Rania bergegas kembali ke kamar ketika rumah sudah dalam keadaan lengang. Ia buru-buru duduk di bibir kasur. Bayangan saat Raihan ditampar masih bercokol kuat dalam benak. Gadis itu tak menyangka bila Rojak akan melakukan hal itu, padahal Raihan bertanya baik-baik padanya.
Rania segera bangkit ketika pintu kamar diketuk. Ia bercermin sesaat, kemudian memutar kenop pintu. Sejujurnya, ia ingin sendiri dan tak ingin diganggu siapa pun.
“Ini Bapak,” ucap Rojak di balik pintu.
Rania membuka pintu, kemudian mundur untuk memberi jalan pada mertuanya. Ada sepiring besar buah-buahan serta segelas teh hangat yang pria itu bawa. Rania ingin membantu, tetapi Rojak memberi kode agar kembali duduk.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Rojak sembari menarik kursi di dekat meja.
“Ba-baik.” Rania menunduk karena merasa tak nyaman begitu melihat Rojak tersenyum ke arahnya. Bayangan tamparan itu masih kuat tertanam di isi kepala. Tanpa
Seminggu berada di rumah keluarga Raihan merubah sedikit kebiasaan Rania. Ia mulai beradaptasi dengan kehidupan sederhana yang disuguhkan. Memang butuh waktu, tetapi setiap kali ingin mengeluh, ia teringat dengan mama dan papanya.Berbicara mengenai Raihan, Rania malah jadi kaku setiap melihatnya, lebih tepatnya tak tahu harus bicara apa. Memang Raihan seringkali mengetuk pintu kamar untuk sekadar mengingatkan salat atau makan. Namun, ia lebih sering menjawab dengan anggukan atau gelengan. Mulutnya yang berisik dan tak bisa diatur malah jadi mendadak bisu, apalagi saat Raihan menatapnya dalam.Selama seminggu pula Rania berdiam diri kamar. Aktivitasnya tak jauh dari melamun. Ia juga masih butuh waktu untuk menjenguk mama dan papanya. Ia takut tak bisa mengendalikan diri. Sebenarnya gadis itu malu ketika melihat mertuanya dan Raihan sibuk mengurus rumah, tetapi tetap melayaninya dengan baik. Lambat laun muncul perasaan sungkan.“Gue gak boleh jadi beban kel
Seminggu berlalu dengan cepat. Rumi merasa hanya fisiknya saja yang mulai membaik, tetapi tidak dengan hatinya. Gadis itu lebih banyak diam, tenggelam dalam lamunan, terbelenggu kesakitan. Meski ia beberapa kali bertemu dengan Raihan di sekolah, tetapi tak pernah sekalipun lelaki itu datang untuk menjelaskan perihal foto yang terpampang di kediaman orang itu. Jujur saja, ia seperti tak dianggap. Rumi menatap makanannya tak selera. Beberapa kali ia ditegur sang bunda. Ia hanya tersenyum sebagai pengganti maaf. Ia sengaja mengambil porsi lebih sedikit. “Bapak tadi liat Nak Raihan saat di pasar,” ujar Rizal, “sepertinya Nak Raihan sedang sibuk sampai saat Bapak panggil dia gak menoleh.” Mendengarnya, refleks Rumi mendongak. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba mengundang tawa dari orang tuanya. “Kamu kenal dengan gadis yang bersamanya, Rum?” tanya Rizal setelah meletakkan gelas di meja. “Gadis?” Rumi memastikan. Jangan bilang
Saat bel sekolah berbunyi, serempak seluruh siswa kelas dua belas berhamburan ke luar kelas untuk memadati papan pengumuman. Haru biru dan tawa bahagia pecah saat seluruh siswa dinyatakan lulus. Sebuah tahapan perjalanan kehidupan baru saja usai.Para siswa berkerumunan di lapangan, saling mencoret seragam satu sama lain. Raihan salah satu di antaranya. Baju dan rambutnya sudah berubah warna. Romi juga berpenampilan serupa. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan berfoto dan perjalanan mengelilingi kota. Saat ini, Raihan dan Romi berada di taman kota, duduk di kursi panjang. Bisa dibilang penampilan mereka paling mencolok dibanding pengunjung lain. Tak ada komentar miring. Mungkin orang-orang yang melihat mereka bisa maklum. Toh, mereka pernah mengalami masa yang sama.Raihan tersenyum melihat perkembangan Rania. Gadis itu sudah belajar banyak hal soal mengurus rumah. Setiap pagi, Raihan akan mendapati Rania sudah bergelut dengan sapu, meny
