Sebuah mobil tampak terparkir di pinggiran tebing. Tak jauh dari kendaraan itu berada, Ramon tengah mengawasi anak buah papanya yang sedang bekerja di tebing yang berada di depan. Berada di tempat ini, mau tak mau membawa pria itu pada sebuah kenangan kisah delapan belas tahun lalu, perihal adiknya yang diculik seseorang.
Rahmadi, satu-satunya petunjuk yang diberikan Ratnawan padanya. Entah kebetulan atau takdir berbaik hati padanya, Ramon menemukan adiknya dalam perawatan pria bernama Rahmadi itu. Sang adik tumbuh menjadi sosok lelaki yang dapat diandalkan, meski kemampuannya masih harus ditingkatkan. Di sisi lain, si penculik hingga saat ini laksana ditelan misteri, bak tenggelam dalam legenda. Pencarian yang dilakukan meski dengan bantuan Rendi sekalipun sukar untuk ditemukan.
“Bang,” panggil Romi yang baru saja keluar dari mobil yang beberapa detik lalu menepi.
Pemilik rahang tegas itu menoleh, mendapati sang adik berjalan ke arahnya. &ldqu
“Kamu pasti salah denger, Raihan.” Rosa berusaha memahat senyum di tengah keterkejutan. “Tadi itu—”“Jangan pernah deketin gue lagi!” sela Raihan dengan suara setengah membentak. Emosinya benar-benar tersulut. Dadanya bahkan terasa sesak karena berusaha meredam amarah. Kedua gadis itu benar-benar keterlaluan.Di sisi lain, kalimat dingin Raihan seketika mampu memanaskan pipi Rumi. Gadis itu mati-matian berusaha untuk tak berkedip, takut bila air mata menetes. Tubuhnya gemetar hebat, laksana diguncang gempa. Raihan memang tak menyakitinya secara langsung, tetapi mendapati pandangan Raihan yang seolah jijik padanya, itu terasa lebih dari sekedar ditampar berkali-kali.“Apa yang sebenarnya ada di otak kalian?” Raihan berusaha mengontrol emosi. Kedua tangannya mengeras bak batu karang yang siap menghancurkan kapal. “Kamu cuma salah denger, Raihan.” Rosa berkelit. “Bukan
Raihan melajukan kendaraan dengan cepat, meliuk-liuk bak ular yang tengah mengejar mangsa. Mobil dan motor di depanya ia salip dengan gerakan zig-zag. Kedua tangannya mengepal erat stang motor. Sungguh, ia benar-benar tak menduga jika Rumi dan Rosa berada di balik semua masalah yang terjadi padanya dan Rania.Raihan berdecak kesal, berusaha menggumamkan lantunan istigfar dalam hati. Rasanya ingin sekali memaki Rumi dan Rosa hingga mulutnya berbusa. Akan tetapi, pemuda itu sadar jika tindakan itu sama sekali tak berguna. Sepanjang jalan, ia hanya bisa menahan kesal, mengeratkan pukulan. Ia sadar jika ia terlalu bodoh karena tak berusaha mencari akar masalah, lebih dahulu menghambakan hati dan pikir pada emosi. Entah harus puas atau kecewa, si pemerkosa malah mati lebih dahulu.“Astagfirullah.” Raihan menggumam. Pemuda itu tak berani membayangkan bagaimana kondisi Rania saat tindakan tak senonoh itu terjadi padanya. Sebagai seorang suami, sebagai seorang lela
Romi atau seluruh orang di rumah ini memanggilnya dengan sebutan Rasya Sebastian, tengah bersiap di dalam kamar. Pemuda itu mengambil pistol di dalam laci, lantas mengamati tampilan dirinya di depan cermin. Beralih ke balkon, Romi melihat Ramon yang tengah memberi intruksi kepada para bawahan. Pasukan sudah dipersiapkan sejak kemarin. Hampir kebanyakan dari mereka adalah para preman yang sengaja didatangkan dari luar kota.“Tuan,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamar.Romi dengan cepat kembali ke kamar, lalu berkata, “Masuk.”Rendi membuka pintu, lantas berjalan mendekat. “Tuan Rudi ingin bertemu dengan Tuan.”“Ada masalah apa?” Romi memutar tubuh, membelakangi Rendi.“Saya tidak tahu, Tuan. Tuan Ramon juga diminta untuk ke ruangan yang sama,” jawab Rendi, “mari saya antar.”Romi mengangguk, lalu mulai membuntuti Rendi. Pandangannya sesekali memindai sekeliling
“Masuk ke dalam mobil sekarang!” perintah orang di belakang Raihan.Raihan segera mengangkat kedua tangan, sesekali melirik ke samping untuk melihat keadaan Rahmadi. Namun, ia tidak bisa melihat apa pun. Pemuda itu digiring menuju mobil, didorong hingga terjerembap di bawah kursi. Benar-benar sial! Posisi dan keadaannya saat ini tak menguntungkan.Mobil melaju ke arah sebaliknya. Raihan terngkurap di atas mobil. Matanya ditutup dengan sebuah kain. Punggungnya diinjak oleh seseorang, di mana dinginnya moncong pistol masih terasa di kepala. Seingatnya, ada dua orang pria yang membawanya ke kendaraan. Jika satu orang tengah menginjaknya, maka sisanya pasti bertindak sebagai sopir.“Tuan Ramon minta kita bawa bocah ini,” ujar salah satu pria di mobil.“Siap,” balas yang lain.“Ramon,” gumam Raihan dengan gigi bergemelatuk. Pria itu benar-benar tak habis-habisnya membuat masalah.Raihan hanya punya
