“Kita mulai lagi dari awal, ya?” Raihan mendekat sembari menarik tangan Rania. Sayang, gadis itu menghempasnya dengan kasar. “Kita lupain soal yang tadi,” ujarnya.
Rania memilih menjauh, menepis setiap kala tangan Raihan mendekat. Bahunya masih berguncang kuat akibat tangisan.
“Mulai sekarang aku janji akan lebih giat lagi kerja untuk bisa bahagiain kamu.” Raihan kembali mendekat, mempersempit jarak. “Dengan syarat kamu keluar dari pekerjaan kamu dan jauhin pria itu.”
“Aku gak punya hubungan apa pun sama bos aku!” Rania mundur beberapa langkah. “Harus berapa kali aku bilang? Kenapa kamu gak bisa percaya sih? Aku ... gak ... punya ... hubungan ... apa pun ... sama ... bos ... aku!” ucapnya dengan penuh penekanan di setiap suku kata.
Raihan mengembus napas panjang, menyugar rambut dengan jemari, lalu menoleh ke samping. Ia lupa jika gadis di depannya sangat keras kepala. Toh, kalaupun R
Raihan berdiri di depan sebuah bangunan megah. Gerbangnya menjulang tinggi hingga beberapa meter ke atas. Sekeliling gedung dihiasi oleh pepohonan yang berjajar rapi. Saat masuk melalui gerbang, ia disambut dengan taman indah yang dihiasi kebun bunga, juga tarian air mancur yang berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan.Saat memasuki bangunan, Raihan melihat anak kecil yang tengah menggoda seorang bayi yang tengah tidur di kereta bayi. Menaiki tangga kedua, ia kembali kembali anak kecil tadi tengah mendorong kereta bayi. Tawa dan bahagianya masih tetap sama. Sayang, ia tak bisa mengenali wajah anak laki-laki itu dan si bayi. Tubunya kaku bak robot yang tengah dikendalikan seseorang. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan lurus tanpa bisa bicara dan menoleh.Di lantai tiga, Raihan melihat jika anak laki-laki tadi bergelayutan manja di punggung seorang pria. Untuk kedua kalinya, ia tak bisa mengenali wajah keduanya. Saat raganya kembali melaju, keadaan sekitar mendadak s
Rania tengah duduk di meja rias. Pandangannya tampak kosong. Riasan wajah tak sepenuhnya mampu menutup sembap. Kejadian semalam tak hanya membuat raganya letih, tetapi perasaannya ikut perih hingga batas rintih. Tubuhnya panas dan menggigil sejak semalam. Bibirnya terasa kaku, enggan berucap apa pun, terutama pada Raihan.Rania tahu jika Raihan terus-menerus mengetuk pintu setelah ia berlari ke dalam kamar. Gadis itu hanya ingin menenangkan diri, tak ingin masalah kian menyakiti hati. Jujur saja, Rania tak mengerti dengan jalan pikiran Raihan. Laki-laki itu terus menuduh dirinya memiliki hubungan yang tak biasa dengan bosnya, padahal ia sama sekali tak begitu dekat dengan pria itu.Rania mengembus napas panjang ketika teringat kejadian ketika dirinya hendak keluar kamar. Tubuhnya seketika terhuyung ke samping saat melihat Raihan teridur beralas keramik, berbantal tangan yang kedinginan. Meski amarah masih mendekap perasaan, tetapi ia malah berlari ke kamar untuk mengam
“Kang Raihan, saya titip kue ini untuk Om Rojak.” Rumi menyodorkan sekotak makanan ke hadapan Raihan. Bibirnya melukis senyum menawan.Raihan hanya melirik sekilas, kemudian segera mengemasi barang-barang. Ia mengembus napas panjang, kemudian berkata, “Maaf, tapi sepertinya saya tidak bisa menerimanya, Rum.”Senyum Rumi mendadak sirna, berganti raut kecewa meski sesaat. “Kenapa, Kang? Apa Kang Raihan tidak suka kuenya? Saya bisa kok ganti dengan kue yang lain. ”Raihan menggeleng. “Tidak usah, Rum. Takut merepotkan.”Rumi menunduk sesaat, kemudian menyungging senyum tipis. Ada kekecewaan yang perlahan terangkai di wajah.“Boleh saya tanya satu hal, Rum?” Raihan mengembus napas panjang, melirik gadis di depannya sekilas.“Silakan, Kang.”“Kemarin Rania ngasih saya foto-foto yang isinya kedekatan kita berdua yang diambil dari beberapa sudut. Kamu tahu siapa ya
