan gugup, ia memasukan satu tangan ke saku celana.
“Rania ... sakit, Pa,” ucap Raihan setelah berbasa-basi. Ia yakin jika suaranya bergetar ketika bicara barusan. “Saya ... minta maaf.”
“Nak Raihan tak perlu minta maaf.” Ratnawan terkekeh.
Raihan menjauhkan ponselnya sesaat, berkerut bingung.
“Saya tahu gimana Rania. Ini pasti cuma akal-akalan dia biar bisa balik ke rumah. Nak Raihan tenang aja.”
Ra
Rania duduk di kasur seraya memeluk kedua lutut. Pandangannya tertuju pada jendela yang menampilkan lalu-lalang santriwati. Ini pertama kali bagi Rania merasa terasing seperti ini. Ia seakan hidup sendiri, tak punya apa pun dan siapa pun. “Ini semua gara-gara si Raiko!” Hujan deras mengguyur pesantren. Rania menepuk pipi beberapa kali seraya turun dari kasur. Ia membuka pintu kamar, lalu berdiri di sana sembari memandangi sekeliling. Udara sore hari begitu segar, terlebih ketika mencium bau tanah karena hujan. Dari kejauhan, ia melihat Rumi datang dengan seorang perempuan. Dilihat dari penampilannya, wanita itu seperti seorang dokter. Rania kembali berbaring di kasur. Ia sebal karena rencana untuk jalan-jalan di sekitar pesantren gagal. Tenang saja, ia enggak berniat kabur lagi, kok. Ya, hanya sekadar melepas suntuk. Lagi pula, kalau hujan begini ia takut jadi putri duyung. Rumi masuk bersama wanita tersebut. Dugaan Rania tepat karena perempuan berjas p
“Rania.” Raihan mengguncang tubuh Rania beberapa kali. Tatapannya tertuju pada jendela yang menampilkan keriuhan di luar. Terdengar teriakan ustazah yang meminta para santriwati untuk segera berkumpul di titik evakuasi.Rania mengerjap tak lama kemudian. Ia sontak menarik selimutnya lebih tinggi. “Gue gak mau minum obat,” ucapnya sambil mengubah posisi tidur menjadi menyamping.“Dasar kebo,” ledek Raihan di tengah kepanikan.Rania sontak memelotot begitu mendengar suara Raihan. Ia segera menghempas selimut, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Apa yang lu bilang?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Lu ngapain masih di sini?” Raihan menyimpan selimut kembali ke atas kasur. “Lu harus segera ke titik evakuasi.”Rania seketika menekuk wajah, lantas berbaring seraya menyelimuti tubuhnya lagi. Melihat Raihan berada di sini benar-benar membuatnya muak. “Jangan ganggu gue.&rdq
Awalnya, Raihan yakin kalau Rania itu kesurupan. Akan tetapi, setelah mendengar hinaan gadis itu terhadap bapaknya, dugaan itu menguap entah ke mana. Jujur, ia amat tersinggung oleh ocehan Rania yang seenaknya menuduh dirnya dan sang bapak yang ingin merebut harta keluarganya. Enggak ada akhlak memang.Tangan Raihan terus terkepal saat keluar dari kamar. Secara sekilas, ia mendengar teriakan, tetapi amarah justru membuatnya memilih tak peduli. “Biar gue sama Rania sama-sama tenang dulu,” ujarnya.Di satu sisi, alarm terus berbunyi. Walau begitu, Raihan memilih berjalan seolah tak ada kejadian buruk yang terjadi di pesantren. Pikirannya justru terbang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Ia tak pernah mengira jika Rania akan menangis, terlebih mengatakan kalau dirinya dan Rumi sudah dijodohkan.“Keputusan gue bawa dia ke pesantren benar-benar salah,” ujar Raihan, “Rania pasti makin stres udah ini.”Raihan mengam
Rania mengerjap beberapa kali. Kepalanya masih pusing akibat pengaruh obat bius. Butuh beberapa waktu agar penglihatannya kembali seperti semula. Ketika matanya berangsur normal, ia sontak tercengang ketika menyadari jika tubuhnya dililit tali dan mulut dibekap lakban. Kejadian ini mengingatkannya pada aksi penculikan yang dilakukan papanya sendiri. Akan tetapi, saat menoleh ke samping, pria tambun itu justru tak terlihat perut buncitnya. Sebenarnya, di mana Rania sekarang?“Ke mana tujuan kita?” Seseorang bertanya.Rania menebak bila dirinya tengah berada di sebuah mobil. Meski keadaan remang, ia melihat ada empat orang yang berada di kendaraan termasuk dirinya. Gadis itu memilih berpura-pura tertidur untuk bisa mengumpulkan informasi. Kalau memang orang-orang ini suruhan papanya, ia jujur tidak akan akan melawan meski kesal karena harus diikat seperti bayam di pasar.“Ke tempat yang bos Ramon bilang,” jawab seorang lagi.Rania so
