Rumi menatap kosong pantulan dirinya di cermin. Mata sembapnya menjadi bukti bila semalaman ia bercumbu dengan air mata. Sepulang dari rumah Raihan, gadis itu langsung mengurung diri di kamar. Ia ingin menenangkan diri, tak ingin diganggu siapa pun. Meski begitu, ia dengan jelas mendengar emosi dari sang bapak yang meluap-luap di luar kamar.
Rumi disambut tatapan iba dari orang tuanya ketika sarapan. Gadis itu benar-benar kehilangan hasrat untuk mengisi tenaga, yang ia lakukan justru memandang buliran nasi dan lauk di piring, tak beselera. Gadis itu hanya meneguk air sebagai ucapan terima kasih atas hidangan yang tersaji. Setelahnya, ia menggeser kursi, kemudian berjalan menuju kamar.
“Siapa sebenarnya si Rania itu, Rum?” tanya sang bapak, Rizal. Pandangan pria paruh baya itu menatap layar TV yang mati. Ada kemarahan yang masih terdengar dari suaranya. “Kenapa kamu bilang kalau dia itu sepupu Raihan?”
Rumi menarik napas dalam,
“Kamu siapa?” tanya Rania dengan tatapan menyelidik. “Ada perlu apa?”“Lu yang siapa?” Rosa memelotot sembari mengibas rambut beberapa kali. Gadis itu mengamati Rania dari atas hingga bawah. “Lu ngapain di sini, hah?”“Aku yang harusnya nanya sama kamu,” sahut Rania, “tolong yang sopan kalau bertemu ke rumah orang, apalagi ini masih pagi.”“Gak usah ngatur-ngatur hidup gue,” balas Rosa dengan tatapan merendahkan. Untuk kedua kalinya ia menatap Rania dari kepala hingga kaki. “Mana Raihan?”“Silakan pergi, saya sibuk.” Rania berusaha menutup pintu, tetapi Rosa dengan cepat menahan celah pintu dengan kaki. “Kamu bisa minta sumbangan ke tempat lain.”“Kurang ajar lu!” Rosa menggebrak pintu hingga Rania berhasil terdorong ke belakang. “Jaga omongan lu! Gue bukan pengemis!”Rosa berkacak pinggang. “L
Awan hitam tampak berkerumunan di langit sore. Angin merangkak di sela dedaunan, menjatuhkan ranting, menerbangkan debu-debu jalanan. Suara guntur sesekali terdengar. Rania tengah mengintip pekarangan di balik pintu depan dengan raut cemas. Dilihat dari tanda-tandanya, hujan besar akan turun. Benar saja, tak lama kemudian tetes air mengguyur deras.Rania menutup pintu dengan perlahan, kemudian mengintip keadaan luar di sela-sela tirai yang dibuka. Gadis itu duduk dengan perasaan tak tenang, pasalnya Raihan dan mertuanya belum pulang meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.Suasana dingin membuat Rania jatuh dalam kantuk. Gadis itu tertidur dan terbangun beberapa menit kemudian. Ia mengucek mata perlahan, kemudian mengelap embun yang terperangkap di kaca jendela. Dari jauh, ia melihat seorang lelaki berpakaian hitam putih berlari menerjang hujan. Tasnya digunakan sebagai pengganti payung.“Raihan,” gumam Rania dengan senyum lebar. Pipinya
Kertas yang Raihan dapat kemarin membawanya ke sebuah bangunan yang letaknya berada di ujung perkampungan. Lokasinya agak jauh dari kediaman, harus menaiki angkutan umum, kemudian berjalan beberapa menit. Dari luar, tak tampak hiruk pikuk kegiatan karyawan. Hanya ada beberapa mobil pengantar barang yang sedang terparkir di halaman.Setelah bertanya pada satpam, Raihan diajak untuk bertemu seseorang di dalam bangunan. Selama perjalanan menuju ruangan, terlihat beberapa orang sibuk mengatur dan mengepak barang. Setelah mendapat penjelasan dari orang yang ditemuinya, Raihan tahu jika ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang distributor.Syukur dipanjatkan, Raihan diterima sebagai pegawai tanpa melalui serangkaian tes yang memusingkan. Rupanya orang yang kemarin menabraknya adalah pemilik perusahaan.“Jangan pernah sekali-kali membuka kemasan produk!” ingat pria botak yang bertugas sebagai pengawas, “tugas kamu hanya memindahkan barang-barang
