“Ini bayarannya.” Raihan menyodorkan selembar uang.
Rania menerima dengan wajah ketus, lantas duduk di samping Raihan. Cahaya kunang-kunang di pematang sawah menarik perhatiannya sesaat. Setelahnya, ia tenggelam dalam lamunan. Rania rasa ini saat yang tepat untuk bicara mengenai pekerjaannya. “Hari ini aku mulai kerja,” ungkapnya.
“Kerja?” Raihan seketika menoleh. Ada keterkejutan dari nada bicaranya.
Baik tatapan Raihan maupun Rania saling tertuju ke manik mata masing-masing. Ada keheningan yang menyelimuti dengan cepat.
“Kenapa?” tanya Raihan.
“Aku ... gak ingin jadi beban buat keluarga ini,” jawab Rania, “aku hanya sadar diri.”
Raihan mengembus napas panjang. “Gak ada yang anggap kamu beban. Lagian aku sama Bapak udah janji buat jaga kamu.”
“Aku ... cuma ingin bantu. Apa itu salah?”
Raihan menggeleng, kemudian menegakkan punggung.
Ramon berkali-kali membaca lembaran kertas yang ada di tangan. Ia tak ingin melewatkan satu informasi pun yang tertera di sana. Pria itu sampai hafal dengan susunan kalimat dari hasil tes DNA tersebut. Helaan napas terdengar lega. Ada pahatan senyum terukir. Tak salah kalau seorang pria sepertinya menangis, kan? Ini momen bahagia dalam hidupnya. Ia sudah menemukan harta berharganya yang telah dicuri orang.Ramon segera memakai baju, kemudian menyimpan hasil tes ke dalam saku. Lelaki itu bergegas menyusuri koridor, menuruni tangga, lantas memacu mobil di jalanan. Ramon menepikan kendaraan di depan kediaman Romi. Dari jaraknya sekarang, bangunan itu tampak sepi, tak ada aktivitas orang yang terlihat.Ramon mengamati lingkungan sekitar. Bila dilihat sakasama, rumah ini agak terpencil dengan bangunan warga lain. Lokasinya berada di sudut desa, bersisian dengan persawahan dan perkebunan. Ramon segera turun dari mobil begitu Romi muncul di balik pepohonan.&ldqu
Rania buru-buru mematikan komputer ketika waktu sudah menujukkan pukul empat sore. Ia segera merapikan meja, kemudian menyampirkan tas untuk bersiap pulang. Saking tak sabarnya, ia malah tak sengaja menjatuhkan beberapa map yang ada di atas meja. “Ada-ada aja, sih” gumamnya.Mau tak mau Rania berjongkok untuk memunguti lembaran kertas yang tercecer. Saat hendak mengembalikan map ke tempat semula, perhatiannya seketika tertuju pada beberapa kertas yang masih berada di bawah meja. Tanpa curiga sedikit pun, Rania kembali mengulurkan tangan. Akan tetapi, ketika akan memasukkan benda-benda itu ke map, ia justru dikejutkan oleh sesuatu.“Ini ....” Rania segera mengawasi sekeliling meski ruangan kerjanya sudah sepi dari pegawai lain. Gadis itu dengan cepat memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas. Setelahnya, ia bergegas pulang dengan langkah terburu-buru.Rania segera mengunci pintu setibanya di kamar. Saat mengintip dari balik tirai, ia
Ada apa dengan Rania?Raihan meneguk minumannya hingga tak bersisa. Ia kemudian menyandarkan punggung pada dinding. Helaan napasnya terdengar berat, pertanda bila pikirannya tengah disesaki banyak hal. Pemandangan pesawahan di malam hari seketika mengisi pandangan. Cahaya kuning di seberang sana sangat kentara di banding kegelapan di sekelilingnya.Waktu kadang menggoda Raihan untuk kembali ke masa lalu. Saat di mana tak ada kegelisahan dan kegamangan yang dirasa. Ketakutannya hanya pada omelan ustaz, tugas hafalan dan juga ujian dadakan.Raihan rindu beradu tawa dengan kawan, menghabiskan waktu di masjid, bermain bola atau olahraga lain. Ia masih remaja dan ingin menikmati masanya. Pemuda itu tak seharusnya berada di posisi ini. Andai masa dapat diulang, mungkin ia ingin tetap berada di sana.Raihan menghembus napas kasar, mendongak, lantas mengamati serangga yang mengitari bohlam lampu. Kepalanya serasa in
Raihan segera meletakkan tas-tas itu di kamarnya. Setelahnya, pemuda itu bergegas mengambil wudu di kamar mandi untuk meredakan emosi. Ia sengaja tak melihat Rania saat gadis itu memperhatikannya di dapur. Ketika kembali memasuki kamar, lantas berbaring di kasur dengan bibir yang terus-menerus menggumamkan kalimat istigfar.Di sisi lain, Rania mendelik penuh amarah ketika melihat kehadiran Raihan. Gadis itu berusaha tenang meski pada akhirnya amarahnya terlampiaskan pada potongan sayur yang tidak rata. Hatinya benar-benar terasa terbakar, panas dan menyengat.Raihan dan Rania sama-sama diam ketika berada di meja makan. Keduanya fokus pada sajian. Meja makan sepi oleh candaan, tetapi panas dengan amarah yang berusaha dipendam oleh keduanya. Selepas makan malam, mereka memasuki kamar masing-masing.Waktu terus merangkak. Detak jam serasa menghina keduanya memilih diam. Baik Raihan maupun Rania sama-sama dipecundangi amarah. Setiap kali mengingat kejadian sore tadi
