Dunia seperti membencinya, pikir Rania. Gadis itu telah kehilangan dua orang teristimewa dalam hidupnya. Tak ada lagi tempat bermanja dan berbagi keusilan. Realita seakan menamparnya untuk hidup dalam ruang berbeda. Istana sudah berubah menjadi gubuk, dan sang putri menjelema menjadi rakyat jelata.
Tak ada yang tersisa dari kemewahan orang tuanya. Segala harta disita atas dasar kejahatan korupsi dan tindakan kriminal papanya, yang tersisa hanya diri dan permintaan mamanya agar ia tinggal bersama Raihan dan mertuanya.
Rania mendorong koper sembari memasuki rumah yang akan ia tempati entah sampai kapan. Jujur saja, bangunan ini tak sebesar kamarnya. Terdapat tiga buah kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga yang dipisahkan oleh sebuah lemari. Tak ada hiasan dinding atau pernik yang mencolok. Kebanyakan hanya potret Raihan dan juga ayah mertuanya. Sedikit aneh karena Rania tak menemukan foto seorang wanita pun di sini.
Selain itu, rumah ini terleta
Ingar bingar musik begitu menusuk telinga ketika Ramon memasuki tempat pertemuan yang diubah menjadi tempat pesta. Dentingan gelas berpadu bersama tawa canda dan asap rokok. Kedipan nakal dari wanita-wanita bergincu merah tebal tak menyurutkan langkah Ramon untuk menemukan seseorang yang ia benci di antara kerumunan.“Gue mau bicara sama lu,” ucap Ramon saat menemukan Rendi tengah duduk selagi menikmati minuman.“Dengan senang hati, Tuan Muda.” Rendi membungkuk singkat, kemudian menyodorkan segelas minuman. “Nikmati kemenangan yang kita raih, Tuan.”Ramon langsung menepis hingga gelas dan isinya berceceran di lantai. “Gue gak suka basa-basi. Gue tunggu di balkon.” Pria itu berbalik, lantas mendorong seorang wanita yang tiba-tiba bergelayut manja di lengannya. Saat berada di balkon, Ramon teringat kembali dengan orang asing yang tiba-tiba muncul dalam perkelahiannya dengan Raihan.“Tuan,&rdq
Kejadian terbakarnya pesantren membuat para santri harus dipulangkan ke rumah masing-masing. Proses pembelajaran dihentikan hingga batas tak ditentukan. Syukurlah tak ada korban jiwa. Kerugian hanya sebatas hancurnya dua pertiga bangunan pesantren. Pihak kepolisian tengah menangani kasus ini.Raihan mengetuk pintu kamar Rania berkali-kali. Tak ada jawaban. Lelaki itu meletakkan senampan makanan di meja depan. Raihan coba mengerti bagaimana posisi Rania saat ini. Tak mudah memang kehilangan semua hal berharga sekaligus. Jujur, ia siap menjadi tempat gadis itu berbagi cerita.“Gue akan jenguk papa di kantor polisi,” ujar Raihan setengah berterik. Ia diam di depan pintu selama beberapa waktu, tetapi masih tak ada sahutan dari dalam.Pukul satu siang, Raihan sudah duduk di kantor polisi untuk membesuk Ratnawan. Ia ingin mendengar semua kebenaran langsung dari mertuanya sebelum menuai kejujuran dari bapaknya.Raihan sebenarn
Rania bergegas kembali ke kamar ketika rumah sudah dalam keadaan lengang. Ia buru-buru duduk di bibir kasur. Bayangan saat Raihan ditampar masih bercokol kuat dalam benak. Gadis itu tak menyangka bila Rojak akan melakukan hal itu, padahal Raihan bertanya baik-baik padanya.Rania segera bangkit ketika pintu kamar diketuk. Ia bercermin sesaat, kemudian memutar kenop pintu. Sejujurnya, ia ingin sendiri dan tak ingin diganggu siapa pun.“Ini Bapak,” ucap Rojak di balik pintu.Rania membuka pintu, kemudian mundur untuk memberi jalan pada mertuanya. Ada sepiring besar buah-buahan serta segelas teh hangat yang pria itu bawa. Rania ingin membantu, tetapi Rojak memberi kode agar kembali duduk.“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Rojak sembari menarik kursi di dekat meja.“Ba-baik.” Rania menunduk karena merasa tak nyaman begitu melihat Rojak tersenyum ke arahnya. Bayangan tamparan itu masih kuat tertanam di isi kepala. Tanpa
Seminggu berada di rumah keluarga Raihan merubah sedikit kebiasaan Rania. Ia mulai beradaptasi dengan kehidupan sederhana yang disuguhkan. Memang butuh waktu, tetapi setiap kali ingin mengeluh, ia teringat dengan mama dan papanya.Berbicara mengenai Raihan, Rania malah jadi kaku setiap melihatnya, lebih tepatnya tak tahu harus bicara apa. Memang Raihan seringkali mengetuk pintu kamar untuk sekadar mengingatkan salat atau makan. Namun, ia lebih sering menjawab dengan anggukan atau gelengan. Mulutnya yang berisik dan tak bisa diatur malah jadi mendadak bisu, apalagi saat Raihan menatapnya dalam.Selama seminggu pula Rania berdiam diri kamar. Aktivitasnya tak jauh dari melamun. Ia juga masih butuh waktu untuk menjenguk mama dan papanya. Ia takut tak bisa mengendalikan diri. Sebenarnya gadis itu malu ketika melihat mertuanya dan Raihan sibuk mengurus rumah, tetapi tetap melayaninya dengan baik. Lambat laun muncul perasaan sungkan.“Gue gak boleh jadi beban kel
Seminggu berlalu dengan cepat. Rumi merasa hanya fisiknya saja yang mulai membaik, tetapi tidak dengan hatinya. Gadis itu lebih banyak diam, tenggelam dalam lamunan, terbelenggu kesakitan. Meski ia beberapa kali bertemu dengan Raihan di sekolah, tetapi tak pernah sekalipun lelaki itu datang untuk menjelaskan perihal foto yang terpampang di kediaman orang itu. Jujur saja, ia seperti tak dianggap. Rumi menatap makanannya tak selera. Beberapa kali ia ditegur sang bunda. Ia hanya tersenyum sebagai pengganti maaf. Ia sengaja mengambil porsi lebih sedikit. “Bapak tadi liat Nak Raihan saat di pasar,” ujar Rizal, “sepertinya Nak Raihan sedang sibuk sampai saat Bapak panggil dia gak menoleh.” Mendengarnya, refleks Rumi mendongak. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba mengundang tawa dari orang tuanya. “Kamu kenal dengan gadis yang bersamanya, Rum?” tanya Rizal setelah meletakkan gelas di meja. “Gadis?” Rumi memastikan. Jangan bilang
Saat bel sekolah berbunyi, serempak seluruh siswa kelas dua belas berhamburan ke luar kelas untuk memadati papan pengumuman. Haru biru dan tawa bahagia pecah saat seluruh siswa dinyatakan lulus. Sebuah tahapan perjalanan kehidupan baru saja usai.Para siswa berkerumunan di lapangan, saling mencoret seragam satu sama lain. Raihan salah satu di antaranya. Baju dan rambutnya sudah berubah warna. Romi juga berpenampilan serupa. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan berfoto dan perjalanan mengelilingi kota. Saat ini, Raihan dan Romi berada di taman kota, duduk di kursi panjang. Bisa dibilang penampilan mereka paling mencolok dibanding pengunjung lain. Tak ada komentar miring. Mungkin orang-orang yang melihat mereka bisa maklum. Toh, mereka pernah mengalami masa yang sama.Raihan tersenyum melihat perkembangan Rania. Gadis itu sudah belajar banyak hal soal mengurus rumah. Setiap pagi, Raihan akan mendapati Rania sudah bergelut dengan sapu, meny
“Kita jalan, yuk!” ajak Raihan, “kebetulan ini malam minggu.”Rania tiba-tiba berhenti. Ia berpikir sambil berjalan. Saking fokus, Rania malah sempat salah masuk kamar. “Eh, kok.”Raihan cekikikan. “Mau?”“Nggak!” balas Rania sambil membanting pintu kamar dengan keras.Meski Rania bilang tidak, Raihan nyatanya tetap mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia segera membersihkan diri, kemudian membalut tubuh tingginya dengan celana jin serta kaus hitam yang dipadupadankan dengan jaket. Setelah siap, ia mengetuk pintu kamar Rania.Pintu akhirnya terbuka. Rania muncul masih dengan wajah jutek. Meski begitu, tampilannya sudah berubah. Ada polesan make up di wajahnya.Raihan tersenyum saat melihat penampilan Rania dari atas hingga bawah. “Katanya gak mau, kok dandan, sih?”Rania memelotot, kemudian berbalik untuk kembali ke kamar. Namun, Raihan dengan cepat menarik
Pukul sembilan malam, Romi baru bisa kembali ke rumah. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya. Serangkaian pekerjaan membuat sekujur tubuh menjerit untuk segera diistirahatkan.Romi segera berbaring di atas kasur. Pemuda itu seperti menemukan surga nyaman untuk dirinya terlelap. Ia mengecek ponsel beberapa saat dan menggeleng saat membaca pesan dari Raihan.“Gue mau nembak Rania. Doain, ya,” ujar Romi yang membacakan pesan dari Raihan. “Dasar aneh lu, Han! Ngapain lu nembak Rania? Dia ‘kan istri lu sekarang.”Romi kembali membaca pesan dari Raihan. “Pacaran setelah menikah itu asyik,” ucapnya menirukan tulisan di layar.“Gak ada akhlak lu, Han!” Romi menggeleng beberapa kali. Matanya yang mengantuk tiba-tiba saja terjaga.“Jomblo mana paham,” gumam Romi yang kembali membaca pesan dari Raihan. Romi menyimpan kembali ponsel ke atas nakas. Ia dongkol karena tingkah Raiha