“Kang Raihan, saya titip kue ini untuk Om Rojak.” Rumi menyodorkan sekotak makanan ke hadapan Raihan. Bibirnya melukis senyum menawan.
Raihan hanya melirik sekilas, kemudian segera mengemasi barang-barang. Ia mengembus napas panjang, kemudian berkata, “Maaf, tapi sepertinya saya tidak bisa menerimanya, Rum.”
Senyum Rumi mendadak sirna, berganti raut kecewa meski sesaat. “Kenapa, Kang? Apa Kang Raihan tidak suka kuenya? Saya bisa kok ganti dengan kue yang lain. ”
Raihan menggeleng. “Tidak usah, Rum. Takut merepotkan.”
Rumi menunduk sesaat, kemudian menyungging senyum tipis. Ada kekecewaan yang perlahan terangkai di wajah.
“Boleh saya tanya satu hal, Rum?” Raihan mengembus napas panjang, melirik gadis di depannya sekilas.
“Silakan, Kang.”
“Kemarin Rania ngasih saya foto-foto yang isinya kedekatan kita berdua yang diambil dari beberapa sudut. Kamu tahu siapa ya
Saat ini, Romi sedang berada di balkon kamar. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kegelapan hutan dan titik cahaya kecil di ujung sana. Waktunya hanya diisi keheningan sampai akhirnya pintu kamar diketuk dari luar.Romi segera memutar tubuh, lantas berkata, “Masuk.”Rendi datang dengan seuntai senyum. “Tuan Rasya, ini dokumen yang Anda minta,” ucapnya seraya memberikan sebuah map pada Romi.Romi menerima dengan agak menarik paksa, memeriksa isi file dengan cepat. Setelahnya, pemuda itu mengembalikan benda itu pada Rendi. Sama seperti Ramon, ia tak peduli dengan ucapan terima kasih. Romi lantas kembali ke posisi semula, memunggungi Ramon.“Saya permisi, Tuan ... Rasya.” Rendi membungkuk singkat, kemudian keluar dari ruangan. Di ambang pintu, ia berpapasan dengan Ramon. Seuntai senyum segera ia suguhkan sebagai pengganti salam. Ramon sama sekali tak menggubris hal tersebut. Ia memilih mendekat pada san
Baik Raihan maupun Rania sontak menahan napas. Tubuh keduanya membeku bak disiram air es di udara dingin. Akan tetapi, jantung mereka justru memacu lebih cepat dibanding beberapa detik yang lalu.“Ratnawan butuh orang yang dipercayanya untuk menjaga Rania, dan Bapak butuh uang untuk keperluan hidup kamu, Raihan,” ungkap Rojak, “kamu bisa lihat ladang yang kita punya sekarang, Han. Itu Bapak beli dengan uang hasil pemberian Ratnawan, bekal untuk masa depan kamu.”“Bapak pasti bohong,” tolak Raihan dengan pandangan tak percaya, “Bapak pasti bohong. Ini gak mungkin, Pak.”Sementara itu, Rania kontan menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya kembali pecah ketika mendengar ucapan tersebut. Hatinya seakan retak laksana gelas kaca yang dijatuhkan dari ketinggian.“Bapak bukan pembohong!” hardik Rojak sembari melayangkan tamparan lagi. “Tapi kamu tenang aja. Pernikahan ini akan segera berakhir.&
“Pa,” rengek Raihan, “kalau Bapak gak izinin Rania tinggal di sini, Raihan bakal—”“Jangan pernah berani ancam Bapak!” hardik Rojak sembari mendaratkan tamparan ke pipi Raihan.Raihan yang tak siap seketika ambruk ke lantai. Ia setengah berbaring ke samping dengan tangan memegangi pipi.“Raihan,” ucap Rania dengan suara serak. Satu kaki dan tangannya tanpa sadar maju ke arah pemuda itu. Di saat bersamaan, setetes air mata jatuh membasahi pipi.“Cepat pergi, Rania. Pergi!” bentak Rojak sembari menunjuk pintu keluar.Rania menyeka air mata, lalu bergegas keluar dengan terburu-buru. Gadis itu menoleh sesaat, kemudian berlari menuruni undakan tangga, menggilas halaman dengan air mata kesedihan. Sungguh, ia tak menyangka akan keluar dari rumah secepat ini. “Rania!” Raihan berteriak sembari berlari menyusul.Melihat hal itu, Rania kian berlari lebih kencang
Sebuah mobil tampak terparkir di pinggiran tebing. Tak jauh dari kendaraan itu berada, Ramon tengah mengawasi anak buah papanya yang sedang bekerja di tebing yang berada di depan. Berada di tempat ini, mau tak mau membawa pria itu pada sebuah kenangan kisah delapan belas tahun lalu, perihal adiknya yang diculik seseorang.Rahmadi, satu-satunya petunjuk yang diberikan Ratnawan padanya. Entah kebetulan atau takdir berbaik hati padanya, Ramon menemukan adiknya dalam perawatan pria bernama Rahmadi itu. Sang adik tumbuh menjadi sosok lelaki yang dapat diandalkan, meski kemampuannya masih harus ditingkatkan. Di sisi lain, si penculik hingga saat ini laksana ditelan misteri, bak tenggelam dalam legenda. Pencarian yang dilakukan meski dengan bantuan Rendi sekalipun sukar untuk ditemukan.“Bang,” panggil Romi yang baru saja keluar dari mobil yang beberapa detik lalu menepi.Pemilik rahang tegas itu menoleh, mendapati sang adik berjalan ke arahnya. &ldqu
“Kamu pasti salah denger, Raihan.” Rosa berusaha memahat senyum di tengah keterkejutan. “Tadi itu—”“Jangan pernah deketin gue lagi!” sela Raihan dengan suara setengah membentak. Emosinya benar-benar tersulut. Dadanya bahkan terasa sesak karena berusaha meredam amarah. Kedua gadis itu benar-benar keterlaluan.Di sisi lain, kalimat dingin Raihan seketika mampu memanaskan pipi Rumi. Gadis itu mati-matian berusaha untuk tak berkedip, takut bila air mata menetes. Tubuhnya gemetar hebat, laksana diguncang gempa. Raihan memang tak menyakitinya secara langsung, tetapi mendapati pandangan Raihan yang seolah jijik padanya, itu terasa lebih dari sekedar ditampar berkali-kali.“Apa yang sebenarnya ada di otak kalian?” Raihan berusaha mengontrol emosi. Kedua tangannya mengeras bak batu karang yang siap menghancurkan kapal. “Kamu cuma salah denger, Raihan.” Rosa berkelit. “Bukan
Raihan melajukan kendaraan dengan cepat, meliuk-liuk bak ular yang tengah mengejar mangsa. Mobil dan motor di depanya ia salip dengan gerakan zig-zag. Kedua tangannya mengepal erat stang motor. Sungguh, ia benar-benar tak menduga jika Rumi dan Rosa berada di balik semua masalah yang terjadi padanya dan Rania.Raihan berdecak kesal, berusaha menggumamkan lantunan istigfar dalam hati. Rasanya ingin sekali memaki Rumi dan Rosa hingga mulutnya berbusa. Akan tetapi, pemuda itu sadar jika tindakan itu sama sekali tak berguna. Sepanjang jalan, ia hanya bisa menahan kesal, mengeratkan pukulan. Ia sadar jika ia terlalu bodoh karena tak berusaha mencari akar masalah, lebih dahulu menghambakan hati dan pikir pada emosi. Entah harus puas atau kecewa, si pemerkosa malah mati lebih dahulu.“Astagfirullah.” Raihan menggumam. Pemuda itu tak berani membayangkan bagaimana kondisi Rania saat tindakan tak senonoh itu terjadi padanya. Sebagai seorang suami, sebagai seorang lela
Romi atau seluruh orang di rumah ini memanggilnya dengan sebutan Rasya Sebastian, tengah bersiap di dalam kamar. Pemuda itu mengambil pistol di dalam laci, lantas mengamati tampilan dirinya di depan cermin. Beralih ke balkon, Romi melihat Ramon yang tengah memberi intruksi kepada para bawahan. Pasukan sudah dipersiapkan sejak kemarin. Hampir kebanyakan dari mereka adalah para preman yang sengaja didatangkan dari luar kota.“Tuan,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamar.Romi dengan cepat kembali ke kamar, lalu berkata, “Masuk.”Rendi membuka pintu, lantas berjalan mendekat. “Tuan Rudi ingin bertemu dengan Tuan.”“Ada masalah apa?” Romi memutar tubuh, membelakangi Rendi.“Saya tidak tahu, Tuan. Tuan Ramon juga diminta untuk ke ruangan yang sama,” jawab Rendi, “mari saya antar.”Romi mengangguk, lalu mulai membuntuti Rendi. Pandangannya sesekali memindai sekeliling
“Masuk ke dalam mobil sekarang!” perintah orang di belakang Raihan.Raihan segera mengangkat kedua tangan, sesekali melirik ke samping untuk melihat keadaan Rahmadi. Namun, ia tidak bisa melihat apa pun. Pemuda itu digiring menuju mobil, didorong hingga terjerembap di bawah kursi. Benar-benar sial! Posisi dan keadaannya saat ini tak menguntungkan.Mobil melaju ke arah sebaliknya. Raihan terngkurap di atas mobil. Matanya ditutup dengan sebuah kain. Punggungnya diinjak oleh seseorang, di mana dinginnya moncong pistol masih terasa di kepala. Seingatnya, ada dua orang pria yang membawanya ke kendaraan. Jika satu orang tengah menginjaknya, maka sisanya pasti bertindak sebagai sopir.“Tuan Ramon minta kita bawa bocah ini,” ujar salah satu pria di mobil.“Siap,” balas yang lain.“Ramon,” gumam Raihan dengan gigi bergemelatuk. Pria itu benar-benar tak habis-habisnya membuat masalah.Raihan hanya punya
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu