Kepulan asap berkali-kali terlihat dari kawasan hutan. Kawanan burung meliuk-meliuk di udara untuk mencari tempat aman. Suara ledakan, juga keributan sudah terdengar sejak beberapa jam lalu. Saat Rania mengintip dari balik tirai, musuh tampak bersiaga penuh, menenteng senjata di kanan-kiri. Sebagian berlari ke arah gerbang, sedang sisanya bertahan sembari meletuskan timah panas ke pasukan yang terus merangsek maju ke depan.
Rania duduk gemetar di atas kasur. Meski bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini, tetapi kali ini kekhawatiran berlipat ganda. Ada jiwa lain yang harus ia lindungi selain dirinya. Rania yakin jika kekacauan akan merembet hingga ke ruangan ini. Cepat atau lambat, diduga atau tidak.
“Raihan,” gumam Rania sembari mengelus perutnya beberapa kali. Matanya bergerak gelisah. Tubuhnya refleks mengambil benda apa pun yang bisa ia jadikan senjata kala gagang pintu itu tiba-tiba berputar. Ia berdiri siaga sembari memegang pas bunga
“Coba lu paksa gue bicara,” tantang Ramon.Sedetik setelah kalimat itu menguap dari bibir, dua anak manusia itu berlari dalam satu garis lurus, berhadap-hadapan. Di tengah angin berembus, di saat dua pasukan saling beradu, di waktu jingga sudah tumpah di luasnya cakrawala, di kala suara burung dan serangga malam mulai bersahutan, keduanya saling berbalas pukulan dan tendangan.Debu menjadi saksi bagaimana dua pasang kaki itu bergerak lincah. Kedua pasang mata tak sekalipun surut dari pergerakan rival. Baik Ramon dan Raihan, keduanya melakukan ritme yang sama, menyerang lalu bertahan, mendominasi lalu cepat membalikkan keadaan. Kala wajah terkena hantaman, lawan harus mendapat balasan setimpal. Bak lenguhan kerbau, embusan napas mereka saling bersahutan. Tak hanya sudut bibir dan hidung yang berdenyut ripuh, sudut mata keduanya tak jauh berbeda rasa. Lelehan keringat yang menetes menjadi bumbu penambah luka.“B*ngsat!” maki keduanya ketika
“Bagus, Sya!” teriak Ramon.Mata Raihan melebar begitu tahu siapa pelaku penyergapan barusan. Lelaki yang mengunci pergerakannya saat ini tak lain adalah Romi. Tubuhnya ditekan kuat-kuat ke alas rooftop.“Apa yang sebenarnya terjadi sama lu, Rom?” tanya Raihan dengan geram.Raihan mendadak mendongak saat Romi menarik rambutnya ke atas. Ia melihat sebuah helikopter terbang di atas rooftop. Selain deru angin dari baling-baling pesawat, embusan napas Romi juga terasa di sekitar tengkuknya. Bibir lelaki itu bergerak-gerak, mengucap sesuatu.Raihan membalikkan keadaan, membanting Romi ke samping. Ia lantas berlari ke arah mertuanya yang terduduk menahan luka. Namun sayang, orang di dalam helikopter meloncat dan langsung membekuk Ratnawan. Di tengah kegamangan, Raihan melihat bibir Romi kembali bergerak, mengucapkan kata-kata yang sama saat ia mendengar sahabatnya itu berbisik padanya.“Pergi!” pinta
18 tahun yang laluSeorang pria berpakaian lusuh berlari melewati taman bunga serta gemerincik air mancur. Lututnya menyembul dari celana jin sobek kala rambut acak-acakannya menari-nari di anak tangga. Pemakai kaus ketat dan jaket jin sobek tanpa tangan itu melewati koridor, lantas berhenti di depan sebuah pintu.Pria itu mengatur pernapasannya sebelum memasuki ruangan. Ia seketika berjongkok seraya menunduk saat menemukan seseorang tengah memunggunginya. Pria itu sama sekali tak berani mengangkat badan dan kepala sebelum tuan besar memberi titah.“Saya di sini, Tuan,” ucap pria itu.Seorang pria tambun dengan postur tubuh tak terlalu tinggi seketika berbalik. Kumis tipisnya melintang di atas bibir. Pria yang dipanggil tuan itu mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi. “Sudah saya bilang kalau kamu tidak perlu berjongkok seperti itu, Reza.”“Ini sebagai bentuk penghormatan saya pad
Reza baru saja mengalami sebuah pertaruhan mematikan. Badannya sudah dibanjiri keringat. Ia memaksakan kakinya untuk bergerak mengikuti aliran sungai dengan bekal pencahayaan bulan. Untunglah bayi ini tak rewel seperti yang ia takutkan. Sesekali si bayi terbangun dan kemudian terlelap lagi.Reza berhasil keluar dari kawasan musuh setelah berjibaku selama beberapa jam. Ia berhenti sesaat untuk menstabilkan napasnya yang nyaris putus. Kini, pria itu berada di sebuah bukit yang cukup jauh dari kawasan hutan. Pemandangan kota yang bertabur cahaya tampak indah dari tempatnya saat ini.Reza masuk lebih dalam ke rerimbunan pohon, lantas berhenti di pinggir tebing. Pemandangan sama masih terlihat dari tempat yang akan ia jadikan lokasi eksekusi. Bayi mungil itu rupanya terbangun begitu dirinya mendaratkan tubuhnya di atas sebuah batu. Tak ada tangisan yang terdengar, yang ada si bayi justru tersenyum ke arahnya.Reza merasakan lelahnya seketika hanyut saat melihat bayi
“Siapa itu, Pak?” tanya perempuan yang sedang menggendong bayi, “dan kenapa wajah Bapak babak belur begini?”“Nanti Bapak ceritakan,” ucap Rizal sembari membereskan sajadah. Ia kembali menemui tamunya di ruang tamu.“Apa yang mau kamu lakuin setelah ini?” tanya Rizal langsung ke inti. Sikap waspada tetap ia lakukan. Pria itu sudah menghubungi pihak pesantren dan menjelaskan ceritanya meski singkat.Reza menggeleng, menatap bayi di gendongannya yang kini tertidur.“Saya akan bawa kamu ke pesantren. Kamu bisa ceritakan masalah ini sama Kiai. Saya yakin beliau akan bantu,” sambung RizalReza hanya mengangguk kecil, tak terlalu menaruh peduli terhadap tatapan sinis dari wanita di balik tirai ruangan. Lagi pula, ia sudah terbiasa dipandang kotor dan hina.Rizal yang merupakan pemilik vila ini lantas meminta Reza menunggu di teras depan. Ia sendiri menyuruh istrinya segera berkemas.
Reza menghela napas berat ketika dirinya sudah berada di depan pintu kediaman Ratnawan. Seperti yang sudah pria itu katakan pada Kiai, ia pasti akan mendapat hukuman berat karena tak becus membunuh bayi itu, entah cacat tubuh atau justru harus menukar nyawa. Ia mengakui kalau dirinya begitu sesumbar menyanggupi misi hingga tak mampu mengukur diri. Bukan masalah ia takut pada kejamnya musuh, tetapi ini perihal membunuh nyawa yang sejatinya tak memiliki dosa.Reza sadar jika dirinya hidup bergelimang dosa. Tak sekalipun waktu, pikiran dan tenaganya ia habiskan untuk mendekat pada Tuhan. Kejahatan sudah menjadi bagian dirinya, dan kebaikan sudah hampir musnah dalam jiwanya. Alasan yang ia suguhkan saat menyelamatkan bayi itu tentu akan jadi celaan semua orang, terutama Ratnawan.Reza mulai mendorong pintu, berjalan masuk begitu benda itu terbuka. Badannya tegap, tetapi harga dirinya terasa rapuh. Ratnawan menyambutnya dengan senyuman lebar. Ruang utama sudah berubah jadi
Seorang anak kecil berusia lima tahun tak berhenti menangis sejak semalam. Ia tengah berbaring di atas kasur, menutup seluruh badannya dengan selimut. Makanannya sama sekali belum disentuh sejak tadi. Ia larut dalam kesedihan karena adiknya tak lagi ada di sisinya.“Tuan Amon makan dulu, ya,” pinta seorang wanita sembari menyodorkan sepiring nasi.“Nanti kalau udah makan, kita main perang-perangan lagi,” ujar seorang pria di sudut pintu.“Enggak mau!” teriak anak laki-laki itu di dalam selimut, “Amon mau Dede Asya ada di sini lagi. Amon gak mau main sama kalian. Pergi!”Tangis Ramon kecil perlahan reda saat ia mendengar suara mobil masuk dari halaman. Sontak ia berlari ke arah balkon, mengintip ke lantai bawah. “Papa!” teriaknya yang kemudian keluar dari kamar, melewati koridor dengan cepat.Keadaan rumah masih tampak ramai dengan para pengawal yang mencari petunjuk mengenai peristiwa penc
Seorang pria yang sejak tadi terbaring di kasur mulai tersadar. Dengan perlahan, ia mendudukkan tubuh di atas ranjang, kemudian bersandar pada tepian kasur. Kepala dan beberapa bagian tubuhnya sudah dibalut perban. Rasa sakit tercipta setiap kali ia menggerakan badan. Pria itu mengamati sekeliling ruangan, lantas meringis tak bersuara saat kakinya mulai menyentuh lantai.“Apa ini neraka?” tanya Reza.“Pemimpin Utama memang tangguh,” ucap Ratnawan yang sejak tadi duduk di sudut kamar. Pria itu bertepuk tangan dengan cukup keras.“Tuan.” Reza segera berlutut meski raganya seperti diremas.“Tak salah kalau kamu didapuk jadi pemimpin utama.” Ratnawan berjalan mendekat dengan senyum tipis. “Sepertinya kamu memang belum pantas mati sekarang.”“Seharusnya Tuan menembak saya saat itu.”“Membunuh kamu lalu kehilangan informasi mengenai keberadaan bayi si Rudi itu?” Ra