“Kita jalan, yuk!” ajak Raihan, “kebetulan ini malam minggu.”Rania tiba-tiba berhenti. Ia berpikir sambil berjalan. Saking fokus, Rania malah sempat salah masuk kamar. “Eh, kok.”Raihan cekikikan. “Mau?”“Nggak!” balas Rania sambil membanting pintu kamar dengan keras.Meski Rania bilang tidak, Raihan nyatanya tetap mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia segera membersihkan diri, kemudian membalut tubuh tingginya dengan celana jin serta kaus hitam yang dipadupadankan dengan jaket. Setelah siap, ia mengetuk pintu kamar Rania.Pintu akhirnya terbuka. Rania muncul masih dengan wajah jutek. Meski begitu, tampilannya sudah berubah. Ada polesan make up di wajahnya.Raihan tersenyum saat melihat penampilan Rania dari atas hingga bawah. “Katanya gak mau, kok dandan, sih?”Rania memelotot, kemudian berbalik untuk kembali ke kamar. Namun, Raihan dengan cepat menarik
Pukul sembilan malam, Romi baru bisa kembali ke rumah. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya. Serangkaian pekerjaan membuat sekujur tubuh menjerit untuk segera diistirahatkan.Romi segera berbaring di atas kasur. Pemuda itu seperti menemukan surga nyaman untuk dirinya terlelap. Ia mengecek ponsel beberapa saat dan menggeleng saat membaca pesan dari Raihan.“Gue mau nembak Rania. Doain, ya,” ujar Romi yang membacakan pesan dari Raihan. “Dasar aneh lu, Han! Ngapain lu nembak Rania? Dia ‘kan istri lu sekarang.”Romi kembali membaca pesan dari Raihan. “Pacaran setelah menikah itu asyik,” ucapnya menirukan tulisan di layar.“Gak ada akhlak lu, Han!” Romi menggeleng beberapa kali. Matanya yang mengantuk tiba-tiba saja terjaga.“Jomblo mana paham,” gumam Romi yang kembali membaca pesan dari Raihan. Romi menyimpan kembali ponsel ke atas nakas. Ia dongkol karena tingkah Raiha
Pagi ini, Rania mengunjungi Ratnawan di kantor polisi. Gadis itu datang sendiri dengan berbekal satu rantang berisi makanan yang dibuatnya. Raihan sempat menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Rania justru menolak. Takut merepotkan alasannya, padahal ia hanya malu bertemu dengan pria itu.Rania segera menyalami Ratnawan saat polisi masih menggiring sang papa ke meja pertemuan. Gadis itu membantu menggeser kursi untuk memudahkan papanya duduk. Setelahnya, ia kembali ke kursi dan membuka kotak makan yang sengaja ia bawa dari rumah.“Gi-gimana kabar Papa?” tanya Rania. Jujur saja, ia merasa sedikit aneh karena harus bertanya kabar dengan Ratnawan. Dahulu, ia tak pernah sekalipun bertanya hal remeh seperti ini, yang ada saat bertemu justru Rania memukul-mukul perut papanya.“Kamu banyak berubah, Rania,” ucap Ratnawan dengan seuntai senyum.Rania menghentikan aktivitas membuka makanan untuk sesaat, kemudian menyunggingkan senyum. &ldqu
Rumi yang baru tiba di rumah tiba-tiba disambut oleh orang tuanya di ruang keluarga. Ia terpaksa duduk meski raganya ingin sekali beristirahat. Tak banyak hal yang ia lakukan seharian ini. Hanya saja, melihat Raihan yang seolah menganggapnya tak ada, ia benar-benar merasa tertekan.“Besok, kita akan mengunjungi rumah Nak Raihan, Rum,” ujar sang ayah, Rizal.“Kamu siap-siap ya, Rum,” sahut Rahma.Rumi seketika menunduk dalam, menutupi pipi yang bersemu. Jemarinya saling mengait di atas rok. Meski sudah dibendung, senyum akhirnya terbit dari bibir. Akan tetapi, ketika mengingat Rania, hatinya kembali terkoyak.“Bapak akan utarakan niat baik kita menikahkan kalian pada bapak Nak Raihan besok,” lanjut Rizal.“Apa ... tak terlalu cepat, Pak?” Rumi bertanya. Perasaannya begitu campur aduk saat ini. Senang, malu, takut menjadi satu. “Kita baru saja lulus SMA.”“Niat baik harus disege
Langit malam sudah bersolek dengan taburan bintang dan keindahan bulan. Romi pulang dengan cucuran keringat. Lelaki itu lantas membersihkan diri, kemudian melaksanakan salat magrib. Selesai beribadah, ia duduk di bibir kasur, lalu meraih sebuah foto yang ada di atas nakas.Romi memandangi potret dirinya dan Raihan yang tengah saling merangkul. Keduanya masih berbalut seragam SMA dengan ekspresi tersenyum ke arah kamera. Bibirnya mengulas senyum, kemudian menyimpan kembali benda itu ke asalnya.Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Romi hanya menanggapi dengkusan. Tubuhnya melorot ke kasur dan dengan cepat menarik selimut. Walau begitu, suara gedoran pintu berhasil membuat raganya kembali bangkit. Dengan berat hati, ia melangkah menuju arah depan.“Awas aja kalau itu lu, Rosa,” ujar Romi geram, “gue bakal usir lu.”Romi segera membuka pintu. Begitu celah terbuka lebar, secara tiba-tiba ia disambut dengan tendangan seseorang. Syukurlah,