Romi segera berlari ke arah jendela begitu ledakan terdengar. Suaranya saling bersahutan pertanda perang sudah dimulai. Seperti yang diprediksi sebelumnya, pasukan Ratnawan menyerang melalui hutan. Asap hitam mulai mengepul di langit, bergerak ke berbagai arah karena disapu angin. Tak lama setelahnya, alarm keamanan berbunyi. Suara nyaringnya membuat pasukan yang berada di kediaman ini langsung siaga.
Sebuah dentuman keras dari arah hutan tiba-tiba terdengar. Getarannya terasa hingga kaca di ruangan ini bergoyang. Kepulan asap hitam kembali membumbung tinggi. Para pasukan yang berjaga di halaman segera bergerak ke arah gerbang. Hanya masalah waktu musuh akan merangsek ke kediaman.
“Sialan! Kenapa gue mlah kejebak di sini?” Romi mengusap wajah, menarik rambut ke belakang. Ia menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara langkah kaki.
“Kita diminta jaga di luar,” ujar salah seorang pria dari balik pintu.
Romi mengambus napas panjang,
Rania mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pening bak dipukul palu godam. Saat akan bangkit dari kasur, ia harus berpegangan pada sisi ranjang dan sudut meja. Matanya lantas menyisir kamar, menyelidik. Dekorasi ruangan ini amat berbeda dengan tempat terakhir kali ia dikunci papanya.Rania bergerak ke arah jendela sembari memijat kepala. Halaman sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang, menenteng senjata. “Ini di mana?” tanyanya dengan raut bingung.Rania kembali duduk di bibir kasur, berkonsentrasi untuk mengembalikan ingatan. Seingatnya, setelah papanya menguncinya di kamar, ia terus berteriak, memukul-mukul pintu. Namun, tak ada tanggapan hingga beberapa menit berlalu. Saat mengintip melalui jendela, puluhan mobil keluar dari pintu gerbang. Jelas saja ia bingung karena ketika dirinya memasuki bangunan ini, ia tidak melihat kerumunan mobil tersebut.Di tengah kebingungannya saat itu, pintu tiba-tiba saja terbuka dari luar. Rania seke
Raihan menutup salat dengan ucapan salam di atas batu pipih. Tangannya sontak menengadah, di mana hati yang fokus mengharap kebaikan untuk semua orang terkasih. Setelahnya, lelaki itu kembali berjalan melalui pinggiran sungai dengan tidak mengurangi kewaspadaan.Setengah jam berjalan, Raihan mendadak berhenti begitu melihat pagar tinggi menjulang. Melihat gagah dan tingginya pagar tesebut, serta-merta membuatnya berdecak kagum. Ia bagai menemukan berlian dalam lumpur kotor. Akan tetapi, waktu seakan tak memberinya banyak pilihan padanya untuk tetap mengagumi bangunan tersebut. Pada kenyataannya suara dentuman kembali terdengar. Sepertinya pasukan Ratnawan berusaha memasuki kawasan lawan lebih dalam.Raihan mengembus napas panjang, lantas berlari dengan sebisa mungkin tak menimbulkan suara dan keributan. Ketika melihat helikopter terbang di atas, ia segera bersembunyi dalam rimbunnya pepohonan.Setelah dirasa aman, Raihan kembali meneruskan perjalan. Akan t
Kepulan asap berkali-kali terlihat dari kawasan hutan. Kawanan burung meliuk-meliuk di udara untuk mencari tempat aman. Suara ledakan, juga keributan sudah terdengar sejak beberapa jam lalu. Saat Rania mengintip dari balik tirai, musuh tampak bersiaga penuh, menenteng senjata di kanan-kiri. Sebagian berlari ke arah gerbang, sedang sisanya bertahan sembari meletuskan timah panas ke pasukan yang terus merangsek maju ke depan.Rania duduk gemetar di atas kasur. Meski bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini, tetapi kali ini kekhawatiran berlipat ganda. Ada jiwa lain yang harus ia lindungi selain dirinya. Rania yakin jika kekacauan akan merembet hingga ke ruangan ini. Cepat atau lambat, diduga atau tidak.“Raihan,” gumam Rania sembari mengelus perutnya beberapa kali. Matanya bergerak gelisah. Tubuhnya refleks mengambil benda apa pun yang bisa ia jadikan senjata kala gagang pintu itu tiba-tiba berputar. Ia berdiri siaga sembari memegang pas bunga
