Pukul sembilan malam, Romi baru bisa kembali ke rumah. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya. Serangkaian pekerjaan membuat sekujur tubuh menjerit untuk segera diistirahatkan.
Romi segera berbaring di atas kasur. Pemuda itu seperti menemukan surga nyaman untuk dirinya terlelap. Ia mengecek ponsel beberapa saat dan menggeleng saat membaca pesan dari Raihan.
“Gue mau nembak Rania. Doain, ya,” ujar Romi yang membacakan pesan dari Raihan. “Dasar aneh lu, Han! Ngapain lu nembak Rania? Dia ‘kan istri lu sekarang.”
Romi kembali membaca pesan dari Raihan. “Pacaran setelah menikah itu asyik,” ucapnya menirukan tulisan di layar.
“Gak ada akhlak lu, Han!” Romi menggeleng beberapa kali. Matanya yang mengantuk tiba-tiba saja terjaga.
“Jomblo mana paham,” gumam Romi yang kembali membaca pesan dari Raihan.
Romi menyimpan kembali ponsel ke atas nakas. Ia dongkol karena tingkah Raiha
Pagi ini, Rania mengunjungi Ratnawan di kantor polisi. Gadis itu datang sendiri dengan berbekal satu rantang berisi makanan yang dibuatnya. Raihan sempat menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Rania justru menolak. Takut merepotkan alasannya, padahal ia hanya malu bertemu dengan pria itu.Rania segera menyalami Ratnawan saat polisi masih menggiring sang papa ke meja pertemuan. Gadis itu membantu menggeser kursi untuk memudahkan papanya duduk. Setelahnya, ia kembali ke kursi dan membuka kotak makan yang sengaja ia bawa dari rumah.“Gi-gimana kabar Papa?” tanya Rania. Jujur saja, ia merasa sedikit aneh karena harus bertanya kabar dengan Ratnawan. Dahulu, ia tak pernah sekalipun bertanya hal remeh seperti ini, yang ada saat bertemu justru Rania memukul-mukul perut papanya.“Kamu banyak berubah, Rania,” ucap Ratnawan dengan seuntai senyum.Rania menghentikan aktivitas membuka makanan untuk sesaat, kemudian menyunggingkan senyum. &ldqu
Rumi yang baru tiba di rumah tiba-tiba disambut oleh orang tuanya di ruang keluarga. Ia terpaksa duduk meski raganya ingin sekali beristirahat. Tak banyak hal yang ia lakukan seharian ini. Hanya saja, melihat Raihan yang seolah menganggapnya tak ada, ia benar-benar merasa tertekan.“Besok, kita akan mengunjungi rumah Nak Raihan, Rum,” ujar sang ayah, Rizal.“Kamu siap-siap ya, Rum,” sahut Rahma.Rumi seketika menunduk dalam, menutupi pipi yang bersemu. Jemarinya saling mengait di atas rok. Meski sudah dibendung, senyum akhirnya terbit dari bibir. Akan tetapi, ketika mengingat Rania, hatinya kembali terkoyak.“Bapak akan utarakan niat baik kita menikahkan kalian pada bapak Nak Raihan besok,” lanjut Rizal.“Apa ... tak terlalu cepat, Pak?” Rumi bertanya. Perasaannya begitu campur aduk saat ini. Senang, malu, takut menjadi satu. “Kita baru saja lulus SMA.”“Niat baik harus disege
Langit malam sudah bersolek dengan taburan bintang dan keindahan bulan. Romi pulang dengan cucuran keringat. Lelaki itu lantas membersihkan diri, kemudian melaksanakan salat magrib. Selesai beribadah, ia duduk di bibir kasur, lalu meraih sebuah foto yang ada di atas nakas.Romi memandangi potret dirinya dan Raihan yang tengah saling merangkul. Keduanya masih berbalut seragam SMA dengan ekspresi tersenyum ke arah kamera. Bibirnya mengulas senyum, kemudian menyimpan kembali benda itu ke asalnya.Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Romi hanya menanggapi dengkusan. Tubuhnya melorot ke kasur dan dengan cepat menarik selimut. Walau begitu, suara gedoran pintu berhasil membuat raganya kembali bangkit. Dengan berat hati, ia melangkah menuju arah depan.“Awas aja kalau itu lu, Rosa,” ujar Romi geram, “gue bakal usir lu.”Romi segera membuka pintu. Begitu celah terbuka lebar, secara tiba-tiba ia disambut dengan tendangan seseorang. Syukurlah,
