Kepulan asap menari di atas dua cangkir gelas, meliuk-liuk karena tergoda angin dari pintu depan yang terbuka. Rinai hujan masih enggan reda, tetapi kedua penghuni rumah masih belum bersuara.
Raihan, lelaki berahang tegas itu sesekali mencuri pandang melalui ekor mata. Tampak sang bapak baru saja meletakkan cangkir ke meja. Ada seberkas senyum yang tersungging di bibir. Hari ini adalah kali pertama dirinya bertatap wajah dengan pria berbaju batik itu setelah sekian lama.
“Ada hal yang ingin Bapak sampaikan sama kamu, Han,” ucap pria paruh baya itu tanpa menatap sang putra.
Raihan hanya menunduk, merasa berat untuk sekadar bertemu pandang dengan bapaknya. Ia hanya diam sembari sesekali mengepalkan tangan. Setelah perkataan barusan, ruangan kembali didekap keheningan.
“Kamu harus tahu kalau Bapak menaruh harapan besar sama kamu, Han.”
Raihan mengangguk. Saat mendongak, pemuda itu melihat kristal bening yang menyelimuti bola mata sang bapak. Dilihat dari cara bicara dan situasi yang ada, ia menduga bila akan ada pembicaraan serius.
“Han,” ujar Rojak lembut. Tatapannya menunduk sesaat, kemudian teralih pada putra tunggalnya.
Raihan perlahan mendongak. Ketika pandangannya dengan sang bapak menumbuk, secarik senyum dengan cepat tercipta.
“Ka-kamu ... akan Bapak jodohkan dengan anak teman Bapak,” ujar Rojak.
Senyum yang menghias paras Raihan dengan cepat sirna, berganti dengan tatapan kosong. Pemilik manik cokelat muda itu lantas menggigit bibir bawah, berusaha menetralisir emosi. Pemuda itu itu sangat berharap apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah kesalahan. Namun, saat detak jam terus memekik, kalimat itu tak pernah di tarik.
“Dijodohin?” tanya Raihan hati-hati. Keterkejutan belum sepenuhnya pudar dari parasnya. Saat mengatakan hal tersebut, tangannya tiba-tiba terkepal kuat.
Rojak mengangguk. Pandangannya teralih pada rinai hujan yang kian gigih membasahi bumi. “Dan Bapak gak nerima penolakan apa pun.”
Kepalan tangan Raihan melemah seiring dengan pandangannya yang kembali menunduk. Pemuda itu beberapa kali meneguk saliva, berusaha merangkai kata untuk menyambung percakapan. “Apa ... ini tidak terlalu cepat, Pak?” tanyanya kemudian.
Rojak menggeleng. Pandangannya masih tertuju pada tetes air yang jatuh dari genting.
Raihan kembali menoleh pada sang bapak sebelum berbicara, “Tapi, Raihan masih—”
“Bapak tahu,” sela Rojak cepat.
“Sejujurnya, Raihan masih jauh dari kata siap, Pak. Nikah itu—”
“Ikuti perintah Bapak!” bentak Rojak sembari menggebrak meja. Isi cangkir seketika tumpah ruah membasahi meja kaca. Hening dengan cepat menyergap.
Raihan tercenung singkat. Sorot tajam sang bapak berhasil menguliti keberaniannya secara perlahan. Meski begitu, belum ada kata sepakat atas permintaan tersebut. Bagi pemuda itu, perintah ini sangatlah tidak masuk akal. “Pak,” lirihnya sembari berusaha menggapai tangan orang tua tunggalnya.
Rojak segera menarik tangannya, kemudian mengalihkan pandangan pada sembarang arah. “Ikuti perintah Bapak, Han,” ujarnya dingin.
“Kalaupun harus menikah, Bapak bisa nunggu Raihan sampai—”
“Anggap saja ini permintaan terakir Bapak sebelum Bapak mati,” ucap Rojak penuh penekanan, “kalau kamu memang menghormati dan menganggap Bapak sosok penting dalam hidup kamu, kamu akan menurut dan tidak akan banyak bertanya.”
“Pak,” gumam Raihan dengan mata berkaca-kaca. Bola matanya bergerak gelisah. Rasanya berat untuk sekadar mengangguk. Sulit sekali untuk bisa bernapas dengan normal. Dunia terasa menyempit, sedang mimpi dan cita-citanya terasa terhimpit oleh kenyataan pahit. Tak ada kesempatan bagi pemuda itu untuk membantah.
“Dan kamu akan menikah besok,” lanjut Rojak.
Laksana disirim air es, Raihan seketika membeku. Tangannya membatu sedang hatinya bagai dirajam sembilu. “Be-besok?”
