Rania mengerjap beberapa kali. Kepalanya masih pusing akibat pengaruh obat bius. Butuh beberapa waktu agar penglihatannya kembali seperti semula. Ketika matanya berangsur normal, ia sontak tercengang ketika menyadari jika tubuhnya dililit tali dan mulut dibekap lakban. Kejadian ini mengingatkannya pada aksi penculikan yang dilakukan papanya sendiri. Akan tetapi, saat menoleh ke samping, pria tambun itu justru tak terlihat perut buncitnya. Sebenarnya, di mana Rania sekarang?
“Ke mana tujuan kita?” Seseorang bertanya.
Rania menebak bila dirinya tengah berada di sebuah mobil. Meski keadaan remang, ia melihat ada empat orang yang berada di kendaraan termasuk dirinya. Gadis itu memilih berpura-pura tertidur untuk bisa mengumpulkan informasi. Kalau memang orang-orang ini suruhan papanya, ia jujur tidak akan akan melawan meski kesal karena harus diikat seperti bayam di pasar.
“Ke tempat yang bos Ramon bilang,” jawab seorang lagi.
Rania so
Setelah melarikan diri dari Ramon, Raihan bergegas menuju ke tempat para santri berada. Ia harus memberitahu mereka kalau pesantren dalam keadaan bahaya. Jauh di dalam pikirannya, Raihan terus disesaki dengan perkataan Ramon yang mengatakan kalau sebenarnya keluarga Ratnawan adalah keluarga mafia, dan dirinya dipilih untuk menggantikan posisinya.Raihan mengambil napas panjang. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah berusaha tenang, mengenali masalah, lalu memprioritaskan hal penting apa yang harus ia lakukan lebih dahulu.“Romi!” panggil Raihan berkali-kali. Ia harus membawa seluruh santri yang mengejar si pelaku tadi kembali ke pesantren. Dengan begitu, ia mampu menyelematkan para santri yang masih terjebak di sana. Raihan hanya berharap kalau ocehan Ramon yang akan membakar pesantren hanya gertakan.“Han!” Terdengar sahutan entah dari mana.Raihan mempercepat langkah kaki. Ia akan bersyukur kalau teman-temannya ber
Raihan segera berbaring di tanah begitu sampai di tempat evakuasi. Napasnya masih tersengal di mana dadanya tampak kembang kempis. Lelaki itu menoleh saat Romi duduk di sampingnya. Ia ikut duduk untuk menerima segelas air. Benar juga, kerongkongannya rasanya ikut terbakar.“Gue harus cek keadaan Rania dulu,” kata Raihan seraya berdiri.“Lu obatin luka lu dulu sebelum ngurusin orang lain.” Romi berucap tanpa menoleh.Raihan membalas dengan dehaman. Lelaki itu segera menyisir sekeliling, menyibak kerumunan santri. Senyumnya yang merekah perlahan surut, tenggelam bersama tanya mengenai keberadaan Rania.Beberapa kali mengecek keadaan, Raihan belum menemukan keberadaan Rania. Ia akan bersyukur jika gadis itu masih marah padanya dibanding menghilang seperti ini.“Kamu tahu di mana Rania?” tanya Raihan saat Rumi berjalan ke arahnya.Rumi tercenung kaget. Setetes air mata akhirnya jatuh membasahi pipi. “Buk
Gelap masih bersarang di mata Rania. Ini kali kedua gadis itu harus takluk pada obat bius yang merenggut kesadaran. Kepalanya kian bertambah pening. Ia juga tak leluasa bergerak karena raganya terikat di kursi. Angin merangkak melalui celah jendela, menebar dingin di sekujur tubuh. Rania sadar sepenuhnya.“Hai,” sapa seseorang.“Kurang ajar!” bentak Rania, berontak dari kursinya. Ikatan tali di tubuhnya benar-benar kuat. Ia tahu suara menyebalkan itu milik siapa. “Lepasin gue, Salmon!”Ramon membuka kain yang menutupi mata Rania, lalu memberi senyuman.“Di mana gue?” Rania memindai sekeliling. Banyak tumpukan drum, kotak bekas, juga di setiap sudut ruangan. Bangunan ini selayaknya gudang. “Jangan macam-macam sama gue, Salmon!”“Aku punya hadiah menarik buat kamu.” Ramon mengitari Rania dengan senyuman lebar.Demi sempak kuda, Rania sama sekali tak semringah apalagi
Sudah Rania bilang kalau ia benci Raihan, kan?Rania tidak bosan untuk menggemakan hal itu dalam pikirannya. Bagaimana tidak? Lelaki itu sudah menghangatkan pipinya dengan air mata. Gadis itu sengaja mengingat hal lucu agar tayangan tadi tak menohok perasaan. Awalnya memang berhasil, ia tertawa sendiri di remangnya ruangan, persis seperti jomblo yang girang karena malam minggu hujan. Namun, ia tak bisa membohongi perasaan.“Si Raiko emang bego! Lu pikir lu hebat gitu pas nerobos api buat neyelamatin gue?” Bibir Rania mengerucut. “Dasar sok kegantengan! Kenapa lu gak nyelamatin diri lu sendiri aja? Apa biar bisa ngeledekin gue?”Rania berontak untuk melepaskan diri, tetapi kungkungan tali benar-benar kuat menjerat. “Padahal gue udah hina lu sama bokap lu. Terus kenapa lu masih mau nyelamatin gue?”Rania terisak ketika teringat kejadian di ruang UKS. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan emosi ketika mendengar bahwa Raihan da