Makan malam kembali harus dilalui berdua. Rojak masih sibuk dengan urusan ladang, katanya karena dekat dengan jadwal panen. Untuk beberapa saat, Raihan dan Rania larut dalam aktivitas mengisi perut tanpa ada obrolan. Barulah saat piring-piring beralih ke tempat cuci, percakapan mulai mengudara.“Kamu ... gak bantu Bapak di ladang?” tanya Rania yang kembali ke meja makan dengan sepiring potongan buah.Raihan mengembus napas panjang. Ia mengambil sepotong buah sebelum menjawab, “Bapak yang gak mau dibantu. Saat aku ke sana, Bapak malah langsung ngusir aku.”Rania mengerucutkan bibir seraya menyandarkan punggung ke kursi. Sejujurnya, gadis itu tak tahu harus berbuat apa untuk mendamaikan bapak dan anak ini, pasalnya ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini.“Oh, iya, ini.” Raihan menyerahkan selembar uang. “Disimpen, ya.”Rania dengan malu-malu menerima pemberian tersebut.“Kita ke pam
“Memang kenapa Raihan harus keluar?” Raihan berusaha mengontrol nada suara.“Tempat itu gak cocok sama kamu.”“Gak cocok sama Raihan ... atau gak cocok sama keinginan Bapak?” Raihan memberanikan diri bertanya. “Raihan sama sekali gak keberatan kerja di sana, Pak. Lagian penghasilannya—”“Jangan membantah!” Rojak menoleh dengan tatapan dingin. “Ikuti perintah Bapak.”“Maaf, Pak. Tapi Raihan gak bisa ngelakuin itu. Lagian Raihan baru dua hari kerja di sana.”“Cukup!” bentak Rojak masih dengan tatapan sama. “Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu bantah perintah Bapak? Bapak sama sekali gak membesarkan kamu sebagai seorang pembangkang.”Raihan meraup oksigen sebanyak yang ia bisa, lantas mengembuskan dengan perlahan. Ia menjeda beberapa saat sebelum akhirnya kembali bicara, “Raihan sudah dewasa, Pak. Raihan berhak memilih apa yang
Suasana masih terasa dingin di meja makan. Hal ini berbanding berbalik dengan matahari yang mulai menyengat bumi. Tak ada obrolan yang terjadi saat sarapan. Baik Raihan maupun Rojak tampak sibuk mengunyah makanan. Rania sendiri hanya bisa melirik ke arah pemuda itu dan mertuanya bergantian. Jujur saja, ia tak bisa berlama-lama dengan situasi seperti ini.Di sisi lain, Raihan dengan cepat menghabiskan sarapan. Pemuda itu meneguk minuman hingga tandas. Ia dengan cekatan menyampir tas ke bahu, kemudian menggeser kursi untuk bangkit.“Jadi kamu mau tetap pergi?” tanya Rojak yang langsung memecah hening. Ia sengaja menyimpan gelas dengan satu kali entakan kuat.Rania buru-buru menyelesaikan sarapan. Ia segera mengumpulkan piring kotor, kemudian membawanya ke tempat cuci piring. Gadis itu memang membuka kran air, tetapi tubuhnya malah mengintip di balik tirai.Raihan mengangguk. “Assalamualaikum,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk
“Ini bayarannya.” Raihan menyodorkan selembar uang.Rania menerima dengan wajah ketus, lantas duduk di samping Raihan. Cahaya kunang-kunang di pematang sawah menarik perhatiannya sesaat. Setelahnya, ia tenggelam dalam lamunan. Rania rasa ini saat yang tepat untuk bicara mengenai pekerjaannya. “Hari ini aku mulai kerja,” ungkapnya.“Kerja?” Raihan seketika menoleh. Ada keterkejutan dari nada bicaranya.Baik tatapan Raihan maupun Rania saling tertuju ke manik mata masing-masing. Ada keheningan yang menyelimuti dengan cepat.“Kenapa?” tanya Raihan.“Aku ... gak ingin jadi beban buat keluarga ini,” jawab Rania, “aku hanya sadar diri.”Raihan mengembus napas panjang. “Gak ada yang anggap kamu beban. Lagian aku sama Bapak udah janji buat jaga kamu.”“Aku ... cuma ingin bantu. Apa itu salah?”Raihan menggeleng, kemudian menegakkan punggung.
Ramon berkali-kali membaca lembaran kertas yang ada di tangan. Ia tak ingin melewatkan satu informasi pun yang tertera di sana. Pria itu sampai hafal dengan susunan kalimat dari hasil tes DNA tersebut. Helaan napas terdengar lega. Ada pahatan senyum terukir. Tak salah kalau seorang pria sepertinya menangis, kan? Ini momen bahagia dalam hidupnya. Ia sudah menemukan harta berharganya yang telah dicuri orang.Ramon segera memakai baju, kemudian menyimpan hasil tes ke dalam saku. Lelaki itu bergegas menyusuri koridor, menuruni tangga, lantas memacu mobil di jalanan. Ramon menepikan kendaraan di depan kediaman Romi. Dari jaraknya sekarang, bangunan itu tampak sepi, tak ada aktivitas orang yang terlihat.Ramon mengamati lingkungan sekitar. Bila dilihat sakasama, rumah ini agak terpencil dengan bangunan warga lain. Lokasinya berada di sudut desa, bersisian dengan persawahan dan perkebunan. Ramon segera turun dari mobil begitu Romi muncul di balik pepohonan.&ldqu