Rojak bangkit dari kursi, kemudian memasuki kamar yang berada paling ujung. Pria berbadan tegap itu kembali dengan selembar map. “Ini biodata gadis yang akan menikah dengan kamu besok.”
Raihan menerima map tersebut, lantas membuka isinya. Sejujurnya, ia tak benar-benar membaca informasi mengenai si gadis yang tertera di sana. Gerakan matanya dibuat seolah tengah mencerna tulisan tersebut. Fakta ini sukses menghantam pikiran dan perasaan, atau malah kewarasan.
“Bapak sudah memberitahu Kiai kalau kamu akan absen selama beberapa hari ke depan,” jelas Rojak, “Bapak juga sudah menyiapkan semua keperluan kamu untuk besok. Bapak tunggu kedatangan kamu jam tujuh pagi.”
“Bagaimana dengan keluarga—”
“Oh, ya, jangan bilang sama siapa pun soal masalah ini,” tandas Rojak.
“Apa yang—”
“Kamu bisa pergi sekarang, Han,” sela Rojak sembari kembali bangkit dari kursi.
Raihan terpejam, lantas menoleh ke arah selasar rumah. Hujan sudah sepenuhnya reda. Pemuda itu bangkit walau terasa sulit. Setelahnya, ia menyalami Rojak, kemudian berjalan menuju teras.
“Wassalamualaikum,” pamit Raihan ketika tubuhnya sudah berada di atas sepeda. Santri dari pesantren itu menatap Rojak lekat-lekat, berharap semua permintaan ini tak lain adalah sebuah candaan. Saat ucapan tak kunjung datang, Raihan mulai secara perlahan mengayuh sepeda.
Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya. Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria. “Masuk,” pinta Rojak. Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan. “Kamu sudah
Rania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Walau bibirnya mulai merangkai senyum, tetapi hatinya penuh dengan sumpah serapah yang tertuju pada papanya. Ia berjanji tidak akan lagi mendoakan pria itu agar mirip Oh Sehun. “Gue gak akan kabur,” ketus Rania sembari berjalan ke tepi untuk melihat kondisi lantai satu. Matanya membola saat melihat ruangan itu sudah tertata dengan rapi. “Nona, calon pengantin pria sudah datang,” ucap salah satu pelayan wanita. “Suruh dia balik,” respons Rania seadanya. Gadis itu buru-buru membelah jalan para pelayan sembari menyentil kening mereka satu per satu. “Gimana calon suami gue?” tanya Rania sembari memutar tubuh. Ia baru ingat kalau belum tahu bagaimana wujud si calon suami. Semalam, papanya memang memasukkan sebuah map berisi biodata mempelai laki-laki itu melalui celah di bawah pintu. Akan tetapi, Rania malah membakarnya saat itu juga. Alhasil, ia amat penasaran sekarang. Apa mungkin calon
Satu hal yang Rania inginkan sekarang hanyalah mengecat wajah papanya saat tidur, lalu mendandani pria itu dengan kostum bayi. Untuk langkah akhir, ia akan memotretnya, lantas menjadikannya sebagai stiker WA. Berbicara tentang masa depan, hal itu sudah raib setelah pernikahan ini terjadi. Realita berkata bila ucapan papanya kemarin bukanlah sekadar gertakan. Saat ini, Rania sudah menyandang gelar istri dari seorang pria yang tengah duduk di sampingnya. Ganteng, sih, dan untungnya bukan aki-aki seperti dalam bayangan. Sejak tadi, Rania terus saja melirik sinis lelaki di sampingnya seraya mengacung-acungkan satu tangan ke udara. Rania bermaksud agar lelaki itu sedikit menjauh dan tak berani macam-macam dengannya. Namun, yang terjadi justru pemuda itu malah mengangkat gelas, lalu memindahkan benda itu ke depan Rania. Dasar laki-laki enggak pernah peka. “Maksud gue tuh, lu jauh-jauh dari gue!” Rania mengerucutkan bibir, kemudian melipat tangan di d
Raihan berdiri di depan pintu selama beberapa waktu. Tangannya masih setia mengetuk benda itu. Tak ada lagi suara balasan Rania. Mengambil napas panjang, Raihan kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celana. Pemuda itu termenung beberapa saat ketika pintu berhasil dibuka, takjub akan suasana yang menurutnya seperti tempat raja dan ratu tinggal. Tak aneh sebenarnya jika melihat kondisi rumah ini yang luasnya berkali-kali dari lapangan sepak bola. Raihan mendekat ke arah kasur sembari menyisir sekeliling. Ia sedikit curiga pada selimut yang hampir menutupi seisi ranjang. Sejujurnya, kalaupun itu Rania, ia tidak akan berbuat macam-macam. Ia lebih memilih tidur di sofa dibanding bersama dengan gadis itu dalam satu tempat. Raihan yang penasaran menyibak selimut yang menutupi kasur. Namun, yang ia lihat hanya bantal dan guling yang disusun sedemikian rupa. Pemuda itu sontak menelisik ruangan. “Ke mana si gadis cerewet itu? Apa mungkin digondol kucing? Apa