“Coba lu paksa gue bicara,” tantang Ramon.Sedetik setelah kalimat itu menguap dari bibir, dua anak manusia itu berlari dalam satu garis lurus, berhadap-hadapan. Di tengah angin berembus, di saat dua pasukan saling beradu, di waktu jingga sudah tumpah di luasnya cakrawala, di kala suara burung dan serangga malam mulai bersahutan, keduanya saling berbalas pukulan dan tendangan.Debu menjadi saksi bagaimana dua pasang kaki itu bergerak lincah. Kedua pasang mata tak sekalipun surut dari pergerakan rival. Baik Ramon dan Raihan, keduanya melakukan ritme yang sama, menyerang lalu bertahan, mendominasi lalu cepat membalikkan keadaan. Kala wajah terkena hantaman, lawan harus mendapat balasan setimpal. Bak lenguhan kerbau, embusan napas mereka saling bersahutan. Tak hanya sudut bibir dan hidung yang berdenyut ripuh, sudut mata keduanya tak jauh berbeda rasa. Lelehan keringat yang menetes menjadi bumbu penambah luka.“B*ngsat!” maki keduanya ketika
“Bagus, Sya!” teriak Ramon.Mata Raihan melebar begitu tahu siapa pelaku penyergapan barusan. Lelaki yang mengunci pergerakannya saat ini tak lain adalah Romi. Tubuhnya ditekan kuat-kuat ke alas rooftop.“Apa yang sebenarnya terjadi sama lu, Rom?” tanya Raihan dengan geram.Raihan mendadak mendongak saat Romi menarik rambutnya ke atas. Ia melihat sebuah helikopter terbang di atas rooftop. Selain deru angin dari baling-baling pesawat, embusan napas Romi juga terasa di sekitar tengkuknya. Bibir lelaki itu bergerak-gerak, mengucap sesuatu.Raihan membalikkan keadaan, membanting Romi ke samping. Ia lantas berlari ke arah mertuanya yang terduduk menahan luka. Namun sayang, orang di dalam helikopter meloncat dan langsung membekuk Ratnawan. Di tengah kegamangan, Raihan melihat bibir Romi kembali bergerak, mengucapkan kata-kata yang sama saat ia mendengar sahabatnya itu berbisik padanya.“Pergi!” pinta
18 tahun yang laluSeorang pria berpakaian lusuh berlari melewati taman bunga serta gemerincik air mancur. Lututnya menyembul dari celana jin sobek kala rambut acak-acakannya menari-nari di anak tangga. Pemakai kaus ketat dan jaket jin sobek tanpa tangan itu melewati koridor, lantas berhenti di depan sebuah pintu.Pria itu mengatur pernapasannya sebelum memasuki ruangan. Ia seketika berjongkok seraya menunduk saat menemukan seseorang tengah memunggunginya. Pria itu sama sekali tak berani mengangkat badan dan kepala sebelum tuan besar memberi titah.“Saya di sini, Tuan,” ucap pria itu.Seorang pria tambun dengan postur tubuh tak terlalu tinggi seketika berbalik. Kumis tipisnya melintang di atas bibir. Pria yang dipanggil tuan itu mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi. “Sudah saya bilang kalau kamu tidak perlu berjongkok seperti itu, Reza.”“Ini sebagai bentuk penghormatan saya pad
Reza baru saja mengalami sebuah pertaruhan mematikan. Badannya sudah dibanjiri keringat. Ia memaksakan kakinya untuk bergerak mengikuti aliran sungai dengan bekal pencahayaan bulan. Untunglah bayi ini tak rewel seperti yang ia takutkan. Sesekali si bayi terbangun dan kemudian terlelap lagi.Reza berhasil keluar dari kawasan musuh setelah berjibaku selama beberapa jam. Ia berhenti sesaat untuk menstabilkan napasnya yang nyaris putus. Kini, pria itu berada di sebuah bukit yang cukup jauh dari kawasan hutan. Pemandangan kota yang bertabur cahaya tampak indah dari tempatnya saat ini.Reza masuk lebih dalam ke rerimbunan pohon, lantas berhenti di pinggir tebing. Pemandangan sama masih terlihat dari tempat yang akan ia jadikan lokasi eksekusi. Bayi mungil itu rupanya terbangun begitu dirinya mendaratkan tubuhnya di atas sebuah batu. Tak ada tangisan yang terdengar, yang ada si bayi justru tersenyum ke arahnya.Reza merasakan lelahnya seketika hanyut saat melihat bayi
“Siapa itu, Pak?” tanya perempuan yang sedang menggendong bayi, “dan kenapa wajah Bapak babak belur begini?”“Nanti Bapak ceritakan,” ucap Rizal sembari membereskan sajadah. Ia kembali menemui tamunya di ruang tamu.“Apa yang mau kamu lakuin setelah ini?” tanya Rizal langsung ke inti. Sikap waspada tetap ia lakukan. Pria itu sudah menghubungi pihak pesantren dan menjelaskan ceritanya meski singkat.Reza menggeleng, menatap bayi di gendongannya yang kini tertidur.“Saya akan bawa kamu ke pesantren. Kamu bisa ceritakan masalah ini sama Kiai. Saya yakin beliau akan bantu,” sambung RizalReza hanya mengangguk kecil, tak terlalu menaruh peduli terhadap tatapan sinis dari wanita di balik tirai ruangan. Lagi pula, ia sudah terbiasa dipandang kotor dan hina.Rizal yang merupakan pemilik vila ini lantas meminta Reza menunggu di teras depan. Ia sendiri menyuruh istrinya segera berkemas.