“Kamu siapa?” tanya Rania dengan tatapan menyelidik. “Ada perlu apa?”
“Lu yang siapa?” Rosa memelotot sembari mengibas rambut beberapa kali. Gadis itu mengamati Rania dari atas hingga bawah. “Lu ngapain di sini, hah?”
“Aku yang harusnya nanya sama kamu,” sahut Rania, “tolong yang sopan kalau bertemu ke rumah orang, apalagi ini masih pagi.”
“Gak usah ngatur-ngatur hidup gue,” balas Rosa dengan tatapan merendahkan. Untuk kedua kalinya ia menatap Rania dari kepala hingga kaki. “Mana Raihan?”
“Silakan pergi, saya sibuk.” Rania berusaha menutup pintu, tetapi Rosa dengan cepat menahan celah pintu dengan kaki. “Kamu bisa minta sumbangan ke tempat lain.”
“Kurang ajar lu!” Rosa menggebrak pintu hingga Rania berhasil terdorong ke belakang. “Jaga omongan lu! Gue bukan pengemis!”
Rosa berkacak pinggang. “L
Awan hitam tampak berkerumunan di langit sore. Angin merangkak di sela dedaunan, menjatuhkan ranting, menerbangkan debu-debu jalanan. Suara guntur sesekali terdengar. Rania tengah mengintip pekarangan di balik pintu depan dengan raut cemas. Dilihat dari tanda-tandanya, hujan besar akan turun. Benar saja, tak lama kemudian tetes air mengguyur deras.Rania menutup pintu dengan perlahan, kemudian mengintip keadaan luar di sela-sela tirai yang dibuka. Gadis itu duduk dengan perasaan tak tenang, pasalnya Raihan dan mertuanya belum pulang meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.Suasana dingin membuat Rania jatuh dalam kantuk. Gadis itu tertidur dan terbangun beberapa menit kemudian. Ia mengucek mata perlahan, kemudian mengelap embun yang terperangkap di kaca jendela. Dari jauh, ia melihat seorang lelaki berpakaian hitam putih berlari menerjang hujan. Tasnya digunakan sebagai pengganti payung.“Raihan,” gumam Rania dengan senyum lebar. Pipinya
Kertas yang Raihan dapat kemarin membawanya ke sebuah bangunan yang letaknya berada di ujung perkampungan. Lokasinya agak jauh dari kediaman, harus menaiki angkutan umum, kemudian berjalan beberapa menit. Dari luar, tak tampak hiruk pikuk kegiatan karyawan. Hanya ada beberapa mobil pengantar barang yang sedang terparkir di halaman.Setelah bertanya pada satpam, Raihan diajak untuk bertemu seseorang di dalam bangunan. Selama perjalanan menuju ruangan, terlihat beberapa orang sibuk mengatur dan mengepak barang. Setelah mendapat penjelasan dari orang yang ditemuinya, Raihan tahu jika ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang distributor.Syukur dipanjatkan, Raihan diterima sebagai pegawai tanpa melalui serangkaian tes yang memusingkan. Rupanya orang yang kemarin menabraknya adalah pemilik perusahaan.“Jangan pernah sekali-kali membuka kemasan produk!” ingat pria botak yang bertugas sebagai pengawas, “tugas kamu hanya memindahkan barang-barang
Makan malam kembali harus dilalui berdua. Rojak masih sibuk dengan urusan ladang, katanya karena dekat dengan jadwal panen. Untuk beberapa saat, Raihan dan Rania larut dalam aktivitas mengisi perut tanpa ada obrolan. Barulah saat piring-piring beralih ke tempat cuci, percakapan mulai mengudara.“Kamu ... gak bantu Bapak di ladang?” tanya Rania yang kembali ke meja makan dengan sepiring potongan buah.Raihan mengembus napas panjang. Ia mengambil sepotong buah sebelum menjawab, “Bapak yang gak mau dibantu. Saat aku ke sana, Bapak malah langsung ngusir aku.”Rania mengerucutkan bibir seraya menyandarkan punggung ke kursi. Sejujurnya, gadis itu tak tahu harus berbuat apa untuk mendamaikan bapak dan anak ini, pasalnya ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini.“Oh, iya, ini.” Raihan menyerahkan selembar uang. “Disimpen, ya.”Rania dengan malu-malu menerima pemberian tersebut.“Kita ke pam
“Memang kenapa Raihan harus keluar?” Raihan berusaha mengontrol nada suara.“Tempat itu gak cocok sama kamu.”“Gak cocok sama Raihan ... atau gak cocok sama keinginan Bapak?” Raihan memberanikan diri bertanya. “Raihan sama sekali gak keberatan kerja di sana, Pak. Lagian penghasilannya—”“Jangan membantah!” Rojak menoleh dengan tatapan dingin. “Ikuti perintah Bapak.”“Maaf, Pak. Tapi Raihan gak bisa ngelakuin itu. Lagian Raihan baru dua hari kerja di sana.”“Cukup!” bentak Rojak masih dengan tatapan sama. “Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu bantah perintah Bapak? Bapak sama sekali gak membesarkan kamu sebagai seorang pembangkang.”Raihan meraup oksigen sebanyak yang ia bisa, lantas mengembuskan dengan perlahan. Ia menjeda beberapa saat sebelum akhirnya kembali bicara, “Raihan sudah dewasa, Pak. Raihan berhak memilih apa yang
