Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya.
Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria.
“Masuk,” pinta Rojak.
Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan.
“Kamu sudah membaca informasi tentang calon istri kamu?” tanya Rojak tanpa menoleh pada lawan yang diajak bicara. Pandangannya lurus ke depan.
“Su-sudah, Pak,” jawab Raihan setengah berbohong. Sejujurnya, ia hanya membaca nama gadis itu saja.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil dilahap sunyi. Sopir sesekali memberitahu mengenai persiapan pernikahan di lokasi mempelai wanita. Raihan sama sekali tak peduli. Ia lebih memilih menoleh ke sisi jalan, memperhatikan gambaran pemandangan.
Raihan mengamati Rojak dari pantulan kaca. Sekilas ia melihat kabut bersemayam di kedua netra sang bapak. Pria paruh baya itu nyatanya masih tampak gagah di usianya yang hampir menginjak setengah abad. Saat pemuda itu hendak bertanya, mobil segera berbelok dan memasuki sebuah jalan yang sisi kiri dan kanannya dipenuhi pepohonan rindang.
“Pak, kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Raihan, “ini seperti hutan.”
Rojak sama sekali tak menggubris.
Dari kejauhan, Raihan melihat sebuah bangunan. Begitu jarak menipis, ia mendapati sebuah rumah megah dengan pagar tinggi yang mengelilingi gedung. Pemuda itu sempat bercelotoh kalau tempat itulah yang menjadi lokasi pernikahannya. Akan tetapi, tak lama kemudian, ia justru menertawakan dirinya sendiri di dalam hati.
Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan. Mobil memasuki gerbang rumah megah itu, kemudian menepi di depan orang-orang berseregam hitam yang sudah berjajar di sisi kiri dan kanan jalan. Raihan turun dengan perasaan tak tentu, anatara kagum, takut, juga penasaran di saat yang sama. Orang-orang itu mulai membungkuk saat dirinya berjalan.
“Sang pangeran sudah datang,” pekik seorang pria yang berdiri di depan teras bangunan. Suara tepuk tangan dari orang-orang yang membungkuk tadi seketika meramaikan suasana.
Keriuhan ini sungguh membuat Raihan bingung. Ketika menoleh ke arah Rojak, pria itu justru tampak tak terganggu. Pemuda itu kemudian menunduk, mencoba memahami situasi yang terjadi. Entah mengapa semua pandangan tertuju padanya.
Begitu jarak terkikis, pria tambun yang berteriak tadi seketika memeluk singkat Raihan. Ia memerintahkan beberapa pelayan wanita untuk membawanya ke ruangan rias.
“Kamu ikut dengan mereka, Han,” ujar Rojak saat Raihan akan menolak ajakan, “Bapak harus harus ngobrol dulu dengan calon mertua kamu.”
Raihan mengangguk ragu. Saat ia mulai berjalan, ia sempat menoleh ke arah bapaknya dan pria tambun itu yang kini sudah lenyap dilahap pintu. Pemuda itu dibawa ke sebuah ruangan, kemudian diminta untuk memilih beberapa setelan jas yang ditawarkan. Setelah menentukan pilihan, para pelayan wanita itu mulai menata penampilannya.
Di tempat lain, Rania tengah mondar-mandir di dalam kamar. Gadis itu mengurung diri semenjak sadar dari pingsan. Ia tak ingin menemui papa dan mamanya karena jengkel, terlebih saat tahu pria tambun itu menyita seluruh gawainya. Kekesalannya kian bertambah saat tahu jika seluruh rumah sudah dihias dengan dekorasi khas pernikahan.
Rania menghela napas berat. Rasanya butuh kekuatan monster untuk bisa mengobrak-abrik seisi rumah. Ia amat kesal, terlebih saat mengintip melalui celah tirai. Para penjaga sudah lalu-lalang di sekeliling kamar, menjaganya agar tak kabur.
