18 tahun yang lalu
Seorang pria berpakaian lusuh berlari melewati taman bunga serta gemerincik air mancur. Lututnya menyembul dari celana jin sobek kala rambut acak-acakannya menari-nari di anak tangga. Pemakai kaus ketat dan jaket jin sobek tanpa tangan itu melewati koridor, lantas berhenti di depan sebuah pintu.
Pria itu mengatur pernapasannya sebelum memasuki ruangan. Ia seketika berjongkok seraya menunduk saat menemukan seseorang tengah memunggunginya. Pria itu sama sekali tak berani mengangkat badan dan kepala sebelum tuan besar memberi titah.
“Saya di sini, Tuan,” ucap pria itu.
Seorang pria tambun dengan postur tubuh tak terlalu tinggi seketika berbalik. Kumis tipisnya melintang di atas bibir. Pria yang dipanggil tuan itu mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi. “Sudah saya bilang kalau kamu tidak perlu berjongkok seperti itu, Reza.”
“Ini sebagai bentuk penghormatan saya pad
Reza baru saja mengalami sebuah pertaruhan mematikan. Badannya sudah dibanjiri keringat. Ia memaksakan kakinya untuk bergerak mengikuti aliran sungai dengan bekal pencahayaan bulan. Untunglah bayi ini tak rewel seperti yang ia takutkan. Sesekali si bayi terbangun dan kemudian terlelap lagi.Reza berhasil keluar dari kawasan musuh setelah berjibaku selama beberapa jam. Ia berhenti sesaat untuk menstabilkan napasnya yang nyaris putus. Kini, pria itu berada di sebuah bukit yang cukup jauh dari kawasan hutan. Pemandangan kota yang bertabur cahaya tampak indah dari tempatnya saat ini.Reza masuk lebih dalam ke rerimbunan pohon, lantas berhenti di pinggir tebing. Pemandangan sama masih terlihat dari tempat yang akan ia jadikan lokasi eksekusi. Bayi mungil itu rupanya terbangun begitu dirinya mendaratkan tubuhnya di atas sebuah batu. Tak ada tangisan yang terdengar, yang ada si bayi justru tersenyum ke arahnya.Reza merasakan lelahnya seketika hanyut saat melihat bayi
“Siapa itu, Pak?” tanya perempuan yang sedang menggendong bayi, “dan kenapa wajah Bapak babak belur begini?”“Nanti Bapak ceritakan,” ucap Rizal sembari membereskan sajadah. Ia kembali menemui tamunya di ruang tamu.“Apa yang mau kamu lakuin setelah ini?” tanya Rizal langsung ke inti. Sikap waspada tetap ia lakukan. Pria itu sudah menghubungi pihak pesantren dan menjelaskan ceritanya meski singkat.Reza menggeleng, menatap bayi di gendongannya yang kini tertidur.“Saya akan bawa kamu ke pesantren. Kamu bisa ceritakan masalah ini sama Kiai. Saya yakin beliau akan bantu,” sambung RizalReza hanya mengangguk kecil, tak terlalu menaruh peduli terhadap tatapan sinis dari wanita di balik tirai ruangan. Lagi pula, ia sudah terbiasa dipandang kotor dan hina.Rizal yang merupakan pemilik vila ini lantas meminta Reza menunggu di teras depan. Ia sendiri menyuruh istrinya segera berkemas.
Reza menghela napas berat ketika dirinya sudah berada di depan pintu kediaman Ratnawan. Seperti yang sudah pria itu katakan pada Kiai, ia pasti akan mendapat hukuman berat karena tak becus membunuh bayi itu, entah cacat tubuh atau justru harus menukar nyawa. Ia mengakui kalau dirinya begitu sesumbar menyanggupi misi hingga tak mampu mengukur diri. Bukan masalah ia takut pada kejamnya musuh, tetapi ini perihal membunuh nyawa yang sejatinya tak memiliki dosa.Reza sadar jika dirinya hidup bergelimang dosa. Tak sekalipun waktu, pikiran dan tenaganya ia habiskan untuk mendekat pada Tuhan. Kejahatan sudah menjadi bagian dirinya, dan kebaikan sudah hampir musnah dalam jiwanya. Alasan yang ia suguhkan saat menyelamatkan bayi itu tentu akan jadi celaan semua orang, terutama Ratnawan.Reza mulai mendorong pintu, berjalan masuk begitu benda itu terbuka. Badannya tegap, tetapi harga dirinya terasa rapuh. Ratnawan menyambutnya dengan senyuman lebar. Ruang utama sudah berubah jadi
Seorang anak kecil berusia lima tahun tak berhenti menangis sejak semalam. Ia tengah berbaring di atas kasur, menutup seluruh badannya dengan selimut. Makanannya sama sekali belum disentuh sejak tadi. Ia larut dalam kesedihan karena adiknya tak lagi ada di sisinya.“Tuan Amon makan dulu, ya,” pinta seorang wanita sembari menyodorkan sepiring nasi.“Nanti kalau udah makan, kita main perang-perangan lagi,” ujar seorang pria di sudut pintu.“Enggak mau!” teriak anak laki-laki itu di dalam selimut, “Amon mau Dede Asya ada di sini lagi. Amon gak mau main sama kalian. Pergi!”Tangis Ramon kecil perlahan reda saat ia mendengar suara mobil masuk dari halaman. Sontak ia berlari ke arah balkon, mengintip ke lantai bawah. “Papa!” teriaknya yang kemudian keluar dari kamar, melewati koridor dengan cepat.Keadaan rumah masih tampak ramai dengan para pengawal yang mencari petunjuk mengenai peristiwa penc
Seorang pria yang sejak tadi terbaring di kasur mulai tersadar. Dengan perlahan, ia mendudukkan tubuh di atas ranjang, kemudian bersandar pada tepian kasur. Kepala dan beberapa bagian tubuhnya sudah dibalut perban. Rasa sakit tercipta setiap kali ia menggerakan badan. Pria itu mengamati sekeliling ruangan, lantas meringis tak bersuara saat kakinya mulai menyentuh lantai.“Apa ini neraka?” tanya Reza.“Pemimpin Utama memang tangguh,” ucap Ratnawan yang sejak tadi duduk di sudut kamar. Pria itu bertepuk tangan dengan cukup keras.“Tuan.” Reza segera berlutut meski raganya seperti diremas.“Tak salah kalau kamu didapuk jadi pemimpin utama.” Ratnawan berjalan mendekat dengan senyum tipis. “Sepertinya kamu memang belum pantas mati sekarang.”“Seharusnya Tuan menembak saya saat itu.”“Membunuh kamu lalu kehilangan informasi mengenai keberadaan bayi si Rudi itu?” Ra
“Bapak,” ucap Raihan tak percaya. Tubuh pemuda itu seketika bergetar hebat. Dadanya mendadak menyempit hingga membuatnya sulit bernapas. Keterkejutan yang ia rasa berubah dengan cepat menjadi ketakutan. Netranya megamati setiap senti tubuh Rojak dari atas hingga bawah. Kepalanya menggeleng pelan kala senyum hangat sang bapak hadir di saat tak tepat.“Han, Bapak ... minta maaf,” ” ujar Rojak dengan suara erak. Setetes air mata membelah pipi, turun, lalu menyatu dengan genangan darah di dada.“Kita ke rumah sakit, Pak.” Raihan berusaha berdiri, tetapi tangan sang bapak yaag menarik tangannya seakan memberi tanda jika hal itu adalah tindakan sia-sia. “Bapak pasti masih bisa selamat.”Raihan mencoba berdiri kembali.“Han,” kata Rojak lagi, “Bapak ... minta maaf untuk semua yang udah Bapak lakukan ke kamu. Bapak ... belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu, belum bisa mem
Sudah hampir dua jam Rumi duduk di teras rumah Raihan. Kedua orang tuanya beberapa kali memintanya pulang, tetapi selalu ia balas dengan gelengan. Hidangan di rantang yang sedianya akan ia beri untuk keluarga pemuda itu sudah sedingin udara saat ini. Rumi berusaha nyaman dalam duduk, membesarkan harap dengan senyum yang coba ia pahat.“Rum,” panggil Rizal, “kita pulang sekarang.”“Ini sudah malam, Rum.” Rahma membagi ketegaran pada sang putri dengan elusan di kepala. “Mungkin saja Raihan dan keluarganya punya kesibukan di luar sana. Kita bisa kembali besok.”Hangatnya sentuhan sang ibu membuat bekunya harapan Rumi perlahan cair. Pipi gadis itu menghangat kala dua anak sungai mengalir dari mata. Ia dengan cepat menggeleng, masih ingin bertahan sebentar lagi.“Pulang, Rum!” ujar Rizal dengan setengah membentak.Mau tak mau Rumi memasuki mobil. Sepanjang perjalanan, gadis itu menoleh ke sampi
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu