Saat ini, Romi sedang berada di balkon kamar. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kegelapan hutan dan titik cahaya kecil di ujung sana. Waktunya hanya diisi keheningan sampai akhirnya pintu kamar diketuk dari luar.
Romi segera memutar tubuh, lantas berkata, “Masuk.”
Rendi datang dengan seuntai senyum. “Tuan Rasya, ini dokumen yang Anda minta,” ucapnya seraya memberikan sebuah map pada Romi.
Romi menerima dengan agak menarik paksa, memeriksa isi file dengan cepat. Setelahnya, pemuda itu mengembalikan benda itu pada Rendi. Sama seperti Ramon, ia tak peduli dengan ucapan terima kasih. Romi lantas kembali ke posisi semula, memunggungi Ramon.
“Saya permisi, Tuan ... Rasya.” Rendi membungkuk singkat, kemudian keluar dari ruangan. Di ambang pintu, ia berpapasan dengan Ramon. Seuntai senyum segera ia suguhkan sebagai pengganti salam.
Ramon sama sekali tak menggubris hal tersebut. Ia memilih mendekat pada san
Baik Raihan maupun Rania sontak menahan napas. Tubuh keduanya membeku bak disiram air es di udara dingin. Akan tetapi, jantung mereka justru memacu lebih cepat dibanding beberapa detik yang lalu.“Ratnawan butuh orang yang dipercayanya untuk menjaga Rania, dan Bapak butuh uang untuk keperluan hidup kamu, Raihan,” ungkap Rojak, “kamu bisa lihat ladang yang kita punya sekarang, Han. Itu Bapak beli dengan uang hasil pemberian Ratnawan, bekal untuk masa depan kamu.”“Bapak pasti bohong,” tolak Raihan dengan pandangan tak percaya, “Bapak pasti bohong. Ini gak mungkin, Pak.”Sementara itu, Rania kontan menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya kembali pecah ketika mendengar ucapan tersebut. Hatinya seakan retak laksana gelas kaca yang dijatuhkan dari ketinggian.“Bapak bukan pembohong!” hardik Rojak sembari melayangkan tamparan lagi. “Tapi kamu tenang aja. Pernikahan ini akan segera berakhir.&
“Pa,” rengek Raihan, “kalau Bapak gak izinin Rania tinggal di sini, Raihan bakal—”“Jangan pernah berani ancam Bapak!” hardik Rojak sembari mendaratkan tamparan ke pipi Raihan.Raihan yang tak siap seketika ambruk ke lantai. Ia setengah berbaring ke samping dengan tangan memegangi pipi.“Raihan,” ucap Rania dengan suara serak. Satu kaki dan tangannya tanpa sadar maju ke arah pemuda itu. Di saat bersamaan, setetes air mata jatuh membasahi pipi.“Cepat pergi, Rania. Pergi!” bentak Rojak sembari menunjuk pintu keluar.Rania menyeka air mata, lalu bergegas keluar dengan terburu-buru. Gadis itu menoleh sesaat, kemudian berlari menuruni undakan tangga, menggilas halaman dengan air mata kesedihan. Sungguh, ia tak menyangka akan keluar dari rumah secepat ini. “Rania!” Raihan berteriak sembari berlari menyusul.Melihat hal itu, Rania kian berlari lebih kencang
Sebuah mobil tampak terparkir di pinggiran tebing. Tak jauh dari kendaraan itu berada, Ramon tengah mengawasi anak buah papanya yang sedang bekerja di tebing yang berada di depan. Berada di tempat ini, mau tak mau membawa pria itu pada sebuah kenangan kisah delapan belas tahun lalu, perihal adiknya yang diculik seseorang.Rahmadi, satu-satunya petunjuk yang diberikan Ratnawan padanya. Entah kebetulan atau takdir berbaik hati padanya, Ramon menemukan adiknya dalam perawatan pria bernama Rahmadi itu. Sang adik tumbuh menjadi sosok lelaki yang dapat diandalkan, meski kemampuannya masih harus ditingkatkan. Di sisi lain, si penculik hingga saat ini laksana ditelan misteri, bak tenggelam dalam legenda. Pencarian yang dilakukan meski dengan bantuan Rendi sekalipun sukar untuk ditemukan.“Bang,” panggil Romi yang baru saja keluar dari mobil yang beberapa detik lalu menepi.Pemilik rahang tegas itu menoleh, mendapati sang adik berjalan ke arahnya. &ldqu
“Kamu pasti salah denger, Raihan.” Rosa berusaha memahat senyum di tengah keterkejutan. “Tadi itu—”“Jangan pernah deketin gue lagi!” sela Raihan dengan suara setengah membentak. Emosinya benar-benar tersulut. Dadanya bahkan terasa sesak karena berusaha meredam amarah. Kedua gadis itu benar-benar keterlaluan.Di sisi lain, kalimat dingin Raihan seketika mampu memanaskan pipi Rumi. Gadis itu mati-matian berusaha untuk tak berkedip, takut bila air mata menetes. Tubuhnya gemetar hebat, laksana diguncang gempa. Raihan memang tak menyakitinya secara langsung, tetapi mendapati pandangan Raihan yang seolah jijik padanya, itu terasa lebih dari sekedar ditampar berkali-kali.“Apa yang sebenarnya ada di otak kalian?” Raihan berusaha mengontrol emosi. Kedua tangannya mengeras bak batu karang yang siap menghancurkan kapal. “Kamu cuma salah denger, Raihan.” Rosa berkelit. “Bukan
Raihan melajukan kendaraan dengan cepat, meliuk-liuk bak ular yang tengah mengejar mangsa. Mobil dan motor di depanya ia salip dengan gerakan zig-zag. Kedua tangannya mengepal erat stang motor. Sungguh, ia benar-benar tak menduga jika Rumi dan Rosa berada di balik semua masalah yang terjadi padanya dan Rania.Raihan berdecak kesal, berusaha menggumamkan lantunan istigfar dalam hati. Rasanya ingin sekali memaki Rumi dan Rosa hingga mulutnya berbusa. Akan tetapi, pemuda itu sadar jika tindakan itu sama sekali tak berguna. Sepanjang jalan, ia hanya bisa menahan kesal, mengeratkan pukulan. Ia sadar jika ia terlalu bodoh karena tak berusaha mencari akar masalah, lebih dahulu menghambakan hati dan pikir pada emosi. Entah harus puas atau kecewa, si pemerkosa malah mati lebih dahulu.“Astagfirullah.” Raihan menggumam. Pemuda itu tak berani membayangkan bagaimana kondisi Rania saat tindakan tak senonoh itu terjadi padanya. Sebagai seorang suami, sebagai seorang lela
Romi atau seluruh orang di rumah ini memanggilnya dengan sebutan Rasya Sebastian, tengah bersiap di dalam kamar. Pemuda itu mengambil pistol di dalam laci, lantas mengamati tampilan dirinya di depan cermin. Beralih ke balkon, Romi melihat Ramon yang tengah memberi intruksi kepada para bawahan. Pasukan sudah dipersiapkan sejak kemarin. Hampir kebanyakan dari mereka adalah para preman yang sengaja didatangkan dari luar kota.“Tuan,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamar.Romi dengan cepat kembali ke kamar, lalu berkata, “Masuk.”Rendi membuka pintu, lantas berjalan mendekat. “Tuan Rudi ingin bertemu dengan Tuan.”“Ada masalah apa?” Romi memutar tubuh, membelakangi Rendi.“Saya tidak tahu, Tuan. Tuan Ramon juga diminta untuk ke ruangan yang sama,” jawab Rendi, “mari saya antar.”Romi mengangguk, lalu mulai membuntuti Rendi. Pandangannya sesekali memindai sekeliling
“Masuk ke dalam mobil sekarang!” perintah orang di belakang Raihan.Raihan segera mengangkat kedua tangan, sesekali melirik ke samping untuk melihat keadaan Rahmadi. Namun, ia tidak bisa melihat apa pun. Pemuda itu digiring menuju mobil, didorong hingga terjerembap di bawah kursi. Benar-benar sial! Posisi dan keadaannya saat ini tak menguntungkan.Mobil melaju ke arah sebaliknya. Raihan terngkurap di atas mobil. Matanya ditutup dengan sebuah kain. Punggungnya diinjak oleh seseorang, di mana dinginnya moncong pistol masih terasa di kepala. Seingatnya, ada dua orang pria yang membawanya ke kendaraan. Jika satu orang tengah menginjaknya, maka sisanya pasti bertindak sebagai sopir.“Tuan Ramon minta kita bawa bocah ini,” ujar salah satu pria di mobil.“Siap,” balas yang lain.“Ramon,” gumam Raihan dengan gigi bergemelatuk. Pria itu benar-benar tak habis-habisnya membuat masalah.Raihan hanya punya
Beberapa menit yang laluRania tiba-tiba berdiri ketika sebuah mobil menepi di depan halaman rumah sakit jiwa. Dua orang pria berseragam hitam turun dari kendaraan, kemudian mendekat ke arahnya.“Nona Rania, silakan ikut kami,” ujar salah satu pria itu.Rania masih tercenung di tempat, menggenggam erat pegangan koper. Ia memang agak familier dengan mobil yang terparkir tak jauh darinya. Hanya saja, ia kesulitan bila diminta mengingat dua pria itu.“Kalian siapa?” tanya Rania.“Kami pengawal yang diperintahkan Tuan Ratnawan untuk mengawal Nona Rania,” terang pria tadi.“Tapi, Papa masih di penjara saat ini. Jadi gimana mungkin Papa—”“Kamu bisa ikut mereka, Rania,” sela Risa yang berjalan bersama kursi roda dari arah pintu keluar. “Perlu kamu tahu kalau Papa sebentar lagi bebas. Saudara Papa yang bantu Papa untuk bebas.”&ldqu