Beberapa menit yang laluRania tiba-tiba berdiri ketika sebuah mobil menepi di depan halaman rumah sakit jiwa. Dua orang pria berseragam hitam turun dari kendaraan, kemudian mendekat ke arahnya.“Nona Rania, silakan ikut kami,” ujar salah satu pria itu.Rania masih tercenung di tempat, menggenggam erat pegangan koper. Ia memang agak familier dengan mobil yang terparkir tak jauh darinya. Hanya saja, ia kesulitan bila diminta mengingat dua pria itu.“Kalian siapa?” tanya Rania.“Kami pengawal yang diperintahkan Tuan Ratnawan untuk mengawal Nona Rania,” terang pria tadi.“Tapi, Papa masih di penjara saat ini. Jadi gimana mungkin Papa—”“Kamu bisa ikut mereka, Rania,” sela Risa yang berjalan bersama kursi roda dari arah pintu keluar. “Perlu kamu tahu kalau Papa sebentar lagi bebas. Saudara Papa yang bantu Papa untuk bebas.”&ldqu
Setelah melihat kerumunan orang dari atas gedung, Raihan kembali ke bawah dengan cara mengendap-endap. Sialnya, saat ia baru turun, aksinya dipergoki seseorang. Raihan langsung memunggungi pria itu.“Mau ke mana lu?” tanya pria yang memergoki Raihan, “cepat pake ini topeng. Bentar lagi kita berangkat.”Raihan segera mengambil topeng itu, memakainya dengan terburu-buru, lantas mengikuti tiga pria di depannya. Pemuda itu lalu naik ke truk yang sudah disesaki orang-orang. Dari tempatnya saat ini, Raihan berusaha mengintip melalui celah yang terbuka. Nyatanya, banyak kendaraan dan juga orang-orang yang sepertinya akan berangkat ke suatu tempat.Mobil mulai meninggalkan halaman. Lambat laun bangunan megah itu kian mengecil, lantas menghilang begitu kendaraan berbelok ke samping. Raihan sama sekali tak bersuara selama perjalanan. Ia berusaha memusatkan pendengaran untuk mengumpulkan informasi. Kesabarannya membuahkan hasil. Ia dan orang-o
Romi segera berlari ke arah jendela begitu ledakan terdengar. Suaranya saling bersahutan pertanda perang sudah dimulai. Seperti yang diprediksi sebelumnya, pasukan Ratnawan menyerang melalui hutan. Asap hitam mulai mengepul di langit, bergerak ke berbagai arah karena disapu angin. Tak lama setelahnya, alarm keamanan berbunyi. Suara nyaringnya membuat pasukan yang berada di kediaman ini langsung siaga.Sebuah dentuman keras dari arah hutan tiba-tiba terdengar. Getarannya terasa hingga kaca di ruangan ini bergoyang. Kepulan asap hitam kembali membumbung tinggi. Para pasukan yang berjaga di halaman segera bergerak ke arah gerbang. Hanya masalah waktu musuh akan merangsek ke kediaman.“Sialan! Kenapa gue mlah kejebak di sini?” Romi mengusap wajah, menarik rambut ke belakang. Ia menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara langkah kaki.“Kita diminta jaga di luar,” ujar salah seorang pria dari balik pintu.Romi mengambus napas panjang,
Rania mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pening bak dipukul palu godam. Saat akan bangkit dari kasur, ia harus berpegangan pada sisi ranjang dan sudut meja. Matanya lantas menyisir kamar, menyelidik. Dekorasi ruangan ini amat berbeda dengan tempat terakhir kali ia dikunci papanya.Rania bergerak ke arah jendela sembari memijat kepala. Halaman sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang, menenteng senjata. “Ini di mana?” tanyanya dengan raut bingung.Rania kembali duduk di bibir kasur, berkonsentrasi untuk mengembalikan ingatan. Seingatnya, setelah papanya menguncinya di kamar, ia terus berteriak, memukul-mukul pintu. Namun, tak ada tanggapan hingga beberapa menit berlalu. Saat mengintip melalui jendela, puluhan mobil keluar dari pintu gerbang. Jelas saja ia bingung karena ketika dirinya memasuki bangunan ini, ia tidak melihat kerumunan mobil tersebut.Di tengah kebingungannya saat itu, pintu tiba-tiba saja terbuka dari luar. Rania seke