Setelah melarikan diri dari Ramon, Raihan bergegas menuju ke tempat para santri berada. Ia harus memberitahu mereka kalau pesantren dalam keadaan bahaya. Jauh di dalam pikirannya, Raihan terus disesaki dengan perkataan Ramon yang mengatakan kalau sebenarnya keluarga Ratnawan adalah keluarga mafia, dan dirinya dipilih untuk menggantikan posisinya.
Raihan mengambil napas panjang. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah berusaha tenang, mengenali masalah, lalu memprioritaskan hal penting apa yang harus ia lakukan lebih dahulu.
“Romi!” panggil Raihan berkali-kali. Ia harus membawa seluruh santri yang mengejar si pelaku tadi kembali ke pesantren. Dengan begitu, ia mampu menyelematkan para santri yang masih terjebak di sana. Raihan hanya berharap kalau ocehan Ramon yang akan membakar pesantren hanya gertakan.
“Han!” Terdengar sahutan entah dari mana.
Raihan mempercepat langkah kaki. Ia akan bersyukur kalau teman-temannya ber
Raihan segera berbaring di tanah begitu sampai di tempat evakuasi. Napasnya masih tersengal di mana dadanya tampak kembang kempis. Lelaki itu menoleh saat Romi duduk di sampingnya. Ia ikut duduk untuk menerima segelas air. Benar juga, kerongkongannya rasanya ikut terbakar.“Gue harus cek keadaan Rania dulu,” kata Raihan seraya berdiri.“Lu obatin luka lu dulu sebelum ngurusin orang lain.” Romi berucap tanpa menoleh.Raihan membalas dengan dehaman. Lelaki itu segera menyisir sekeliling, menyibak kerumunan santri. Senyumnya yang merekah perlahan surut, tenggelam bersama tanya mengenai keberadaan Rania.Beberapa kali mengecek keadaan, Raihan belum menemukan keberadaan Rania. Ia akan bersyukur jika gadis itu masih marah padanya dibanding menghilang seperti ini.“Kamu tahu di mana Rania?” tanya Raihan saat Rumi berjalan ke arahnya.Rumi tercenung kaget. Setetes air mata akhirnya jatuh membasahi pipi. “Buk
Gelap masih bersarang di mata Rania. Ini kali kedua gadis itu harus takluk pada obat bius yang merenggut kesadaran. Kepalanya kian bertambah pening. Ia juga tak leluasa bergerak karena raganya terikat di kursi. Angin merangkak melalui celah jendela, menebar dingin di sekujur tubuh. Rania sadar sepenuhnya.“Hai,” sapa seseorang.“Kurang ajar!” bentak Rania, berontak dari kursinya. Ikatan tali di tubuhnya benar-benar kuat. Ia tahu suara menyebalkan itu milik siapa. “Lepasin gue, Salmon!”Ramon membuka kain yang menutupi mata Rania, lalu memberi senyuman.“Di mana gue?” Rania memindai sekeliling. Banyak tumpukan drum, kotak bekas, juga di setiap sudut ruangan. Bangunan ini selayaknya gudang. “Jangan macam-macam sama gue, Salmon!”“Aku punya hadiah menarik buat kamu.” Ramon mengitari Rania dengan senyuman lebar.Demi sempak kuda, Rania sama sekali tak semringah apalagi
Sudah Rania bilang kalau ia benci Raihan, kan?Rania tidak bosan untuk menggemakan hal itu dalam pikirannya. Bagaimana tidak? Lelaki itu sudah menghangatkan pipinya dengan air mata. Gadis itu sengaja mengingat hal lucu agar tayangan tadi tak menohok perasaan. Awalnya memang berhasil, ia tertawa sendiri di remangnya ruangan, persis seperti jomblo yang girang karena malam minggu hujan. Namun, ia tak bisa membohongi perasaan.“Si Raiko emang bego! Lu pikir lu hebat gitu pas nerobos api buat neyelamatin gue?” Bibir Rania mengerucut. “Dasar sok kegantengan! Kenapa lu gak nyelamatin diri lu sendiri aja? Apa biar bisa ngeledekin gue?”Rania berontak untuk melepaskan diri, tetapi kungkungan tali benar-benar kuat menjerat. “Padahal gue udah hina lu sama bokap lu. Terus kenapa lu masih mau nyelamatin gue?”Rania terisak ketika teringat kejadian di ruang UKS. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan emosi ketika mendengar bahwa Raihan da
Rania menutup mulut ketika tidak sengaja menyenggol tumpukan kardus. Matanya sontak membola begitu melihat Raihan berada di depannya. “Raihan,” lirihnya.Rania tanpa sadar merangkai senyum saat mendapati Raihan dalam keadaan baik-baik saja. Nyatanya Ramon sudah berbohong padanya. Ketika akan berdiri, tiba-tiba saja ia dikejutkan tingkah Raihan yang justru keluar dari ruangan setelah melihatnya. “Raihan.” Rania berusaha berdiri. Akan tetapi, tangis dan ketakutannya justru mencegah raganya bergeser dari tempat. Ia hanya mematung saat Raihan menutup pintu. “Raihan benci gue,” gumamnya. Akan sangat wajar jika Raihan membencinya saat ini karena ia sudah menghina lelaki itu dan ayahnya, pikirnya.Rania dengan cepat menyeka air mata. Tak ada waktu untuk bersedih. Ia lantas berlari ke arah pintu. Namun, ketika berhasil menggapai kenop pintu, seseorang lebih dahulu menarik tangannya. “Lepas!”