Setelah melarikan diri dari Ramon, Raihan bergegas menuju ke tempat para santri berada. Ia harus memberitahu mereka kalau pesantren dalam keadaan bahaya. Jauh di dalam pikirannya, Raihan terus disesaki dengan perkataan Ramon yang mengatakan kalau sebenarnya keluarga Ratnawan adalah keluarga mafia, dan dirinya dipilih untuk menggantikan posisinya.Raihan mengambil napas panjang. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah berusaha tenang, mengenali masalah, lalu memprioritaskan hal penting apa yang harus ia lakukan lebih dahulu.“Romi!” panggil Raihan berkali-kali. Ia harus membawa seluruh santri yang mengejar si pelaku tadi kembali ke pesantren. Dengan begitu, ia mampu menyelematkan para santri yang masih terjebak di sana. Raihan hanya berharap kalau ocehan Ramon yang akan membakar pesantren hanya gertakan.“Han!” Terdengar sahutan entah dari mana.Raihan mempercepat langkah kaki. Ia akan bersyukur kalau teman-temannya ber
Raihan segera berbaring di tanah begitu sampai di tempat evakuasi. Napasnya masih tersengal di mana dadanya tampak kembang kempis. Lelaki itu menoleh saat Romi duduk di sampingnya. Ia ikut duduk untuk menerima segelas air. Benar juga, kerongkongannya rasanya ikut terbakar.“Gue harus cek keadaan Rania dulu,” kata Raihan seraya berdiri.“Lu obatin luka lu dulu sebelum ngurusin orang lain.” Romi berucap tanpa menoleh.Raihan membalas dengan dehaman. Lelaki itu segera menyisir sekeliling, menyibak kerumunan santri. Senyumnya yang merekah perlahan surut, tenggelam bersama tanya mengenai keberadaan Rania.Beberapa kali mengecek keadaan, Raihan belum menemukan keberadaan Rania. Ia akan bersyukur jika gadis itu masih marah padanya dibanding menghilang seperti ini.“Kamu tahu di mana Rania?” tanya Raihan saat Rumi berjalan ke arahnya.Rumi tercenung kaget. Setetes air mata akhirnya jatuh membasahi pipi. “Buk
Gelap masih bersarang di mata Rania. Ini kali kedua gadis itu harus takluk pada obat bius yang merenggut kesadaran. Kepalanya kian bertambah pening. Ia juga tak leluasa bergerak karena raganya terikat di kursi. Angin merangkak melalui celah jendela, menebar dingin di sekujur tubuh. Rania sadar sepenuhnya.“Hai,” sapa seseorang.“Kurang ajar!” bentak Rania, berontak dari kursinya. Ikatan tali di tubuhnya benar-benar kuat. Ia tahu suara menyebalkan itu milik siapa. “Lepasin gue, Salmon!”Ramon membuka kain yang menutupi mata Rania, lalu memberi senyuman.“Di mana gue?” Rania memindai sekeliling. Banyak tumpukan drum, kotak bekas, juga di setiap sudut ruangan. Bangunan ini selayaknya gudang. “Jangan macam-macam sama gue, Salmon!”“Aku punya hadiah menarik buat kamu.” Ramon mengitari Rania dengan senyuman lebar.Demi sempak kuda, Rania sama sekali tak semringah apalagi
Sudah Rania bilang kalau ia benci Raihan, kan?Rania tidak bosan untuk menggemakan hal itu dalam pikirannya. Bagaimana tidak? Lelaki itu sudah menghangatkan pipinya dengan air mata. Gadis itu sengaja mengingat hal lucu agar tayangan tadi tak menohok perasaan. Awalnya memang berhasil, ia tertawa sendiri di remangnya ruangan, persis seperti jomblo yang girang karena malam minggu hujan. Namun, ia tak bisa membohongi perasaan.“Si Raiko emang bego! Lu pikir lu hebat gitu pas nerobos api buat neyelamatin gue?” Bibir Rania mengerucut. “Dasar sok kegantengan! Kenapa lu gak nyelamatin diri lu sendiri aja? Apa biar bisa ngeledekin gue?”Rania berontak untuk melepaskan diri, tetapi kungkungan tali benar-benar kuat menjerat. “Padahal gue udah hina lu sama bokap lu. Terus kenapa lu masih mau nyelamatin gue?”Rania terisak ketika teringat kejadian di ruang UKS. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan emosi ketika mendengar bahwa Raihan da