Rumi masih berlenggak-lenggok di depan cermin. Tak salah ‘kan kalau ia ingin tampil cantik di malam ini? Lagi pula tak sering ia memakai gamis bagus dengan tambahan riasan wajah. Meski hanya acara keluarga, tetapi Rumi tak ingin tampil biasa. Sesuai dengan kesepakatan, malam ini keluarganya akan berkunjung ke kediaman Raihan.Berbicara mengenai persiapan, Rumi sudah pusing sejak kemarin. Dari mulai memilih baju, kerudung yang cocok, aksesoris, hingga buah tangan untuk dibawa. Lihat saja isi kamarnya sekarang. Isi lemari tumpah di atas kasur.Rumi tersenyum ketika melihat pantulan raganya di cermin. Ia segera mengambil tas begitu bapaknya memanggil. Begitu keluar dari kamar, decakan kagum dari kedua orang tuanya terdengar nyaring. Wajahnya serasa panas, terlebih ketika nama Raihan ikut disebut.Sepuluh menit kemudian, mobil sampai di kediaman Raihan. Rumi susah payah mengatur napas sebelum keluar dari mobil. Gadis itu beberapa kali mengecek penampilan
Raihan memandangi satu persatu penghuni ruang tamu sebelum bicara. Ia menatap sang bapak dengan tatapan penuh keyakinan. “Maaf, saya tidak bisa menerima perjodohan ini.”“Kenapa?” Rizal mengubah posisi duduknya agak maju. “Apa ada sesuatu yang—”“Gadis di samping saya, Rania, adalah istri saya,” beber Raihan dengan penuh keyakinan.Rizal langsung terdiam bagai sekujur tubuhnya disiram es. Beberapa kali pria paruh baya itu memandangi Raihan dan Rania bergantian, menatap penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Rumi bersandar di bahu ibunya, menyembunyikan tangisan yang mulai berlinang. Selama beberapa detik lamanya, embusan napas berlomba dengan teriakan jarum jam.Suara tawa bapak Rumi akhirnya membunuh hening. Optimisme memaksanya agar memaknai kejujuran Raihan sebagai candaan. “Nak Raihan pasti becanda,” ujarnya masih diselingi tawa.Raihan segera mengalihkan pandangan, sedang Rojak
Rumi menatap kosong pantulan dirinya di cermin. Mata sembapnya menjadi bukti bila semalaman ia bercumbu dengan air mata. Sepulang dari rumah Raihan, gadis itu langsung mengurung diri di kamar. Ia ingin menenangkan diri, tak ingin diganggu siapa pun. Meski begitu, ia dengan jelas mendengar emosi dari sang bapak yang meluap-luap di luar kamar.Rumi disambut tatapan iba dari orang tuanya ketika sarapan. Gadis itu benar-benar kehilangan hasrat untuk mengisi tenaga, yang ia lakukan justru memandang buliran nasi dan lauk di piring, tak beselera. Gadis itu hanya meneguk air sebagai ucapan terima kasih atas hidangan yang tersaji. Setelahnya, ia menggeser kursi, kemudian berjalan menuju kamar.“Siapa sebenarnya si Rania itu, Rum?” tanya sang bapak, Rizal. Pandangan pria paruh baya itu menatap layar TV yang mati. Ada kemarahan yang masih terdengar dari suaranya. “Kenapa kamu bilang kalau dia itu sepupu Raihan?”Rumi menarik napas dalam,
“Kamu siapa?” tanya Rania dengan tatapan menyelidik. “Ada perlu apa?”“Lu yang siapa?” Rosa memelotot sembari mengibas rambut beberapa kali. Gadis itu mengamati Rania dari atas hingga bawah. “Lu ngapain di sini, hah?”“Aku yang harusnya nanya sama kamu,” sahut Rania, “tolong yang sopan kalau bertemu ke rumah orang, apalagi ini masih pagi.”“Gak usah ngatur-ngatur hidup gue,” balas Rosa dengan tatapan merendahkan. Untuk kedua kalinya ia menatap Rania dari kepala hingga kaki. “Mana Raihan?”“Silakan pergi, saya sibuk.” Rania berusaha menutup pintu, tetapi Rosa dengan cepat menahan celah pintu dengan kaki. “Kamu bisa minta sumbangan ke tempat lain.”“Kurang ajar lu!” Rosa menggebrak pintu hingga Rania berhasil terdorong ke belakang. “Jaga omongan lu! Gue bukan pengemis!”Rosa berkacak pinggang. “L
Awan hitam tampak berkerumunan di langit sore. Angin merangkak di sela dedaunan, menjatuhkan ranting, menerbangkan debu-debu jalanan. Suara guntur sesekali terdengar. Rania tengah mengintip pekarangan di balik pintu depan dengan raut cemas. Dilihat dari tanda-tandanya, hujan besar akan turun. Benar saja, tak lama kemudian tetes air mengguyur deras.Rania menutup pintu dengan perlahan, kemudian mengintip keadaan luar di sela-sela tirai yang dibuka. Gadis itu duduk dengan perasaan tak tenang, pasalnya Raihan dan mertuanya belum pulang meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.Suasana dingin membuat Rania jatuh dalam kantuk. Gadis itu tertidur dan terbangun beberapa menit kemudian. Ia mengucek mata perlahan, kemudian mengelap embun yang terperangkap di kaca jendela. Dari jauh, ia melihat seorang lelaki berpakaian hitam putih berlari menerjang hujan. Tasnya digunakan sebagai pengganti payung.“Raihan,” gumam Rania dengan senyum lebar. Pipinya