Saat ini, Romi sedang berada di balkon kamar. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kegelapan hutan dan titik cahaya kecil di ujung sana. Waktunya hanya diisi keheningan sampai akhirnya pintu kamar diketuk dari luar.Romi segera memutar tubuh, lantas berkata, “Masuk.”Rendi datang dengan seuntai senyum. “Tuan Rasya, ini dokumen yang Anda minta,” ucapnya seraya memberikan sebuah map pada Romi.Romi menerima dengan agak menarik paksa, memeriksa isi file dengan cepat. Setelahnya, pemuda itu mengembalikan benda itu pada Rendi. Sama seperti Ramon, ia tak peduli dengan ucapan terima kasih. Romi lantas kembali ke posisi semula, memunggungi Ramon.“Saya permisi, Tuan ... Rasya.” Rendi membungkuk singkat, kemudian keluar dari ruangan. Di ambang pintu, ia berpapasan dengan Ramon. Seuntai senyum segera ia suguhkan sebagai pengganti salam. Ramon sama sekali tak menggubris hal tersebut. Ia memilih mendekat pada san
Baik Raihan maupun Rania sontak menahan napas. Tubuh keduanya membeku bak disiram air es di udara dingin. Akan tetapi, jantung mereka justru memacu lebih cepat dibanding beberapa detik yang lalu.“Ratnawan butuh orang yang dipercayanya untuk menjaga Rania, dan Bapak butuh uang untuk keperluan hidup kamu, Raihan,” ungkap Rojak, “kamu bisa lihat ladang yang kita punya sekarang, Han. Itu Bapak beli dengan uang hasil pemberian Ratnawan, bekal untuk masa depan kamu.”“Bapak pasti bohong,” tolak Raihan dengan pandangan tak percaya, “Bapak pasti bohong. Ini gak mungkin, Pak.”Sementara itu, Rania kontan menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya kembali pecah ketika mendengar ucapan tersebut. Hatinya seakan retak laksana gelas kaca yang dijatuhkan dari ketinggian.“Bapak bukan pembohong!” hardik Rojak sembari melayangkan tamparan lagi. “Tapi kamu tenang aja. Pernikahan ini akan segera berakhir.&
“Pa,” rengek Raihan, “kalau Bapak gak izinin Rania tinggal di sini, Raihan bakal—”“Jangan pernah berani ancam Bapak!” hardik Rojak sembari mendaratkan tamparan ke pipi Raihan.Raihan yang tak siap seketika ambruk ke lantai. Ia setengah berbaring ke samping dengan tangan memegangi pipi.“Raihan,” ucap Rania dengan suara serak. Satu kaki dan tangannya tanpa sadar maju ke arah pemuda itu. Di saat bersamaan, setetes air mata jatuh membasahi pipi.“Cepat pergi, Rania. Pergi!” bentak Rojak sembari menunjuk pintu keluar.Rania menyeka air mata, lalu bergegas keluar dengan terburu-buru. Gadis itu menoleh sesaat, kemudian berlari menuruni undakan tangga, menggilas halaman dengan air mata kesedihan. Sungguh, ia tak menyangka akan keluar dari rumah secepat ini. “Rania!” Raihan berteriak sembari berlari menyusul.Melihat hal itu, Rania kian berlari lebih kencang
Sebuah mobil tampak terparkir di pinggiran tebing. Tak jauh dari kendaraan itu berada, Ramon tengah mengawasi anak buah papanya yang sedang bekerja di tebing yang berada di depan. Berada di tempat ini, mau tak mau membawa pria itu pada sebuah kenangan kisah delapan belas tahun lalu, perihal adiknya yang diculik seseorang.Rahmadi, satu-satunya petunjuk yang diberikan Ratnawan padanya. Entah kebetulan atau takdir berbaik hati padanya, Ramon menemukan adiknya dalam perawatan pria bernama Rahmadi itu. Sang adik tumbuh menjadi sosok lelaki yang dapat diandalkan, meski kemampuannya masih harus ditingkatkan. Di sisi lain, si penculik hingga saat ini laksana ditelan misteri, bak tenggelam dalam legenda. Pencarian yang dilakukan meski dengan bantuan Rendi sekalipun sukar untuk ditemukan.“Bang,” panggil Romi yang baru saja keluar dari mobil yang beberapa detik lalu menepi.Pemilik rahang tegas itu menoleh, mendapati sang adik berjalan ke arahnya. &ldqu
“Kamu pasti salah denger, Raihan.” Rosa berusaha memahat senyum di tengah keterkejutan. “Tadi itu—”“Jangan pernah deketin gue lagi!” sela Raihan dengan suara setengah membentak. Emosinya benar-benar tersulut. Dadanya bahkan terasa sesak karena berusaha meredam amarah. Kedua gadis itu benar-benar keterlaluan.Di sisi lain, kalimat dingin Raihan seketika mampu memanaskan pipi Rumi. Gadis itu mati-matian berusaha untuk tak berkedip, takut bila air mata menetes. Tubuhnya gemetar hebat, laksana diguncang gempa. Raihan memang tak menyakitinya secara langsung, tetapi mendapati pandangan Raihan yang seolah jijik padanya, itu terasa lebih dari sekedar ditampar berkali-kali.“Apa yang sebenarnya ada di otak kalian?” Raihan berusaha mengontrol emosi. Kedua tangannya mengeras bak batu karang yang siap menghancurkan kapal. “Kamu cuma salah denger, Raihan.” Rosa berkelit. “Bukan