“Kang Raihan,” ucap Rumi dengan senyum tipis terpatri di wajah. Ia dengan segera merogoh saku baju, kemudian memberikan sebuah sapu tangan pada Raihan.
“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar seorang pengawal yang langsung membukakan pintu. “Nona Rania, Tuan Raihan silakan masuk.”
Raihan dan Rania masuk ke mobil seperti yang diminta, sedang Romi dan Rumi duduk di mobil satunya. Kendaraan dengan cepat meninggalkan bangunan, lalu menerobos pepohonan di kiri dan kanan jalan.
Rania tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Sepanjang perjalanan, tak ada tegur sapa antara dirinya dan Raihan. Mencoba terpejam pun tak bisa. Peristiwa pelukan tadi seringkali memacu semacam perasaan aneh. Akhirnya, Rania memutuskan untuk cemberut sepanjang jalan dan tak bicara pada Raihan.
Sementara itu, Raihan sudah terpejam beberapa waktu lalu. Matanya refleks tertutup ketika punggungnya bersandar pada kursi.
Rania me
Rania menurunkan selimut ketika mobil mulai memasuki gerbang rumah. Namun, ada hal berbeda yang dirasa gadis itu ketika melihat sekeliling halaman tampak lengang dari penjagaan. Selain itu, tak ada aktivitas yang terlihat. Rumah ini layaknya bangunan tak berpenghuni. Anehnya, ada mobil polisi yang terparkir di samping halaman.Rania setengah berlari menuju pintu ketika mobil baru saja berhenti. Ia sama sekali tak terlalu menggubris panggilan Raihan di belakangnya. “Papa, Mama,” panggilnya dengan pandangan mengedar ke sekeliling.Rania sontak mundur beberapa langkah ketika pintu terbuka dari dalam. Wajahnya dibuat cemberut dengan posisi berkacak pinggang. Gadis itu akan mengangetkan papanya dengan kedatangannya. Saat pria tambun itu menuduh kalau dirinya kabur lagi dari pesantren, ia akan memukul perut Ratnawan layaknya kendang.Wajah cemberut Rania perlahan menghilang ketika Ratnawan keluar dari pintu. Bukan diiringi para pengawal gagah seperti biasa
“Kenapa ini harus terjadi sama papa dan mama?” lirih Rania dengan wajah yang ditutupi kedua tangan.Rania duduk di depan ruangan tempat Risa dirawat. Dokter mengatakan jika kondisi kejiwaan wanita itu terguncang hebat. Kemungkinan paling buruk dari hal itu adalah kegilaan.Rania mengembus napas dalam seraya menyeka air mata. Ini hari paling buruk baginya. Pertama, ia harus melihat papanya digelendang bak pesakitan oleh polisi. Kedua, gadis itu mendapat kabar perihal kondisi mamanya. Ketiga, ia mendapati jika rahasia yang coba dirinya tutupi bersama Raihan malah terkuak ke permukaan, dan orang yang paling terluka mendapati kabar peristiwa terakhir tak lain adalah Rumi.Setelah peristiwa di rumah tadi, tak ada satu pun yang bicara. Bisu berkuasa hingga rumah sakit. Rania tahu jika Rumi ingin memangis. Mata penuh ombaknya tak kuasa berbohong. Tak ada lagi wajah hangat yang Rania lihat dari gadis itu, yang tampak hanya wajah murung dengan jemari tangan g
Dunia seperti membencinya, pikir Rania. Gadis itu telah kehilangan dua orang teristimewa dalam hidupnya. Tak ada lagi tempat bermanja dan berbagi keusilan. Realita seakan menamparnya untuk hidup dalam ruang berbeda. Istana sudah berubah menjadi gubuk, dan sang putri menjelema menjadi rakyat jelata.Tak ada yang tersisa dari kemewahan orang tuanya. Segala harta disita atas dasar kejahatan korupsi dan tindakan kriminal papanya, yang tersisa hanya diri dan permintaan mamanya agar ia tinggal bersama Raihan dan mertuanya.Rania mendorong koper sembari memasuki rumah yang akan ia tempati entah sampai kapan. Jujur saja, bangunan ini tak sebesar kamarnya. Terdapat tiga buah kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga yang dipisahkan oleh sebuah lemari. Tak ada hiasan dinding atau pernik yang mencolok. Kebanyakan hanya potret Raihan dan juga ayah mertuanya. Sedikit aneh karena Rania tak menemukan foto seorang wanita pun di sini.Selain itu, rumah ini terleta
Ingar bingar musik begitu menusuk telinga ketika Ramon memasuki tempat pertemuan yang diubah menjadi tempat pesta. Dentingan gelas berpadu bersama tawa canda dan asap rokok. Kedipan nakal dari wanita-wanita bergincu merah tebal tak menyurutkan langkah Ramon untuk menemukan seseorang yang ia benci di antara kerumunan.“Gue mau bicara sama lu,” ucap Ramon saat menemukan Rendi tengah duduk selagi menikmati minuman.“Dengan senang hati, Tuan Muda.” Rendi membungkuk singkat, kemudian menyodorkan segelas minuman. “Nikmati kemenangan yang kita raih, Tuan.”Ramon langsung menepis hingga gelas dan isinya berceceran di lantai. “Gue gak suka basa-basi. Gue tunggu di balkon.” Pria itu berbalik, lantas mendorong seorang wanita yang tiba-tiba bergelayut manja di lengannya. Saat berada di balkon, Ramon teringat kembali dengan orang asing yang tiba-tiba muncul dalam perkelahiannya dengan Raihan.“Tuan,&rdq
Kejadian terbakarnya pesantren membuat para santri harus dipulangkan ke rumah masing-masing. Proses pembelajaran dihentikan hingga batas tak ditentukan. Syukurlah tak ada korban jiwa. Kerugian hanya sebatas hancurnya dua pertiga bangunan pesantren. Pihak kepolisian tengah menangani kasus ini.Raihan mengetuk pintu kamar Rania berkali-kali. Tak ada jawaban. Lelaki itu meletakkan senampan makanan di meja depan. Raihan coba mengerti bagaimana posisi Rania saat ini. Tak mudah memang kehilangan semua hal berharga sekaligus. Jujur, ia siap menjadi tempat gadis itu berbagi cerita.“Gue akan jenguk papa di kantor polisi,” ujar Raihan setengah berterik. Ia diam di depan pintu selama beberapa waktu, tetapi masih tak ada sahutan dari dalam.Pukul satu siang, Raihan sudah duduk di kantor polisi untuk membesuk Ratnawan. Ia ingin mendengar semua kebenaran langsung dari mertuanya sebelum menuai kejujuran dari bapaknya.Raihan sebenarn
Rania bergegas kembali ke kamar ketika rumah sudah dalam keadaan lengang. Ia buru-buru duduk di bibir kasur. Bayangan saat Raihan ditampar masih bercokol kuat dalam benak. Gadis itu tak menyangka bila Rojak akan melakukan hal itu, padahal Raihan bertanya baik-baik padanya.Rania segera bangkit ketika pintu kamar diketuk. Ia bercermin sesaat, kemudian memutar kenop pintu. Sejujurnya, ia ingin sendiri dan tak ingin diganggu siapa pun.“Ini Bapak,” ucap Rojak di balik pintu.Rania membuka pintu, kemudian mundur untuk memberi jalan pada mertuanya. Ada sepiring besar buah-buahan serta segelas teh hangat yang pria itu bawa. Rania ingin membantu, tetapi Rojak memberi kode agar kembali duduk.“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Rojak sembari menarik kursi di dekat meja.“Ba-baik.” Rania menunduk karena merasa tak nyaman begitu melihat Rojak tersenyum ke arahnya. Bayangan tamparan itu masih kuat tertanam di isi kepala. Tanpa
Seminggu berada di rumah keluarga Raihan merubah sedikit kebiasaan Rania. Ia mulai beradaptasi dengan kehidupan sederhana yang disuguhkan. Memang butuh waktu, tetapi setiap kali ingin mengeluh, ia teringat dengan mama dan papanya.Berbicara mengenai Raihan, Rania malah jadi kaku setiap melihatnya, lebih tepatnya tak tahu harus bicara apa. Memang Raihan seringkali mengetuk pintu kamar untuk sekadar mengingatkan salat atau makan. Namun, ia lebih sering menjawab dengan anggukan atau gelengan. Mulutnya yang berisik dan tak bisa diatur malah jadi mendadak bisu, apalagi saat Raihan menatapnya dalam.Selama seminggu pula Rania berdiam diri kamar. Aktivitasnya tak jauh dari melamun. Ia juga masih butuh waktu untuk menjenguk mama dan papanya. Ia takut tak bisa mengendalikan diri. Sebenarnya gadis itu malu ketika melihat mertuanya dan Raihan sibuk mengurus rumah, tetapi tetap melayaninya dengan baik. Lambat laun muncul perasaan sungkan.“Gue gak boleh jadi beban kel
Seminggu berlalu dengan cepat. Rumi merasa hanya fisiknya saja yang mulai membaik, tetapi tidak dengan hatinya. Gadis itu lebih banyak diam, tenggelam dalam lamunan, terbelenggu kesakitan. Meski ia beberapa kali bertemu dengan Raihan di sekolah, tetapi tak pernah sekalipun lelaki itu datang untuk menjelaskan perihal foto yang terpampang di kediaman orang itu. Jujur saja, ia seperti tak dianggap. Rumi menatap makanannya tak selera. Beberapa kali ia ditegur sang bunda. Ia hanya tersenyum sebagai pengganti maaf. Ia sengaja mengambil porsi lebih sedikit. “Bapak tadi liat Nak Raihan saat di pasar,” ujar Rizal, “sepertinya Nak Raihan sedang sibuk sampai saat Bapak panggil dia gak menoleh.” Mendengarnya, refleks Rumi mendongak. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba mengundang tawa dari orang tuanya. “Kamu kenal dengan gadis yang bersamanya, Rum?” tanya Rizal setelah meletakkan gelas di meja. “Gadis?” Rumi memastikan. Jangan bilang