“Kita mulai lagi dari awal, ya?” Raihan mendekat sembari menarik tangan Rania. Sayang, gadis itu menghempasnya dengan kasar. “Kita lupain soal yang tadi,” ujarnya.Rania memilih menjauh, menepis setiap kala tangan Raihan mendekat. Bahunya masih berguncang kuat akibat tangisan.“Mulai sekarang aku janji akan lebih giat lagi kerja untuk bisa bahagiain kamu.” Raihan kembali mendekat, mempersempit jarak. “Dengan syarat kamu keluar dari pekerjaan kamu dan jauhin pria itu.”“Aku gak punya hubungan apa pun sama bos aku!” Rania mundur beberapa langkah. “Harus berapa kali aku bilang? Kenapa kamu gak bisa percaya sih? Aku ... gak ... punya ... hubungan ... apa pun ... sama ... bos ... aku!” ucapnya dengan penuh penekanan di setiap suku kata.Raihan mengembus napas panjang, menyugar rambut dengan jemari, lalu menoleh ke samping. Ia lupa jika gadis di depannya sangat keras kepala. Toh, kalaupun R
Raihan berdiri di depan sebuah bangunan megah. Gerbangnya menjulang tinggi hingga beberapa meter ke atas. Sekeliling gedung dihiasi oleh pepohonan yang berjajar rapi. Saat masuk melalui gerbang, ia disambut dengan taman indah yang dihiasi kebun bunga, juga tarian air mancur yang berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan.Saat memasuki bangunan, Raihan melihat anak kecil yang tengah menggoda seorang bayi yang tengah tidur di kereta bayi. Menaiki tangga kedua, ia kembali kembali anak kecil tadi tengah mendorong kereta bayi. Tawa dan bahagianya masih tetap sama. Sayang, ia tak bisa mengenali wajah anak laki-laki itu dan si bayi. Tubunya kaku bak robot yang tengah dikendalikan seseorang. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan lurus tanpa bisa bicara dan menoleh.Di lantai tiga, Raihan melihat jika anak laki-laki tadi bergelayutan manja di punggung seorang pria. Untuk kedua kalinya, ia tak bisa mengenali wajah keduanya. Saat raganya kembali melaju, keadaan sekitar mendadak s
Rania tengah duduk di meja rias. Pandangannya tampak kosong. Riasan wajah tak sepenuhnya mampu menutup sembap. Kejadian semalam tak hanya membuat raganya letih, tetapi perasaannya ikut perih hingga batas rintih. Tubuhnya panas dan menggigil sejak semalam. Bibirnya terasa kaku, enggan berucap apa pun, terutama pada Raihan.Rania tahu jika Raihan terus-menerus mengetuk pintu setelah ia berlari ke dalam kamar. Gadis itu hanya ingin menenangkan diri, tak ingin masalah kian menyakiti hati. Jujur saja, Rania tak mengerti dengan jalan pikiran Raihan. Laki-laki itu terus menuduh dirinya memiliki hubungan yang tak biasa dengan bosnya, padahal ia sama sekali tak begitu dekat dengan pria itu.Rania mengembus napas panjang ketika teringat kejadian ketika dirinya hendak keluar kamar. Tubuhnya seketika terhuyung ke samping saat melihat Raihan teridur beralas keramik, berbantal tangan yang kedinginan. Meski amarah masih mendekap perasaan, tetapi ia malah berlari ke kamar untuk mengam
“Kang Raihan, saya titip kue ini untuk Om Rojak.” Rumi menyodorkan sekotak makanan ke hadapan Raihan. Bibirnya melukis senyum menawan.Raihan hanya melirik sekilas, kemudian segera mengemasi barang-barang. Ia mengembus napas panjang, kemudian berkata, “Maaf, tapi sepertinya saya tidak bisa menerimanya, Rum.”Senyum Rumi mendadak sirna, berganti raut kecewa meski sesaat. “Kenapa, Kang? Apa Kang Raihan tidak suka kuenya? Saya bisa kok ganti dengan kue yang lain. ”Raihan menggeleng. “Tidak usah, Rum. Takut merepotkan.”Rumi menunduk sesaat, kemudian menyungging senyum tipis. Ada kekecewaan yang perlahan terangkai di wajah.“Boleh saya tanya satu hal, Rum?” Raihan mengembus napas panjang, melirik gadis di depannya sekilas.“Silakan, Kang.”“Kemarin Rania ngasih saya foto-foto yang isinya kedekatan kita berdua yang diambil dari beberapa sudut. Kamu tahu siapa ya
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu