Rania buru-buru mematikan komputer ketika waktu sudah menujukkan pukul empat sore. Ia segera merapikan meja, kemudian menyampirkan tas untuk bersiap pulang. Saking tak sabarnya, ia malah tak sengaja menjatuhkan beberapa map yang ada di atas meja. “Ada-ada aja, sih” gumamnya.
Mau tak mau Rania berjongkok untuk memunguti lembaran kertas yang tercecer. Saat hendak mengembalikan map ke tempat semula, perhatiannya seketika tertuju pada beberapa kertas yang masih berada di bawah meja. Tanpa curiga sedikit pun, Rania kembali mengulurkan tangan. Akan tetapi, ketika akan memasukkan benda-benda itu ke map, ia justru dikejutkan oleh sesuatu.
“Ini ....” Rania segera mengawasi sekeliling meski ruangan kerjanya sudah sepi dari pegawai lain. Gadis itu dengan cepat memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas. Setelahnya, ia bergegas pulang dengan langkah terburu-buru.
Rania segera mengunci pintu setibanya di kamar. Saat mengintip dari balik tirai, ia
Ada apa dengan Rania?Raihan meneguk minumannya hingga tak bersisa. Ia kemudian menyandarkan punggung pada dinding. Helaan napasnya terdengar berat, pertanda bila pikirannya tengah disesaki banyak hal. Pemandangan pesawahan di malam hari seketika mengisi pandangan. Cahaya kuning di seberang sana sangat kentara di banding kegelapan di sekelilingnya.Waktu kadang menggoda Raihan untuk kembali ke masa lalu. Saat di mana tak ada kegelisahan dan kegamangan yang dirasa. Ketakutannya hanya pada omelan ustaz, tugas hafalan dan juga ujian dadakan.Raihan rindu beradu tawa dengan kawan, menghabiskan waktu di masjid, bermain bola atau olahraga lain. Ia masih remaja dan ingin menikmati masanya. Pemuda itu tak seharusnya berada di posisi ini. Andai masa dapat diulang, mungkin ia ingin tetap berada di sana.Raihan menghembus napas kasar, mendongak, lantas mengamati serangga yang mengitari bohlam lampu. Kepalanya serasa in
Raihan segera meletakkan tas-tas itu di kamarnya. Setelahnya, pemuda itu bergegas mengambil wudu di kamar mandi untuk meredakan emosi. Ia sengaja tak melihat Rania saat gadis itu memperhatikannya di dapur. Ketika kembali memasuki kamar, lantas berbaring di kasur dengan bibir yang terus-menerus menggumamkan kalimat istigfar.Di sisi lain, Rania mendelik penuh amarah ketika melihat kehadiran Raihan. Gadis itu berusaha tenang meski pada akhirnya amarahnya terlampiaskan pada potongan sayur yang tidak rata. Hatinya benar-benar terasa terbakar, panas dan menyengat.Raihan dan Rania sama-sama diam ketika berada di meja makan. Keduanya fokus pada sajian. Meja makan sepi oleh candaan, tetapi panas dengan amarah yang berusaha dipendam oleh keduanya. Selepas makan malam, mereka memasuki kamar masing-masing.Waktu terus merangkak. Detak jam serasa menghina keduanya memilih diam. Baik Raihan maupun Rania sama-sama dipecundangi amarah. Setiap kali mengingat kejadian sore tadi
“Kita mulai lagi dari awal, ya?” Raihan mendekat sembari menarik tangan Rania. Sayang, gadis itu menghempasnya dengan kasar. “Kita lupain soal yang tadi,” ujarnya.Rania memilih menjauh, menepis setiap kala tangan Raihan mendekat. Bahunya masih berguncang kuat akibat tangisan.“Mulai sekarang aku janji akan lebih giat lagi kerja untuk bisa bahagiain kamu.” Raihan kembali mendekat, mempersempit jarak. “Dengan syarat kamu keluar dari pekerjaan kamu dan jauhin pria itu.”“Aku gak punya hubungan apa pun sama bos aku!” Rania mundur beberapa langkah. “Harus berapa kali aku bilang? Kenapa kamu gak bisa percaya sih? Aku ... gak ... punya ... hubungan ... apa pun ... sama ... bos ... aku!” ucapnya dengan penuh penekanan di setiap suku kata.Raihan mengembus napas panjang, menyugar rambut dengan jemari, lalu menoleh ke samping. Ia lupa jika gadis di depannya sangat keras kepala. Toh, kalaupun R