Suasana masih terasa dingin di meja makan. Hal ini berbanding berbalik dengan matahari yang mulai menyengat bumi. Tak ada obrolan yang terjadi saat sarapan. Baik Raihan maupun Rojak tampak sibuk mengunyah makanan. Rania sendiri hanya bisa melirik ke arah pemuda itu dan mertuanya bergantian. Jujur saja, ia tak bisa berlama-lama dengan situasi seperti ini.Di sisi lain, Raihan dengan cepat menghabiskan sarapan. Pemuda itu meneguk minuman hingga tandas. Ia dengan cekatan menyampir tas ke bahu, kemudian menggeser kursi untuk bangkit.“Jadi kamu mau tetap pergi?” tanya Rojak yang langsung memecah hening. Ia sengaja menyimpan gelas dengan satu kali entakan kuat.Rania buru-buru menyelesaikan sarapan. Ia segera mengumpulkan piring kotor, kemudian membawanya ke tempat cuci piring. Gadis itu memang membuka kran air, tetapi tubuhnya malah mengintip di balik tirai.Raihan mengangguk. “Assalamualaikum,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk
“Ini bayarannya.” Raihan menyodorkan selembar uang.Rania menerima dengan wajah ketus, lantas duduk di samping Raihan. Cahaya kunang-kunang di pematang sawah menarik perhatiannya sesaat. Setelahnya, ia tenggelam dalam lamunan. Rania rasa ini saat yang tepat untuk bicara mengenai pekerjaannya. “Hari ini aku mulai kerja,” ungkapnya.“Kerja?” Raihan seketika menoleh. Ada keterkejutan dari nada bicaranya.Baik tatapan Raihan maupun Rania saling tertuju ke manik mata masing-masing. Ada keheningan yang menyelimuti dengan cepat.“Kenapa?” tanya Raihan.“Aku ... gak ingin jadi beban buat keluarga ini,” jawab Rania, “aku hanya sadar diri.”Raihan mengembus napas panjang. “Gak ada yang anggap kamu beban. Lagian aku sama Bapak udah janji buat jaga kamu.”“Aku ... cuma ingin bantu. Apa itu salah?”Raihan menggeleng, kemudian menegakkan punggung.
Ramon berkali-kali membaca lembaran kertas yang ada di tangan. Ia tak ingin melewatkan satu informasi pun yang tertera di sana. Pria itu sampai hafal dengan susunan kalimat dari hasil tes DNA tersebut. Helaan napas terdengar lega. Ada pahatan senyum terukir. Tak salah kalau seorang pria sepertinya menangis, kan? Ini momen bahagia dalam hidupnya. Ia sudah menemukan harta berharganya yang telah dicuri orang.Ramon segera memakai baju, kemudian menyimpan hasil tes ke dalam saku. Lelaki itu bergegas menyusuri koridor, menuruni tangga, lantas memacu mobil di jalanan. Ramon menepikan kendaraan di depan kediaman Romi. Dari jaraknya sekarang, bangunan itu tampak sepi, tak ada aktivitas orang yang terlihat.Ramon mengamati lingkungan sekitar. Bila dilihat sakasama, rumah ini agak terpencil dengan bangunan warga lain. Lokasinya berada di sudut desa, bersisian dengan persawahan dan perkebunan. Ramon segera turun dari mobil begitu Romi muncul di balik pepohonan.&ldqu
Rania buru-buru mematikan komputer ketika waktu sudah menujukkan pukul empat sore. Ia segera merapikan meja, kemudian menyampirkan tas untuk bersiap pulang. Saking tak sabarnya, ia malah tak sengaja menjatuhkan beberapa map yang ada di atas meja. “Ada-ada aja, sih” gumamnya.Mau tak mau Rania berjongkok untuk memunguti lembaran kertas yang tercecer. Saat hendak mengembalikan map ke tempat semula, perhatiannya seketika tertuju pada beberapa kertas yang masih berada di bawah meja. Tanpa curiga sedikit pun, Rania kembali mengulurkan tangan. Akan tetapi, ketika akan memasukkan benda-benda itu ke map, ia justru dikejutkan oleh sesuatu.“Ini ....” Rania segera mengawasi sekeliling meski ruangan kerjanya sudah sepi dari pegawai lain. Gadis itu dengan cepat memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas. Setelahnya, ia bergegas pulang dengan langkah terburu-buru.Rania segera mengunci pintu setibanya di kamar. Saat mengintip dari balik tirai, ia
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu