Anisa dan Rara langsung ke kantin setelah kelas selesai. Kejadian tadi pagi masih saja terbayang di kepala Anisa. Ia benar-benar harus mengontrol diri agar tidak terjadi lagi."Kamu mau makan bakso, Sa?" tanya Rara yang sudah celingukan dengan berbagai menu di sudut kantin.Anisa masih diam, duduk tegak layaknya patung."Sa." Rara kembali memanggil. Barulah Anisa tersadar, "Iya, Ra," katanya dengan raut wajah biasa saja. Rara mengerutkan kening, rupanya sang teman tidak memperhatikan."Aku kadang suka kesel sama kalian berdua," ungkap Rara."Aku sama Karisma?" tanya Anisa.Rara mengangguk cepat."Alasannya?" Anisa bertanya lagi."Karena kalian kadang asyik sendiri kalau lagi berduaan sama aku." Posisi Rara masih berdiri. "Aku ini temanmu, lho. Makhluk hidup, masa dikacangin!" Kini Rara mengubah mimik wajah dengan ekspresi sedih.Anisa tertawa kecil. "Maaf, tadi aku kurang fokus." "Lupakan soal itu. Sekarang kamu mau makan apa?" Rara menyela.Mulut Anisa hendak terbuka, tetapi suara b
Azman bersikap biasa saja setelah mencuri moment pertama Anisa, sedangkan istrinya tidak berbicara sampai kendaraan mereka sampai di lampu merah."Saya ingin makan steak hari ini. Kalau kamu?" tanya Azman santai.Keadaan di mobil hening. Berbanding terbalik dengan suasana di luar mobil. Bising dan penuh dengan ketidaksabaran para pengendara jalan. Tak jarang pula kata-kata kasar keluar sebagai pengiring kekesalan mereka. Sudah biasa, tetapi bukan artinya harus dinormalisasi. Ditunggu selama dua menit, tidak ada jawaban apa pun dari Anisa. Hal ini menarik perhatian Azman sehingga menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Perempuan itu rupanya sedang melamun. Apa Azman terlalu egois atas tindakannya di parkiran? Padahal ia sudah berjanji untuk meminta izin. "Kamu melamun?" Azman bertanya lagi. Barulah Anisa mengerjapkan mata dan menatap ke arahnya. "Kenapa?"Sejenak Anisa diam, lalu perlahan membuka bibir dan berkata, "Pak Azman masih tanya kenapa." Suaranya diikuti rasa kesal.Azman meng
"Tentu." Dengan yakin Azman menjawab pertanyaan Anisa. Hati kecilnya tidak berbohong, ia ingin menjadi ayah. Akan tetapi, jalannya tentu lumayan sulit. Mengingat Anisa belum tentu menginginkan hal yang sama dan mereka pun belum pasti bisa bersama selamanya.Jawaban Azman tidak terlalu mengejutkan untuk Anisa. Wajar. "Begitu, ya, Pak." Kembali mengalihkan pandangan ke arah jalan."Kalau kamu sendiri?" Azman masih penasaran. Berharap sang istri pun memiliki misi yang sama.Anisa sejenak diam, kemudian berkata, "Entahlah, Pak. Saya belum berpikir sejauh itu."Bagi Anisa, mengurusi hidupnya sendiri saja belum terlalu baik. Lantas atas dasar apa Anisa harus menghadirkan nyawa orang lain untuk diurusi? Mungkin bukan tidak ingin, tetapi belum sepenuhnya siap. Takut tidak bisa bertanggung jawab."Maaf, Kak. Pesanannya." Tiba-tiba seorang pelayan datang membawa dua piring steak lengkap dengan jus jeruk. Anisa menoleh, memperhatikan tangan karyawan itu dengan teliti menyimpan satu per-satu pir
Weekend pun tiba. Anisa berencana mengunjungi sang kakak di rumah. Namun, harus dibatalkan karena Azman mendadak memberikan dua tiket konser salah satu band kesukaannya."Pak Azman tau dari mana saya suka band ini?" tanya Anisa ketika mereka duduk di kursi halaman belakang.Bunga mawar sedang tumbuh juga bermekaran. Harumnya semerbak, menarik setiap orang untuk tetap diam memandang.Azman menyeruput lebih dahulu segelas kopi hangat buatan istrinya. Membiarkan Anisa penasaran dalam beberapa detik."Minggu kemarin tiketnya sudah habis," sambung Anisa.Tak dipungkiri jika Anisa juga menginginkan hal itu. Hanya saja tak terlaksana karena terlalu lambat mendapatkan informasi.Cangkir teh kembali ke tempat, barulah Azman berbicara. "Teman saya memberikannya karena dia tidak bisa datang."Sudah Anisa duga, mana mungkin lelaki itu lelah mengeluarkan tenaga untuk sekadar tiket konser. "Jadi ini tiket teman Pak Azman?" Dua kertas tiket masih digenggam Anisa. "Saya kira Pak Azman yang mencari."
"Jadi intinya, Pak Azman ini cemburu atau tidak?" Alih-alih menjawab, Anisa justru melontarkan pertanyaan juga.Pertanyaan itu bagaikan anak panah yang tepat sasaran. Azman langsung membungkam mulut.Kening Anisa berkerut kencang. Sudah menunggu selama tiga menit pun, tidak ada jawaban dari Azman. "Menunggu jawaban Bapak seperti membuang waktu. Sudahlah!" Anisa kesal. Bergegas melangkah lebih dahulu ke depan. Katanya mereka akan makan siang lagi di cafe Azman.Seketika Azman tersadar, tetapi Anisa sudah tidak ada di hadapan. "Kalau saya cemburu, apa yang akan kamu lakukan?" Sontak langkah kaki Anisa terhenti. Perempuan itu berdiri sekitar dua meter dari Azman."Saya cemburu karena kamu istri saya. Dibandingkan yang lain, saya lebih berhak atas kamu!" tegas Azman dengan keyakinan penuh.Kalimat itu terdengar dalam dan penuh arti. Mengingatkan Anisa tentang posisinya sekarang, walaupun Anisa sendiri tidak berpikir untuk pergi ataupun menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kedua kaki Azm
Anisa sempat terbuai kalimat manis Azman sekitar lima menit, lalu perempuan secepat kilat menarik diri dan sadar. "Sebutan apa itu, Pak?" Dengan cepat mendorong tubuh Azman. Membebaskan diri agar tidak terseret terlalu jauh.Anisa duduk tegak lagi saat lingkaran tangan Azman terlepas dari pinggangnya. Melirik sana sini seolah sedang mencari sesuatu."Sebutan yang wajar untuk pasangan suami istri." Azman pun turut serta duduk dengan tenang. Mereka hanya berjarak setengah meter saja. "Memangnya ada yang salah dengan itu?"Tidak ada yang salah, tetapi Anisa merasa geli mendengarnya. Mungkin karena belum terbiasa atau bahkan aneh di telinga. "Tidak mungkin kamu terus menyebut saya dengan panggilan bapak," sambung Azman. Pria itu melirik sekilas Anisa yang rupanya masih diam.Jantung Anisa belum stabil setelah pergerakan cepat Azman. Serangan fajar itu seolah-olah mengobrak-abrik jiwanya. Bukan hancur, justru isinya tak karuan."Kan, itu lebih baik, Pak!" Anisa mulai bersuara.Azman memic
Fatur dan Naira duduk di meja pojok kanan yang dekat dengan dinding kaca. Mereka saling berhadapan. Baik Fatur maupun Naira tidak ada yang tahu jika tempat yang mereka kunjungi adalah cafe milik Azman."Silakan pesan apa pun yang kamu mau," kata Fatur.Naira melihat buku menu, semuanya enak dengan harga cukup ramah di kantong. Namun, tidak enak pula jika dirinya yang pertama memesan. "Saya ikut sama Pak Fatur saja."Kening Fatur berkerut. "Ikut sama saya?" Rasanya terlalu ambigu kalimat Naira tersebut. Naira mengangkat kepala dan seketika terdiam. "Kamu yakin mau ikut saya? Kalimatmu itu bisa membuat orang lain salah paham."Beberapa detik ke depan Naira masih diam, kemudian tersadar. "Astagfirullah." Barulah perempuan berjilbab merah itu sadar, rupanya salah menempatkan kata-kata. "Maksudnya, saya memesan sama dengan pesanan Pak Fatur saja."Sudah Fatur duga. Dari kacamatanya, ia bisa melihat jika Naira belum terbiasa dengan watak orang-orang di kota besar yang tidak semuanya baik. N
Sejenak Azman takjub dengan pemikiran Anisa. Perkataan gadis itu tidak ada salahnya. Memang manusia dirancang Allah untuk bisa melindungi diri sendiri. Namun, dengan level kekuatan yang berbeda. Termasuk antara pria dan wanita.Anisa segera mengalihkan pandangan ke deretan buku dengan sampul beragam. "Sebenarnya saya bukan tipe perempuan yang ingin dilindungi laki-laki. Bukan artian saya tidak membutuhkan mereka, tapi bisa melindungi diri sendiri itu jauh lebih baik."Keheningan malam mulai terpecahkan. Suasana hangat lagi dengan percakapan keduanya. Sekarang senyum manis terukir kembali di bibir Anisa. "Nyatanya bergantung pada manusia itu akan mengantarkan kita ke arah kecewa dan luka.""Apa itu alasanmu tidak mau mengandalkan saya?" Tiba-tiba Azman bertanya demikian. Sontak Anisa menoleh lagi ke arahnya. "Pernikahan ini terbentuk karena rasa keterpaksaan darimu, tapi bagi saya tentu tidak. Makanya, saya ingin kamu mengandalkan saya sebagai suami.""Apa untungnya bagi Pak Azman?" S