Raihan berdiri di depan sebuah bangunan megah. Gerbangnya menjulang tinggi hingga beberapa meter ke atas. Sekeliling gedung dihiasi oleh pepohonan yang berjajar rapi. Saat masuk melalui gerbang, ia disambut dengan taman indah yang dihiasi kebun bunga, juga tarian air mancur yang berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan.Saat memasuki bangunan, Raihan melihat anak kecil yang tengah menggoda seorang bayi yang tengah tidur di kereta bayi. Menaiki tangga kedua, ia kembali kembali anak kecil tadi tengah mendorong kereta bayi. Tawa dan bahagianya masih tetap sama. Sayang, ia tak bisa mengenali wajah anak laki-laki itu dan si bayi. Tubunya kaku bak robot yang tengah dikendalikan seseorang. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan lurus tanpa bisa bicara dan menoleh.Di lantai tiga, Raihan melihat jika anak laki-laki tadi bergelayutan manja di punggung seorang pria. Untuk kedua kalinya, ia tak bisa mengenali wajah keduanya. Saat raganya kembali melaju, keadaan sekitar mendadak s
Rania tengah duduk di meja rias. Pandangannya tampak kosong. Riasan wajah tak sepenuhnya mampu menutup sembap. Kejadian semalam tak hanya membuat raganya letih, tetapi perasaannya ikut perih hingga batas rintih. Tubuhnya panas dan menggigil sejak semalam. Bibirnya terasa kaku, enggan berucap apa pun, terutama pada Raihan.Rania tahu jika Raihan terus-menerus mengetuk pintu setelah ia berlari ke dalam kamar. Gadis itu hanya ingin menenangkan diri, tak ingin masalah kian menyakiti hati. Jujur saja, Rania tak mengerti dengan jalan pikiran Raihan. Laki-laki itu terus menuduh dirinya memiliki hubungan yang tak biasa dengan bosnya, padahal ia sama sekali tak begitu dekat dengan pria itu.Rania mengembus napas panjang ketika teringat kejadian ketika dirinya hendak keluar kamar. Tubuhnya seketika terhuyung ke samping saat melihat Raihan teridur beralas keramik, berbantal tangan yang kedinginan. Meski amarah masih mendekap perasaan, tetapi ia malah berlari ke kamar untuk mengam
“Kang Raihan, saya titip kue ini untuk Om Rojak.” Rumi menyodorkan sekotak makanan ke hadapan Raihan. Bibirnya melukis senyum menawan.Raihan hanya melirik sekilas, kemudian segera mengemasi barang-barang. Ia mengembus napas panjang, kemudian berkata, “Maaf, tapi sepertinya saya tidak bisa menerimanya, Rum.”Senyum Rumi mendadak sirna, berganti raut kecewa meski sesaat. “Kenapa, Kang? Apa Kang Raihan tidak suka kuenya? Saya bisa kok ganti dengan kue yang lain. ”Raihan menggeleng. “Tidak usah, Rum. Takut merepotkan.”Rumi menunduk sesaat, kemudian menyungging senyum tipis. Ada kekecewaan yang perlahan terangkai di wajah.“Boleh saya tanya satu hal, Rum?” Raihan mengembus napas panjang, melirik gadis di depannya sekilas.“Silakan, Kang.”“Kemarin Rania ngasih saya foto-foto yang isinya kedekatan kita berdua yang diambil dari beberapa sudut. Kamu tahu siapa ya
Saat ini, Romi sedang berada di balkon kamar. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kegelapan hutan dan titik cahaya kecil di ujung sana. Waktunya hanya diisi keheningan sampai akhirnya pintu kamar diketuk dari luar.Romi segera memutar tubuh, lantas berkata, “Masuk.”Rendi datang dengan seuntai senyum. “Tuan Rasya, ini dokumen yang Anda minta,” ucapnya seraya memberikan sebuah map pada Romi.Romi menerima dengan agak menarik paksa, memeriksa isi file dengan cepat. Setelahnya, pemuda itu mengembalikan benda itu pada Rendi. Sama seperti Ramon, ia tak peduli dengan ucapan terima kasih. Romi lantas kembali ke posisi semula, memunggungi Ramon.“Saya permisi, Tuan ... Rasya.” Rendi membungkuk singkat, kemudian keluar dari ruangan. Di ambang pintu, ia berpapasan dengan Ramon. Seuntai senyum segera ia suguhkan sebagai pengganti salam. Ramon sama sekali tak menggubris hal tersebut. Ia memilih mendekat pada san
Baik Raihan maupun Rania sontak menahan napas. Tubuh keduanya membeku bak disiram air es di udara dingin. Akan tetapi, jantung mereka justru memacu lebih cepat dibanding beberapa detik yang lalu.“Ratnawan butuh orang yang dipercayanya untuk menjaga Rania, dan Bapak butuh uang untuk keperluan hidup kamu, Raihan,” ungkap Rojak, “kamu bisa lihat ladang yang kita punya sekarang, Han. Itu Bapak beli dengan uang hasil pemberian Ratnawan, bekal untuk masa depan kamu.”“Bapak pasti bohong,” tolak Raihan dengan pandangan tak percaya, “Bapak pasti bohong. Ini gak mungkin, Pak.”Sementara itu, Rania kontan menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya kembali pecah ketika mendengar ucapan tersebut. Hatinya seakan retak laksana gelas kaca yang dijatuhkan dari ketinggian.“Bapak bukan pembohong!” hardik Rojak sembari melayangkan tamparan lagi. “Tapi kamu tenang aja. Pernikahan ini akan segera berakhir.&