Rania menutup mulut ketika tidak sengaja menyenggol tumpukan kardus. Matanya sontak membola begitu melihat Raihan berada di depannya. “Raihan,” lirihnya.Rania tanpa sadar merangkai senyum saat mendapati Raihan dalam keadaan baik-baik saja. Nyatanya Ramon sudah berbohong padanya. Ketika akan berdiri, tiba-tiba saja ia dikejutkan tingkah Raihan yang justru keluar dari ruangan setelah melihatnya. “Raihan.” Rania berusaha berdiri. Akan tetapi, tangis dan ketakutannya justru mencegah raganya bergeser dari tempat. Ia hanya mematung saat Raihan menutup pintu. “Raihan benci gue,” gumamnya. Akan sangat wajar jika Raihan membencinya saat ini karena ia sudah menghina lelaki itu dan ayahnya, pikirnya.Rania dengan cepat menyeka air mata. Tak ada waktu untuk bersedih. Ia lantas berlari ke arah pintu. Namun, ketika berhasil menggapai kenop pintu, seseorang lebih dahulu menarik tangannya. “Lepas!”
“Kang Raihan,” ucap Rumi dengan senyum tipis terpatri di wajah. Ia dengan segera merogoh saku baju, kemudian memberikan sebuah sapu tangan pada Raihan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar seorang pengawal yang langsung membukakan pintu. “Nona Rania, Tuan Raihan silakan masuk.”Raihan dan Rania masuk ke mobil seperti yang diminta, sedang Romi dan Rumi duduk di mobil satunya. Kendaraan dengan cepat meninggalkan bangunan, lalu menerobos pepohonan di kiri dan kanan jalan.Rania tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Sepanjang perjalanan, tak ada tegur sapa antara dirinya dan Raihan. Mencoba terpejam pun tak bisa. Peristiwa pelukan tadi seringkali memacu semacam perasaan aneh. Akhirnya, Rania memutuskan untuk cemberut sepanjang jalan dan tak bicara pada Raihan. Sementara itu, Raihan sudah terpejam beberapa waktu lalu. Matanya refleks tertutup ketika punggungnya bersandar pada kursi.Rania me
Rania menurunkan selimut ketika mobil mulai memasuki gerbang rumah. Namun, ada hal berbeda yang dirasa gadis itu ketika melihat sekeliling halaman tampak lengang dari penjagaan. Selain itu, tak ada aktivitas yang terlihat. Rumah ini layaknya bangunan tak berpenghuni. Anehnya, ada mobil polisi yang terparkir di samping halaman.Rania setengah berlari menuju pintu ketika mobil baru saja berhenti. Ia sama sekali tak terlalu menggubris panggilan Raihan di belakangnya. “Papa, Mama,” panggilnya dengan pandangan mengedar ke sekeliling.Rania sontak mundur beberapa langkah ketika pintu terbuka dari dalam. Wajahnya dibuat cemberut dengan posisi berkacak pinggang. Gadis itu akan mengangetkan papanya dengan kedatangannya. Saat pria tambun itu menuduh kalau dirinya kabur lagi dari pesantren, ia akan memukul perut Ratnawan layaknya kendang.Wajah cemberut Rania perlahan menghilang ketika Ratnawan keluar dari pintu. Bukan diiringi para pengawal gagah seperti biasa
“Kenapa ini harus terjadi sama papa dan mama?” lirih Rania dengan wajah yang ditutupi kedua tangan.Rania duduk di depan ruangan tempat Risa dirawat. Dokter mengatakan jika kondisi kejiwaan wanita itu terguncang hebat. Kemungkinan paling buruk dari hal itu adalah kegilaan.Rania mengembus napas dalam seraya menyeka air mata. Ini hari paling buruk baginya. Pertama, ia harus melihat papanya digelendang bak pesakitan oleh polisi. Kedua, gadis itu mendapat kabar perihal kondisi mamanya. Ketiga, ia mendapati jika rahasia yang coba dirinya tutupi bersama Raihan malah terkuak ke permukaan, dan orang yang paling terluka mendapati kabar peristiwa terakhir tak lain adalah Rumi.Setelah peristiwa di rumah tadi, tak ada satu pun yang bicara. Bisu berkuasa hingga rumah sakit. Rania tahu jika Rumi ingin memangis. Mata penuh ombaknya tak kuasa berbohong. Tak ada lagi wajah hangat yang Rania lihat dari gadis itu, yang tampak hanya wajah murung dengan jemari tangan g
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu