Rania merotasikan bola mata saat melirik Raihan yang tengah serius memeriksa hasil bidikan kamera selama berkunjung ke kawasan Sea Life Bangkok Ocean World. Wajah gadis itu tertekuk sebal saat mengingat kalau pemuda di depannya malah menyamakannya dengan berbagai biota laut di tempat ini. Seenak jidat, Raihan bilang kalau dirinya cucu cumi-cumi, tunangan gurita, gebetan ikan kembung, sampai disamakan dengan dugong di serial kartun Upin Ipin. Itu, loh, episode ketika mereka jadi pelaut.
Tak hanya sampai di sana Rania dibuat emosi. Raihan anteng memotret keindahan kawasan Sea Life Bangkok Ocean World, padahal ketika dirinya iseng minta difoto, pemuda itu justru mengusirnya dengan sapuan tangan. Katanya membuat memori penuh saja.
“Gue sebel sama lu, Raiko.” Rania menoleh ke seberang jalan. Tubuhnya dibuat menyamping dengan kaki menyilang.
“Lu gak bakalan jadi cantik kalau terus cemberut kayak gitu.” Raihan menyimpan kembali kamera. Ia cukup puas karena bisa meng
Rania merasa bila hari ini akan menjadi momen yang buruk. Semalam suntuk, ia harus terjaga hingga jam tiga pagi. Alasannya hanya satu, ia takut kalau Raihan tiba-tiba berbuat tak senonoh padanya. Meski masih kantuk, mau tak mau dirinya harus mengikuti Raihan menuju kawasan Khao San Road.“Ayo cepet!” pinta Raihan tanpa menoleh ke arah Rania. Semalam, ia tidur dengan nyenyak. Jadi, hari ini ia amat bersemangat untuk menjelajahi tempat baru.Rania tak menggubris. Sebaliknya, ia malah kian memperlambat laju jalan. Gadis itu masih marah karena tadi pagi Raihan membangunkannya dengan cara menyiramnya.“Ayo!” Raihan menarik-narik tali merah yang sengaja dipasang di antara lengan kirinya dan lengan kanan Rania. Tujuannya agar mereka tidak berpisah dan kehilangan satu sama lain.“Gue ngantuk, Raiko!” Rania balas menarik.Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik menghadap Rania yang sesekali menguap lebar.
Raihan perlahan mengerjap. Setelah penglihatannya kembali normal, pandangannya segera menyisir sekeliling. Ketika menyadari sebuah selang infus tertanam di tangan dan kepala yang sudah diperban, pemuda itu langsung menyadari kalau dirinya sedang berada di rumah sakit.Raihan mendapati Rania tengah terlelap di samping kirinya. Pemuda itu lantas turun dari kasur, kemudian berjalan ke arah pintu keluar di mana para pengawal berada. Ia memanggil salah seorang dari mereka, lantas memintanya untuk membantu memindahkan Rania ke atas kasur. Sepertinya gadis itu tidur dalam posisi tak nyaman.Raihan kemudian duduk di kursi yang ditempati Rania tadi. Kepalanya masih sedikit pusing. Ketika menoleh pada jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Pemuda itu bergegas melaksanakan salat. Setelah usai, ia berbaring di sofa dan tak lama kemudian kembali tertidur. Tepat saat sinar matahari mencumbu kesadaran, ia terbagun.“Makasih, ya,” ujar Raihan se
Ramon berdecak, kemudian melepas genggaman dari dagu Rania. Pria itu lantas menoleh, menatap tajam Raihan yang baru saja masuk ke arah kamar.“Raiko,” lirih Rania seraya mendorong punggung Ramon. Ia segera bersembunyi di belakang punggung Raihan.“Siapa lu?” bentak Ramon tiba-tiba.“Dia ... pengawal pribadi gue,” jawab Rania cepat.“Jangan buat keributan di sini,” ucap Raihan Dingin. Tatapannya masih terkunci pada pria yang masih berada di dalam ruangan. Jelas, Raihan tahu kalau lelaki itu bukan sedang bertamu. Kalaupun tebakannya benar, sudah pasti Rania tidak akan bersembunyi di belakang punggungnya layaknya upil di bawah meja.Ramon mendekat. “Jangan pernah lu berani nyuruh gue!”“Kalau begitu silakan pergi dari sini!”“Gue bilang jangan pernah lu berani nyuruh gue!” Ramon menarik kerah baju Raihan, menyisakan sedikit jarak saat tatapan mereka berte
Raihan dan Rania tiba di kediaman tepat saat tengah hari. Kedatangan mereka disambut bak pangeran dan putri yang baru kembali setelah perjalanan jauh. Karpet merah terhampar sampai ke arah teras, para penjaga dan maid membungkuk di sisi kanan dan kiri jalan. Di selesar rumah, sudah ada Rojak, Ratnawan, Risa serta beberapa penjaga yang berdiri di belakang mereka.“Kenapa kepala kamu, Han?” tanya Rojak.“Raihan ... cuma kepeleset aja,” jawab sang empunya nama.“Kayak bocil aja kepeleset,” sahut Rania yang langsung memasuki rumah.Obrolan beralih ke ruang keluarga. Kini, Raihan diinterogasi oleh sang bapak dan juga mertuanya. Rania tampak menyilangkan dada dengan mulut mengerucut. Ketika akan menaiki tangga, Ratnawan memintanya untuk ikut duduk.“Raihan benar-benar gak apa-apa.” Pemuda berhidung bangir itu meyakinkan.“Segera periksa menantu saya,” ucap Ratnawan pada seo
Setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah toko buku. Sejujurnya, Rania tak suka berlama-lama di tempat seperti ini. Ia mudah sekali mengantuk meskipun baru membaca judul buku. Alhasil, ia hanya mengikuti Raihan.“Ini cocok buat lu,” ucap Raihan sembari memperlihatkan sebuah buku pada Rania. Isi bukunya tentang bagaimana menulis dengan baik, dan itu adalah buku anak SD.“Raiko!” teriak Rania. Beberapa pengunjung serempak menoleh.“Mohon tenang,” ingat pegawai toko dengan senyum ramah.Raihan berusaha menahan tawa sembari menelusuri rak-rak buku.“Lu lagi nyari buku apa, sih? Jangan bilang lu lagi nyari majalah porno?” tuduh Rania.“Hus!” Raihan mengusir Rania dengan sapuan tangan. “Jangan ganggu gue! Mending lu bantuin pegawai toko ngepel lantai. Itu lebih bermanfaat dibanding buntutin gue.”“Raiko!” Rania kembali berteriak.“Mohon tenan
Ramon memacu mobilnya lebih cepat. Ia baru saja membuntuti mobil Rania. Saat kendaraan gadis itu mulai memasuki kawasan hutan, ia kembali memutar arah. Tujuannya saat ini adalah kembali ke rumah. Beberapa jam lalu, Ramon mendapat informasi tambahan mengenai info yang diberikan bawahannya kemarin. Sesuai dugaan, pengawal pribadi yang dimaksud Rania adalah suaminya sendiri.“Ratnawan sialan! Apa tujuannya nikahin Rania sama cowok itu?” Ramon memukul kemudi beberapa kali. Rahangnya mengeras hingga urat lehernya menyembul.Ramon berdecak sembari memukul kursi kosong di samping. Ia masih ingat kalau dirinya sampai menghajar bawahannya hingga babak belur saat mendapat kepastian tentang kabar tersebut. Ramon menyugar rambut yang sedikit panjang. Rencananya untuk menghancurkan keluarga Ratnawan melalui Rania gagal total. Dengan begini, ia sudah tak punya muka lagi di depan papanya.“Tua bangka sialan!” pekik Ramon, “kenapa lu gak henti-hent
Rania perlahan mulai membuka mata. Kepalanya masih agak pusing ketika pandangannya dipaksakan untuk memindai sekeliling. “Mama,” lirihnya.Rania bersandar pada punggung kasur dengan dibantu Risa. Ratnawan dan Raihan tengah duduk di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Dokter baru saja mengecek keadaan gadis itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena Rania hanya syok. Dirasa keadaan membaik, Ratnawan dan Risa memilih pamit. Kini, ruangan hanya diisi oleh Raihan dan juga Rania.Kondisi rumah sudah mulai terkendali. Meski begitu, para penjaga masih mencari keberadaan pelaku. Para pengawal yang berjumlah puluhan orang menyisir dan melakukan pengecekan di seluruh sudut rumah.“Lu sebaiknya tidur,” ucap Raihan.Rania segera memunggungi pemuda itu. Kejadian tadi terus terbayang dalam benaknya. Ia yang akan marah karena Raihan tiba-tiba memeluknya, dikagetkan dengan suara letusan. Setelahnya, ia dibuat berguling-guling beberapa kali
Rania hanya sibuk mengunyah makanan saat Raihan tengah berbicara dengan mama dan papanya. Ia pura-pura tuli saat lelaki itu berbicara tentang rencananya kembali ke pesantren. Beberapa kali Raihan meliriknya, tetapi ia enggan berpaling dari kumpulan daging di meja makan. Gadis itu sudah susah payah kabur dari pesantren, dan dengan menyebalkannya Raihan malah ingin mengajaknya pergi ke sana.“Kenapa gak sekalian ajak Rania?” tanya Ratnawan.Rania seketika tersedak. Ia buru-buru meminum segelas air yang disodorkan Raihan. Setelah tenang, ia kembali mengunyah makanan seolah tak pernah mendengar penuturan barusan.“Saya malah senang jika Rania tinggal di pesantren,” lanjut Ratnawan.Rania tiba-tiba berdiri, kemudian berlari menuju anak tangga. Lewat ekor matanya, ia melihat jika Raihan hendak menyusul. Gadis itu menutup pintu dengan kencang, kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menutup telinga dengan kedua tangan ketika