Saat pagi, Rania cemberut karena niatan untuk mengecat wajah papanya saat tidur gagal total. Hampir semalaman, waktunya hanya dihabiskan untuk berjaga-jaga, takut jika si Raihan itu tiba-tiba kemasukan mahluk gaib dan menyeruduk layaknya banteng. Meski harus menahan kantuk, Rania rela bergadang demi keselamatan jiwa dan raganya. Alhasil, tampilannya saat bagun benar-benar kacau.Setelah mencuci wajah, Rania bergegas turun ke lantai satu untuk memberi kabar kalau ia disiksa semalaman oleh Raihan. Namun, nyatanya lelaki menjengkelkan itu malah sedang berbincang dengan papa dan mamanya di meja makan. Rania berhenti di anak tangga terakhir, mengamati penampilan Raihan yang dibalut kaus hitam dan celana jin warna biru pudar. Ia dengan cepat menepuk-nepuk pipinya untuk mengusir hal gila yang baru saja terbersit di pikiran.Enggak boleh, batin Rania seraya menggeleng.Setengah jam kemudian, Ratnawan meminta pasangan baru itu untuk duduk di ruang keluarga
Hal pertama yang harus dilakukan Raihan ketika menginjakkan kaki di negeri gajah putih ini adalah segera menjauh dari Rania, berpura-pura tak kenal, menjaga jarak dan jangan sampai orang-orang mengira kalau mereka adalah sepasang suami-istri.Raihan tak peduli bagaimana reaksi Rania sekarang. Baginya sudah cukup ia dekat-dekat dengan gadis itu selama di pesawat. Bukan karena tampang Rania yang jelek ataupun di bawah standar, tetapi karena tampilan gadis itu yang mencolok dengan piyama kuning polkadot ditambah sandal berbentuk Spongebob.Biar saja Rania memelotot dan berteriak di belakangnya. Salah sendiri mengganti nama orang seenak jidat. Lagi pula namanya bukan merek penyedap rasa yang dahulunya dihargai lima ratus dapat dua.Namanya Raihan Amirul Jihad.“Sumpah ya lu, Raiko” Rania berusaha menyejajarkan langkah dengan Raihan. “Tungguin gue!”Raihan mengembus napas panjang, kemudian berbalik. “Bisa gak—”&
Rania melempar tubuhnya ke kasur setelah selama setengah jam dengan mati-matian menahan kesal pada Raihan. Gadis itu merentangkan tubuh sembari menguap lebar hingga mengundang tatapan aneh dari Raihan yang baru selesai salat zuhur.“Apa lo liat-liat?” Rania sewot.“Cepetan mandi terus ganti baju,” pinta Raihan.Rania seketika duduk, kemudian melempar bantal pada Raihan. “Jangan berani-berani nyuruh gue! Lu bukan siapa-siapa gue!”“Kenapa masih diem? Cepet mandi atau gue seret ke kamar mandi!” Raihan segera merapikan sajadah, kemudian duduk di sofa.“Bau banget.” Raihan menutup hidung saat pandangannya bertemu dengan Rania“Raiko!” Rania turun dari kasur, kemudian berkacak pinggang dengan tatapan tajam, berharap bila pemuda di depannya hangus.“Gue yang tanggung jawab ke bokap lu selama lu ada di Bangkok. Jadi lu harus nurutin semua perintah gue.”
Rania merotasikan bola mata saat melirik Raihan yang tengah serius memeriksa hasil bidikan kamera selama berkunjung ke kawasan Sea Life Bangkok Ocean World. Wajah gadis itu tertekuk sebal saat mengingat kalau pemuda di depannya malah menyamakannya dengan berbagai biota laut di tempat ini. Seenak jidat, Raihan bilang kalau dirinya cucu cumi-cumi, tunangan gurita, gebetan ikan kembung, sampai disamakan dengan dugong di serial kartun Upin Ipin. Itu, loh, episode ketika mereka jadi pelaut. Tak hanya sampai di sana Rania dibuat emosi. Raihan anteng memotret keindahan kawasan Sea Life Bangkok Ocean World, padahal ketika dirinya iseng minta difoto, pemuda itu justru mengusirnya dengan sapuan tangan. Katanya membuat memori penuh saja. “Gue sebel sama lu, Raiko.” Rania menoleh ke seberang jalan. Tubuhnya dibuat menyamping dengan kaki menyilang. “Lu gak bakalan jadi cantik kalau terus cemberut kayak gitu.” Raihan menyimpan kembali kamera. Ia cukup puas karena bisa meng