“Kang Raihan,” ucap Rumi dengan senyum tipis terpatri di wajah. Ia dengan segera merogoh saku baju, kemudian memberikan sebuah sapu tangan pada Raihan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar seorang pengawal yang langsung membukakan pintu. “Nona Rania, Tuan Raihan silakan masuk.”Raihan dan Rania masuk ke mobil seperti yang diminta, sedang Romi dan Rumi duduk di mobil satunya. Kendaraan dengan cepat meninggalkan bangunan, lalu menerobos pepohonan di kiri dan kanan jalan.Rania tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Sepanjang perjalanan, tak ada tegur sapa antara dirinya dan Raihan. Mencoba terpejam pun tak bisa. Peristiwa pelukan tadi seringkali memacu semacam perasaan aneh. Akhirnya, Rania memutuskan untuk cemberut sepanjang jalan dan tak bicara pada Raihan. Sementara itu, Raihan sudah terpejam beberapa waktu lalu. Matanya refleks tertutup ketika punggungnya bersandar pada kursi.Rania me
Rania menurunkan selimut ketika mobil mulai memasuki gerbang rumah. Namun, ada hal berbeda yang dirasa gadis itu ketika melihat sekeliling halaman tampak lengang dari penjagaan. Selain itu, tak ada aktivitas yang terlihat. Rumah ini layaknya bangunan tak berpenghuni. Anehnya, ada mobil polisi yang terparkir di samping halaman.Rania setengah berlari menuju pintu ketika mobil baru saja berhenti. Ia sama sekali tak terlalu menggubris panggilan Raihan di belakangnya. “Papa, Mama,” panggilnya dengan pandangan mengedar ke sekeliling.Rania sontak mundur beberapa langkah ketika pintu terbuka dari dalam. Wajahnya dibuat cemberut dengan posisi berkacak pinggang. Gadis itu akan mengangetkan papanya dengan kedatangannya. Saat pria tambun itu menuduh kalau dirinya kabur lagi dari pesantren, ia akan memukul perut Ratnawan layaknya kendang.Wajah cemberut Rania perlahan menghilang ketika Ratnawan keluar dari pintu. Bukan diiringi para pengawal gagah seperti biasa
“Kenapa ini harus terjadi sama papa dan mama?” lirih Rania dengan wajah yang ditutupi kedua tangan.Rania duduk di depan ruangan tempat Risa dirawat. Dokter mengatakan jika kondisi kejiwaan wanita itu terguncang hebat. Kemungkinan paling buruk dari hal itu adalah kegilaan.Rania mengembus napas dalam seraya menyeka air mata. Ini hari paling buruk baginya. Pertama, ia harus melihat papanya digelendang bak pesakitan oleh polisi. Kedua, gadis itu mendapat kabar perihal kondisi mamanya. Ketiga, ia mendapati jika rahasia yang coba dirinya tutupi bersama Raihan malah terkuak ke permukaan, dan orang yang paling terluka mendapati kabar peristiwa terakhir tak lain adalah Rumi.Setelah peristiwa di rumah tadi, tak ada satu pun yang bicara. Bisu berkuasa hingga rumah sakit. Rania tahu jika Rumi ingin memangis. Mata penuh ombaknya tak kuasa berbohong. Tak ada lagi wajah hangat yang Rania lihat dari gadis itu, yang tampak hanya wajah murung dengan jemari tangan g
Dunia seperti membencinya, pikir Rania. Gadis itu telah kehilangan dua orang teristimewa dalam hidupnya. Tak ada lagi tempat bermanja dan berbagi keusilan. Realita seakan menamparnya untuk hidup dalam ruang berbeda. Istana sudah berubah menjadi gubuk, dan sang putri menjelema menjadi rakyat jelata.Tak ada yang tersisa dari kemewahan orang tuanya. Segala harta disita atas dasar kejahatan korupsi dan tindakan kriminal papanya, yang tersisa hanya diri dan permintaan mamanya agar ia tinggal bersama Raihan dan mertuanya.Rania mendorong koper sembari memasuki rumah yang akan ia tempati entah sampai kapan. Jujur saja, bangunan ini tak sebesar kamarnya. Terdapat tiga buah kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga yang dipisahkan oleh sebuah lemari. Tak ada hiasan dinding atau pernik yang mencolok. Kebanyakan hanya potret Raihan dan juga ayah mertuanya. Sedikit aneh karena Rania tak menemukan foto seorang wanita pun di sini.Selain itu, rumah ini terleta