Reza menghela napas berat ketika dirinya sudah berada di depan pintu kediaman Ratnawan. Seperti yang sudah pria itu katakan pada Kiai, ia pasti akan mendapat hukuman berat karena tak becus membunuh bayi itu, entah cacat tubuh atau justru harus menukar nyawa. Ia mengakui kalau dirinya begitu sesumbar menyanggupi misi hingga tak mampu mengukur diri. Bukan masalah ia takut pada kejamnya musuh, tetapi ini perihal membunuh nyawa yang sejatinya tak memiliki dosa.
Reza sadar jika dirinya hidup bergelimang dosa. Tak sekalipun waktu, pikiran dan tenaganya ia habiskan untuk mendekat pada Tuhan. Kejahatan sudah menjadi bagian dirinya, dan kebaikan sudah hampir musnah dalam jiwanya. Alasan yang ia suguhkan saat menyelamatkan bayi itu tentu akan jadi celaan semua orang, terutama Ratnawan.
Reza mulai mendorong pintu, berjalan masuk begitu benda itu terbuka. Badannya tegap, tetapi harga dirinya terasa rapuh. Ratnawan menyambutnya dengan senyuman lebar. Ruang utama sudah berubah jadi
Seorang anak kecil berusia lima tahun tak berhenti menangis sejak semalam. Ia tengah berbaring di atas kasur, menutup seluruh badannya dengan selimut. Makanannya sama sekali belum disentuh sejak tadi. Ia larut dalam kesedihan karena adiknya tak lagi ada di sisinya.“Tuan Amon makan dulu, ya,” pinta seorang wanita sembari menyodorkan sepiring nasi.“Nanti kalau udah makan, kita main perang-perangan lagi,” ujar seorang pria di sudut pintu.“Enggak mau!” teriak anak laki-laki itu di dalam selimut, “Amon mau Dede Asya ada di sini lagi. Amon gak mau main sama kalian. Pergi!”Tangis Ramon kecil perlahan reda saat ia mendengar suara mobil masuk dari halaman. Sontak ia berlari ke arah balkon, mengintip ke lantai bawah. “Papa!” teriaknya yang kemudian keluar dari kamar, melewati koridor dengan cepat.Keadaan rumah masih tampak ramai dengan para pengawal yang mencari petunjuk mengenai peristiwa penc
Seorang pria yang sejak tadi terbaring di kasur mulai tersadar. Dengan perlahan, ia mendudukkan tubuh di atas ranjang, kemudian bersandar pada tepian kasur. Kepala dan beberapa bagian tubuhnya sudah dibalut perban. Rasa sakit tercipta setiap kali ia menggerakan badan. Pria itu mengamati sekeliling ruangan, lantas meringis tak bersuara saat kakinya mulai menyentuh lantai.“Apa ini neraka?” tanya Reza.“Pemimpin Utama memang tangguh,” ucap Ratnawan yang sejak tadi duduk di sudut kamar. Pria itu bertepuk tangan dengan cukup keras.“Tuan.” Reza segera berlutut meski raganya seperti diremas.“Tak salah kalau kamu didapuk jadi pemimpin utama.” Ratnawan berjalan mendekat dengan senyum tipis. “Sepertinya kamu memang belum pantas mati sekarang.”“Seharusnya Tuan menembak saya saat itu.”“Membunuh kamu lalu kehilangan informasi mengenai keberadaan bayi si Rudi itu?” Ra
“Bapak,” ucap Raihan tak percaya. Tubuh pemuda itu seketika bergetar hebat. Dadanya mendadak menyempit hingga membuatnya sulit bernapas. Keterkejutan yang ia rasa berubah dengan cepat menjadi ketakutan. Netranya megamati setiap senti tubuh Rojak dari atas hingga bawah. Kepalanya menggeleng pelan kala senyum hangat sang bapak hadir di saat tak tepat.“Han, Bapak ... minta maaf,” ” ujar Rojak dengan suara erak. Setetes air mata membelah pipi, turun, lalu menyatu dengan genangan darah di dada.“Kita ke rumah sakit, Pak.” Raihan berusaha berdiri, tetapi tangan sang bapak yaag menarik tangannya seakan memberi tanda jika hal itu adalah tindakan sia-sia. “Bapak pasti masih bisa selamat.”Raihan mencoba berdiri kembali.“Han,” kata Rojak lagi, “Bapak ... minta maaf untuk semua yang udah Bapak lakukan ke kamu. Bapak ... belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu, belum bisa mem
Sudah hampir dua jam Rumi duduk di teras rumah Raihan. Kedua orang tuanya beberapa kali memintanya pulang, tetapi selalu ia balas dengan gelengan. Hidangan di rantang yang sedianya akan ia beri untuk keluarga pemuda itu sudah sedingin udara saat ini. Rumi berusaha nyaman dalam duduk, membesarkan harap dengan senyum yang coba ia pahat.“Rum,” panggil Rizal, “kita pulang sekarang.”“Ini sudah malam, Rum.” Rahma membagi ketegaran pada sang putri dengan elusan di kepala. “Mungkin saja Raihan dan keluarganya punya kesibukan di luar sana. Kita bisa kembali besok.”Hangatnya sentuhan sang ibu membuat bekunya harapan Rumi perlahan cair. Pipi gadis itu menghangat kala dua anak sungai mengalir dari mata. Ia dengan cepat menggeleng, masih ingin bertahan sebentar lagi.“Pulang, Rum!” ujar Rizal dengan setengah membentak.Mau tak mau Rumi memasuki mobil. Sepanjang perjalanan, gadis itu menoleh ke sampi
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b