Sebenarnya, Rania bisa saja mengancam akan bunuh diri seperti waktu lalu. Namun, sepertinya kali ini tidak akan berhasil. Papanya sudah tahu kalau hal itu hanya gertakan biasa. Gadis itu pernah mengancam akan terjun dari balkon kamar. Akan tetapi, papanya malah memanggil wartawan untuk mengabadikan momen saat dirinya akan lompat. Katanya, kapan lagi melihat beruang terbang.
“Kesel banget gue!” gerutu Rania sembari mengentakkan kaki.
Rania buru-buru melempar tubuh ke kasur saat pintu kamar diketuk dari luar. Ia menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Di saat seperti ini, gadis itu harus menunjukkan kemampuan akting yang mumpuni. Wajah, tangan dan kakinya sudah ditempeli dengan busa-busa kecil yang menyerupai jerawat. Untuk memuluskan peran, Rania berpura-pura menggigil.
“Bi-bilang ... sama papa gue ... kalau gue sakit. Jadi, pernikahan ini batal,” ucap Rania saat empat pengawal pria masuk ke kamar. “Sekarang, lu semua keluar. Gue mau istirahat.”
Akan tetapi, bukannya menurut, para pengawal itu malah menyingkap selimut, kemudian mengangkat tangan dan kaki Rania tanpa permisi.
Jelas saja Rania tak terima. Matanya seketika memelotot. “Kurang ajar! Lu pikir gue kambing guling! Lepasin gue!” Rania berontak, menggeliat bak cacing kepanasan. Para pengawal itu membawanya ke sebuah kamar, kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. “Gue kutuk lu semua jadi jigong Firaun!”
Empat pengawal pria itu keluar dari kamar. Setelah duduk di kasur, Rania melihat tiga orang pelayan wanita masuk ke ruangan. “Gue ini kena virus baru. Kalian harus jauh-jauh dari gue kalau gak mau ketularan,” ucapnya sembari menunjuk gumpala merah di sekujur tubuh.
Nyatanya, ucapan Rania hanya dianggap angin lalu. Tanpa dinyana, para pelayan wanita itu membawa satu setel pakaian pengantin. Benjolan merah yang menempel dengan cepat disingkirkan. Akting Rania gagal total. Gadis itu kian frustrasi saat Ratnawan tiba-tiba muncul dari celah pintu.
“Bawa si ketek anoa ini ke ruangan tunggu setelah beres,” ujar Ratnawan dengan tatapan tajam. Setelahnya, ia menghilang dari kamar.
Rania langsung mengerucutkan bibir. Ia tahu kalau papanya serius saat mengatakan hal itu. Jujur saja, ia tak berani membantah kalau sudah begini. Mau tak mau, ia harus menurut. Namun, tunggu dahulu. Rania belum melihat hasil riasannya. Ia ingin tahu, apakah dirinya bisa secantik Irene RV atau tidak.
Tak ada masalah dari riasan. Ia justru tampak lebih cantik. Namun, yang menjadi kendala adalah pakaian dan kerudung yang dikenakan. Rasanya sesak dan panas. Ini seperti bukan dirinya saja. Ketika berjalan ke luar kamar, ia mengalami kesulitan karena rok yang panjang dan sempit.
Rania tiba-tiba saja berteriak saat mengingat kalau ia akan menikah dengan seorang ustaz. Pantas saja ia diminta memakai kerudung. Jelas, ini tak bisa dibiarkan. Gadis itu tak mau masa depannya hancur karena pernikahan ini. Untuk itu, ia harus segera kabur. Namun, baru saja celingukan, para pengawal langsung bersiaga di kiri dan kanan.
