Raihan dan Rania tiba di kediaman tepat saat tengah hari. Kedatangan mereka disambut bak pangeran dan putri yang baru kembali setelah perjalanan jauh. Karpet merah terhampar sampai ke arah teras, para penjaga dan maid membungkuk di sisi kanan dan kiri jalan. Di selesar rumah, sudah ada Rojak, Ratnawan, Risa serta beberapa penjaga yang berdiri di belakang mereka.
“Kenapa kepala kamu, Han?” tanya Rojak.
“Raihan ... cuma kepeleset aja,” jawab sang empunya nama.
“Kayak bocil aja kepeleset,” sahut Rania yang langsung memasuki rumah.
Obrolan beralih ke ruang keluarga. Kini, Raihan diinterogasi oleh sang bapak dan juga mertuanya. Rania tampak menyilangkan dada dengan mulut mengerucut. Ketika akan menaiki tangga, Ratnawan memintanya untuk ikut duduk.
“Raihan benar-benar gak apa-apa.” Pemuda berhidung bangir itu meyakinkan.
“Segera periksa menantu saya,” ucap Ratnawan pada seo
Setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah toko buku. Sejujurnya, Rania tak suka berlama-lama di tempat seperti ini. Ia mudah sekali mengantuk meskipun baru membaca judul buku. Alhasil, ia hanya mengikuti Raihan.“Ini cocok buat lu,” ucap Raihan sembari memperlihatkan sebuah buku pada Rania. Isi bukunya tentang bagaimana menulis dengan baik, dan itu adalah buku anak SD.“Raiko!” teriak Rania. Beberapa pengunjung serempak menoleh.“Mohon tenang,” ingat pegawai toko dengan senyum ramah.Raihan berusaha menahan tawa sembari menelusuri rak-rak buku.“Lu lagi nyari buku apa, sih? Jangan bilang lu lagi nyari majalah porno?” tuduh Rania.“Hus!” Raihan mengusir Rania dengan sapuan tangan. “Jangan ganggu gue! Mending lu bantuin pegawai toko ngepel lantai. Itu lebih bermanfaat dibanding buntutin gue.”“Raiko!” Rania kembali berteriak.“Mohon tenan
Ramon memacu mobilnya lebih cepat. Ia baru saja membuntuti mobil Rania. Saat kendaraan gadis itu mulai memasuki kawasan hutan, ia kembali memutar arah. Tujuannya saat ini adalah kembali ke rumah. Beberapa jam lalu, Ramon mendapat informasi tambahan mengenai info yang diberikan bawahannya kemarin. Sesuai dugaan, pengawal pribadi yang dimaksud Rania adalah suaminya sendiri.“Ratnawan sialan! Apa tujuannya nikahin Rania sama cowok itu?” Ramon memukul kemudi beberapa kali. Rahangnya mengeras hingga urat lehernya menyembul.Ramon berdecak sembari memukul kursi kosong di samping. Ia masih ingat kalau dirinya sampai menghajar bawahannya hingga babak belur saat mendapat kepastian tentang kabar tersebut. Ramon menyugar rambut yang sedikit panjang. Rencananya untuk menghancurkan keluarga Ratnawan melalui Rania gagal total. Dengan begini, ia sudah tak punya muka lagi di depan papanya.“Tua bangka sialan!” pekik Ramon, “kenapa lu gak henti-hent
Rania perlahan mulai membuka mata. Kepalanya masih agak pusing ketika pandangannya dipaksakan untuk memindai sekeliling. “Mama,” lirihnya.Rania bersandar pada punggung kasur dengan dibantu Risa. Ratnawan dan Raihan tengah duduk di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Dokter baru saja mengecek keadaan gadis itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena Rania hanya syok. Dirasa keadaan membaik, Ratnawan dan Risa memilih pamit. Kini, ruangan hanya diisi oleh Raihan dan juga Rania.Kondisi rumah sudah mulai terkendali. Meski begitu, para penjaga masih mencari keberadaan pelaku. Para pengawal yang berjumlah puluhan orang menyisir dan melakukan pengecekan di seluruh sudut rumah.“Lu sebaiknya tidur,” ucap Raihan.Rania segera memunggungi pemuda itu. Kejadian tadi terus terbayang dalam benaknya. Ia yang akan marah karena Raihan tiba-tiba memeluknya, dikagetkan dengan suara letusan. Setelahnya, ia dibuat berguling-guling beberapa kali
Rania hanya sibuk mengunyah makanan saat Raihan tengah berbicara dengan mama dan papanya. Ia pura-pura tuli saat lelaki itu berbicara tentang rencananya kembali ke pesantren. Beberapa kali Raihan meliriknya, tetapi ia enggan berpaling dari kumpulan daging di meja makan. Gadis itu sudah susah payah kabur dari pesantren, dan dengan menyebalkannya Raihan malah ingin mengajaknya pergi ke sana.“Kenapa gak sekalian ajak Rania?” tanya Ratnawan.Rania seketika tersedak. Ia buru-buru meminum segelas air yang disodorkan Raihan. Setelah tenang, ia kembali mengunyah makanan seolah tak pernah mendengar penuturan barusan.“Saya malah senang jika Rania tinggal di pesantren,” lanjut Ratnawan.Rania tiba-tiba berdiri, kemudian berlari menuju anak tangga. Lewat ekor matanya, ia melihat jika Raihan hendak menyusul. Gadis itu menutup pintu dengan kencang, kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menutup telinga dengan kedua tangan ketika
Ramon menyeka keringat dengan handuk setelah satu jam lamanya berlatih beladiri. Pria itu lantas duduk di kursi panjang, kemudian meneguk sebotol minuman hingga tandas. Tubuhnya yang letih dibuai oleh embusan angin. Taman belakang rumah tampak sepi dari lalu-lalang pelayan.Ramon tiba-tiba teringat dengan pertemuan yang diadakan beberapa waktu lalu. Selama pembahasan, ia tak banyak bicara dan lebih memilih mendengar intruksi dan informasi terbaru seputar tindakan yang akan sang papa ambil. Tak banyak orang yang hadir saat itu. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.Ramon sudah menunggu waktu pertemuan ini tiba. Ia ingin menunjukkan hasil kerjanya dengan memberi informasi jika Ratnawan sudah menikahkan Rania dengan seorang lelaki asing. Saat waktu dan tempat hanya menyisakan keduanya dalam ruangan, ia segera mendekat, kemudian menyodorkan sebuah map ke atas meja. “Pa,” ujar Ramon.
Raihan yang baru saja akan memejamkan mata tiba-tiba dikagetkan dengan suara pintu yang terbuka cukup keras. Begitu ia duduk, sebuah bantal besar melayang ke wajahnya. Ia hanya menghela napas panjang saat si pelaku dengan tanpa dosa langsung memakan kue yang ia bawa.“Ke mana aja lu, Han?” tanya sahabatnya dengan mulut yang sibuk mengunyah.“Gue ... disuruh bokap, Rom.” Raihan kembali berbaring di kasur, memandang langit-langit kamar, lalu menyilangkan tangan menjadi bantalan kepala.Sahabatnya hanya berdeham, sibuk memilah kue. “Siapa cewek yang bareng lu tadi?”Raihan tiba-tiba terbatuk, lantas mengganti posisi menjadi duduk. Sahabatnya segera memberi sebuah gelas yang kemudian diteguk habis oleh Raihan. “Dia ... sepupu gue.”Lelaki tinggi yang bernama Romi itu kembali berdeham. Ia larut dalam aktivitas memakan kue. Barulah saat perut sudah terisi, ia ikut berbaring di kasurnya.R
Ramon memasuki sebuah bangunan kecil di tengah hutan. Beberapa orang sudah tiba lebih dahulu di sana. Saat masuk, asap rokok dan bau alkohol menyambutnya. Pria itu lantas duduk di kursi depan, menatap satu per satu orang yang akan menjadi bagian dalam misinya.“Gue pengen lu semua kerahin anak buah buat ngawasin pesantren selama satu minggu ke depan,” ucap Ramon tanpa basa-basi, “ini misi penting dan gue gak mau ada kesalahan sekecil apa pun. Jangan sampai orang-orang Ratnawan curiga. Untuk tugas selanjutnya, gue bakal kasih info lagi sama lu semua.”Semua orang yang ada di ruangan serempak mengangguk. Suara tembakau yang terbakar dan dentingan gelas menjadi pengiring saat Ramon pergi. Kabar tentang anak buahnya yang dihabisi Ratnawan cukup membuatnya kesal. Ia masih beruntung memiliki satu mata-mata lagi di pasukan musuh bebuyutan papanya itu. Ramon memasuki mobil, lantas memacu kendaraan melewati jalan setapak di antara rindangny
Rania akhirnya bernapas lega. Ia terbayang kenikmatan hidup di rumahnya yang akan segera dirinya dapatkan kembali. “Biar aja si Raiko tinggal di sini. Dia pasti bakalan tebar pesona ke santri-santri cewek. Gue sampai bosan santri di sini ngomongin dia. Lagian apa sih yang menarik dari dia?”Rania cemberut, terlebih saat membayangkan wajah merah dan malu-malu Rumi. “Mereka gak tau aja kalau si Raiko itu sebelas dua belas sama cebong. Muka kayak adonan cimol aja sok jadi idola santri.”Rania terus mencibir Raihan sampai puas. Ketika melihat sebuah tangga kayu yang tergeletak di bawah pohon, ia segera mengambilnya, kemudian menyandarkannya ke tembok. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri, lalu mulai menaiki tangga. Setelah berhasil keluar dari pesantren, ia akan meminta pengawal untuk mengantarnya pulang.Rania refleks menyembunyikan diri ketika cahaya senter hendak mengungkap keberadaannya. Arahnya berasal dari balik tembok. Saat menoleh ke d