Rania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Walau bibirnya mulai merangkai senyum, tetapi hatinya penuh dengan sumpah serapah yang tertuju pada papanya. Ia berjanji tidak akan lagi mendoakan pria itu agar mirip Oh Sehun. “Gue gak akan kabur,” ketus Rania sembari berjalan ke tepi untuk melihat kondisi lantai satu. Matanya membola saat melihat ruangan itu sudah tertata dengan rapi. “Nona, calon pengantin pria sudah datang,” ucap salah satu pelayan wanita. “Suruh dia balik,” respons Rania seadanya. Gadis itu buru-buru membelah jalan para pelayan sembari menyentil kening mereka satu per satu. “Gimana calon suami gue?” tanya Rania sembari memutar tubuh. Ia baru ingat kalau belum tahu bagaimana wujud si calon suami. Semalam, papanya memang memasukkan sebuah map berisi biodata mempelai laki-laki itu melalui celah di bawah pintu. Akan tetapi, Rania malah membakarnya saat itu juga. Alhasil, ia amat penasaran sekarang. Apa mungkin calon
Satu hal yang Rania inginkan sekarang hanyalah mengecat wajah papanya saat tidur, lalu mendandani pria itu dengan kostum bayi. Untuk langkah akhir, ia akan memotretnya, lantas menjadikannya sebagai stiker WA. Berbicara tentang masa depan, hal itu sudah raib setelah pernikahan ini terjadi. Realita berkata bila ucapan papanya kemarin bukanlah sekadar gertakan. Saat ini, Rania sudah menyandang gelar istri dari seorang pria yang tengah duduk di sampingnya. Ganteng, sih, dan untungnya bukan aki-aki seperti dalam bayangan. Sejak tadi, Rania terus saja melirik sinis lelaki di sampingnya seraya mengacung-acungkan satu tangan ke udara. Rania bermaksud agar lelaki itu sedikit menjauh dan tak berani macam-macam dengannya. Namun, yang terjadi justru pemuda itu malah mengangkat gelas, lalu memindahkan benda itu ke depan Rania. Dasar laki-laki enggak pernah peka. “Maksud gue tuh, lu jauh-jauh dari gue!” Rania mengerucutkan bibir, kemudian melipat tangan di d
Raihan berdiri di depan pintu selama beberapa waktu. Tangannya masih setia mengetuk benda itu. Tak ada lagi suara balasan Rania. Mengambil napas panjang, Raihan kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celana. Pemuda itu termenung beberapa saat ketika pintu berhasil dibuka, takjub akan suasana yang menurutnya seperti tempat raja dan ratu tinggal. Tak aneh sebenarnya jika melihat kondisi rumah ini yang luasnya berkali-kali dari lapangan sepak bola. Raihan mendekat ke arah kasur sembari menyisir sekeliling. Ia sedikit curiga pada selimut yang hampir menutupi seisi ranjang. Sejujurnya, kalaupun itu Rania, ia tidak akan berbuat macam-macam. Ia lebih memilih tidur di sofa dibanding bersama dengan gadis itu dalam satu tempat. Raihan yang penasaran menyibak selimut yang menutupi kasur. Namun, yang ia lihat hanya bantal dan guling yang disusun sedemikian rupa. Pemuda itu sontak menelisik ruangan. “Ke mana si gadis cerewet itu? Apa mungkin digondol kucing? Apa
Saat pagi, Rania cemberut karena niatan untuk mengecat wajah papanya saat tidur gagal total. Hampir semalaman, waktunya hanya dihabiskan untuk berjaga-jaga, takut jika si Raihan itu tiba-tiba kemasukan mahluk gaib dan menyeruduk layaknya banteng. Meski harus menahan kantuk, Rania rela bergadang demi keselamatan jiwa dan raganya. Alhasil, tampilannya saat bagun benar-benar kacau.Setelah mencuci wajah, Rania bergegas turun ke lantai satu untuk memberi kabar kalau ia disiksa semalaman oleh Raihan. Namun, nyatanya lelaki menjengkelkan itu malah sedang berbincang dengan papa dan mamanya di meja makan. Rania berhenti di anak tangga terakhir, mengamati penampilan Raihan yang dibalut kaus hitam dan celana jin warna biru pudar. Ia dengan cepat menepuk-nepuk pipinya untuk mengusir hal gila yang baru saja terbersit di pikiran.Enggak boleh, batin Rania seraya menggeleng.Setengah jam kemudian, Ratnawan meminta pasangan baru itu untuk duduk di ruang keluarga
Hal pertama yang harus dilakukan Raihan ketika menginjakkan kaki di negeri gajah putih ini adalah segera menjauh dari Rania, berpura-pura tak kenal, menjaga jarak dan jangan sampai orang-orang mengira kalau mereka adalah sepasang suami-istri.Raihan tak peduli bagaimana reaksi Rania sekarang. Baginya sudah cukup ia dekat-dekat dengan gadis itu selama di pesawat. Bukan karena tampang Rania yang jelek ataupun di bawah standar, tetapi karena tampilan gadis itu yang mencolok dengan piyama kuning polkadot ditambah sandal berbentuk Spongebob.Biar saja Rania memelotot dan berteriak di belakangnya. Salah sendiri mengganti nama orang seenak jidat. Lagi pula namanya bukan merek penyedap rasa yang dahulunya dihargai lima ratus dapat dua.Namanya Raihan Amirul Jihad.“Sumpah ya lu, Raiko” Rania berusaha menyejajarkan langkah dengan Raihan. “Tungguin gue!”Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik. “Bisa gak—”&
Rania melempar tubuhnya ke kasur setelah selama setengah jam dengan mati-matian menahan kesal pada Raihan. Gadis itu merentangkan tubuh sembari menguap lebar hingga mengundang tatapan aneh dari Raihan yang baru selesai salat zuhur.“Apa lo liat-liat?” Rania sewot.“Cepetan mandi terus ganti baju,” pinta Raihan.Rania seketika duduk, kemudian melempar bantal pada Raihan. “Jangan berani-berani nyuruh gue! Lu bukan siapa-siapa gue!”“Kenapa masih diem? Cepet mandi atau gue seret ke kamar mandi!” Raihan segera merapikan sajadah, kemudian duduk di sofa.“Bau banget.” Raihan menutup hidung saat pandangannya bertemu dengan Rania“Raiko!” Rania turun dari kasur, kemudian berkacak pinggang dengan tatapan tajam, berharap bila pemuda di depannya hangus.“Gue yang tanggung jawab ke bokap lu selama lu ada di Bangkok. Jadi lu harus nurutin semua perintah gue.”
Rania merotasikan bola mata saat melirik Raihan yang tengah serius memeriksa hasil bidikan kamera selama berkunjung ke kawasan Sea Life Bangkok Ocean World. Wajah gadis itu tertekuk sebal saat mengingat kalau pemuda di depannya malah menyamakannya dengan berbagai biota laut di tempat ini. Seenak jidat, Raihan bilang kalau dirinya cucu cumi-cumi, tunangan gurita, gebetan ikan kembung, sampai disamakan dengan dugong di serial kartun Upin Ipin. Itu, loh, episode ketika mereka jadi pelaut. Tak hanya sampai di sana Rania dibuat emosi. Raihan anteng memotret keindahan kawasan Sea Life Bangkok Ocean World, padahal ketika dirinya iseng minta difoto, pemuda itu justru mengusirnya dengan sapuan tangan. Katanya membuat memori penuh saja. “Gue sebel sama lu, Raiko.” Rania menoleh ke seberang jalan. Tubuhnya dibuat menyamping dengan kaki menyilang. “Lu gak bakalan jadi cantik kalau terus cemberut kayak gitu.” Raihan menyimpan kembali kamera. Ia cukup puas karena bisa meng
Rania merasa bila hari ini akan menjadi momen yang buruk. Semalam suntuk, ia harus terjaga hingga jam tiga pagi. Alasannya hanya satu, ia takut kalau Raihan tiba-tiba berbuat tak senonoh padanya. Meski masih kantuk, mau tak mau dirinya harus mengikuti Raihan menuju kawasan Khao San Road.“Ayo cepet!” pinta Raihan tanpa menoleh ke arah Rania. Semalam, ia tidur dengan nyenyak. Jadi, hari ini ia amat bersemangat untuk menjelajahi tempat baru.Rania tak menggubris. Sebaliknya, ia malah kian memperlambat laju jalan. Gadis itu masih marah karena tadi pagi Raihan membangunkannya dengan cara menyiramnya.“Ayo!” Raihan menarik-narik tali merah yang sengaja dipasang di antara lengan kirinya dan lengan kanan Rania. Tujuannya agar mereka tidak berpisah dan kehilangan satu sama lain.“Gue ngantuk, Raiko!” Rania balas menarik.Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik menghadap Rania yang sesekali menguap lebar.
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b
Rania masuk ke kamar setelah pulang dari pemakaman. Gadis itu duduk di bibir kasur sembari menatap jalan setapak yang ia lalui saat mengantar jenazah mertuanya tadi. Sesekali angin menerobos masuk, menggoyangkan tirai kamar. Rania menyentuh dada yang terasa sempit. Ada bagian dalam dirinya yang tengah bertarung sengit. Antara harap dan menyerah, antara benci dan cinta, antara bertahan dan meninggalkan.Rania mencoba mengerti bagaimana perasaan Raihan setelah mendengar semua kebenaran yang Kiai katakan. Sungguh hal yang tak pernah ia duga bahwa papanya mampu melakukan tindakan yang teramat keji. Sejujurnya, Rania merasa amat takut akan kehilangan, tak siap akan ditinggalkan, kecewa saat Raihan menepis tangannya, terluka saat pemuda itu tak memedulikan kepergiannya.Rania memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diamnya. Tuhan, ia ingin kembali bahagia seperti sedia kala. Tak masalah hidup sederhana, tak peduli hidup tak berselimut harta. Ia hanya tak ingin dirundung lara
Mobil yang Raihan dan Rania tumpangi menepi di halaman pesantren saat malam hampir berada di puncak. Dari lobi pesantren, Kiai dan sang istri sudah menunggu kedatangan mereka. Raihan dan Rania diajak ke dalam untuk beristirahat. Pandangan kedua insan pemilik pesantren itu tampak khawatir, terlebih istri Kiai yang tiba-tiba menangis saat melihat kondisi mereka.Raihan bisu semenjak kedatangannya ke pesantren. Pemuda itu duduk di masjid beralas sajadah setelah mendapat pengobatan. Hatinya begitu perih kala disentuh ingatan. Bongkahan senyum dari sang bapak yang jarang ia lihat itu kini pergi selamanya, meninggalkan tempat menganga dalam hati.Sepanjang malam, Raihan larut dalam sujudnya, memohon ampun dalam doanya. Berkali-kali derai air mata membasahi pipi hingga menetes ke sajadah yang ia pakai. Jika saja waktu itu dirinya bisa membawa sang bapak ke rumah sakit, anadai saja ia tak lemah, bila saja perpisahan mereka tak diisi dengan tingkahnya yang egois, niscaya lukany
Bulan sudah menggantung di cakrawala begitu Raihan dan Rania tiba di tempat yang disebutkan Romi. Kondisi halaman sudah lengang dari semua sisa keributan yang terjadi beberapa jam lalu. Serangga malam yang mengelilingi lampu menjadi saksi saat seseorang mendekat ke arah mereka.Raihan siaga saat suara ranting patah terdengar. Ia meminta Rania berlindung di punggungnya. Satu tangan sudah merogoh saku celana. Satu gerakan aneh, moncong pistol akan mengarah ke kepala.“Turunkan senjata kamu, Raihan,” ucap seorang pria paruh baya. Cahaya lampu menjelaskan siapa sosok tersebut.Raihan menurut begitu tahu siapa yang bicara. “Om Rahmadi,” ujarnya yang langsung disergap keheranan,“bukannya Om ada di rumah sakit? Kenapa Om—”Rahmadi dengan tiba-tiba langsung mendaratkan tamparan ke pipi Raihan. Serangga malam dengan cepat menjauh dari bola lampu begitu suara kulit bertemu kulit itu terdengar. “Dasar bocah bodoh!&rdqu