Weekend pun tiba. Anisa berencana mengunjungi sang kakak di rumah. Namun, harus dibatalkan karena Azman mendadak memberikan dua tiket konser salah satu band kesukaannya."Pak Azman tau dari mana saya suka band ini?" tanya Anisa ketika mereka duduk di kursi halaman belakang.Bunga mawar sedang tumbuh juga bermekaran. Harumnya semerbak, menarik setiap orang untuk tetap diam memandang.Azman menyeruput lebih dahulu segelas kopi hangat buatan istrinya. Membiarkan Anisa penasaran dalam beberapa detik."Minggu kemarin tiketnya sudah habis," sambung Anisa.Tak dipungkiri jika Anisa juga menginginkan hal itu. Hanya saja tak terlaksana karena terlalu lambat mendapatkan informasi.Cangkir teh kembali ke tempat, barulah Azman berbicara. "Teman saya memberikannya karena dia tidak bisa datang."Sudah Anisa duga, mana mungkin lelaki itu lelah mengeluarkan tenaga untuk sekadar tiket konser. "Jadi ini tiket teman Pak Azman?" Dua kertas tiket masih digenggam Anisa. "Saya kira Pak Azman yang mencari."
"Jadi intinya, Pak Azman ini cemburu atau tidak?" Alih-alih menjawab, Anisa justru melontarkan pertanyaan juga.Pertanyaan itu bagaikan anak panah yang tepat sasaran. Azman langsung membungkam mulut.Kening Anisa berkerut kencang. Sudah menunggu selama tiga menit pun, tidak ada jawaban dari Azman. "Menunggu jawaban Bapak seperti membuang waktu. Sudahlah!" Anisa kesal. Bergegas melangkah lebih dahulu ke depan. Katanya mereka akan makan siang lagi di cafe Azman.Seketika Azman tersadar, tetapi Anisa sudah tidak ada di hadapan. "Kalau saya cemburu, apa yang akan kamu lakukan?" Sontak langkah kaki Anisa terhenti. Perempuan itu berdiri sekitar dua meter dari Azman."Saya cemburu karena kamu istri saya. Dibandingkan yang lain, saya lebih berhak atas kamu!" tegas Azman dengan keyakinan penuh.Kalimat itu terdengar dalam dan penuh arti. Mengingatkan Anisa tentang posisinya sekarang, walaupun Anisa sendiri tidak berpikir untuk pergi ataupun menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kedua kaki Azm
Anisa sempat terbuai kalimat manis Azman sekitar lima menit, lalu perempuan secepat kilat menarik diri dan sadar. "Sebutan apa itu, Pak?" Dengan cepat mendorong tubuh Azman. Membebaskan diri agar tidak terseret terlalu jauh.Anisa duduk tegak lagi saat lingkaran tangan Azman terlepas dari pinggangnya. Melirik sana sini seolah sedang mencari sesuatu."Sebutan yang wajar untuk pasangan suami istri." Azman pun turut serta duduk dengan tenang. Mereka hanya berjarak setengah meter saja. "Memangnya ada yang salah dengan itu?"Tidak ada yang salah, tetapi Anisa merasa geli mendengarnya. Mungkin karena belum terbiasa atau bahkan aneh di telinga. "Tidak mungkin kamu terus menyebut saya dengan panggilan bapak," sambung Azman. Pria itu melirik sekilas Anisa yang rupanya masih diam.Jantung Anisa belum stabil setelah pergerakan cepat Azman. Serangan fajar itu seolah-olah mengobrak-abrik jiwanya. Bukan hancur, justru isinya tak karuan."Kan, itu lebih baik, Pak!" Anisa mulai bersuara.Azman memic
Fatur dan Naira duduk di meja pojok kanan yang dekat dengan dinding kaca. Mereka saling berhadapan. Baik Fatur maupun Naira tidak ada yang tahu jika tempat yang mereka kunjungi adalah cafe milik Azman."Silakan pesan apa pun yang kamu mau," kata Fatur.Naira melihat buku menu, semuanya enak dengan harga cukup ramah di kantong. Namun, tidak enak pula jika dirinya yang pertama memesan. "Saya ikut sama Pak Fatur saja."Kening Fatur berkerut. "Ikut sama saya?" Rasanya terlalu ambigu kalimat Naira tersebut. Naira mengangkat kepala dan seketika terdiam. "Kamu yakin mau ikut saya? Kalimatmu itu bisa membuat orang lain salah paham."Beberapa detik ke depan Naira masih diam, kemudian tersadar. "Astagfirullah." Barulah perempuan berjilbab merah itu sadar, rupanya salah menempatkan kata-kata. "Maksudnya, saya memesan sama dengan pesanan Pak Fatur saja."Sudah Fatur duga. Dari kacamatanya, ia bisa melihat jika Naira belum terbiasa dengan watak orang-orang di kota besar yang tidak semuanya baik. N
Sejenak Azman takjub dengan pemikiran Anisa. Perkataan gadis itu tidak ada salahnya. Memang manusia dirancang Allah untuk bisa melindungi diri sendiri. Namun, dengan level kekuatan yang berbeda. Termasuk antara pria dan wanita.Anisa segera mengalihkan pandangan ke deretan buku dengan sampul beragam. "Sebenarnya saya bukan tipe perempuan yang ingin dilindungi laki-laki. Bukan artian saya tidak membutuhkan mereka, tapi bisa melindungi diri sendiri itu jauh lebih baik."Keheningan malam mulai terpecahkan. Suasana hangat lagi dengan percakapan keduanya. Sekarang senyum manis terukir kembali di bibir Anisa. "Nyatanya bergantung pada manusia itu akan mengantarkan kita ke arah kecewa dan luka.""Apa itu alasanmu tidak mau mengandalkan saya?" Tiba-tiba Azman bertanya demikian. Sontak Anisa menoleh lagi ke arahnya. "Pernikahan ini terbentuk karena rasa keterpaksaan darimu, tapi bagi saya tentu tidak. Makanya, saya ingin kamu mengandalkan saya sebagai suami.""Apa untungnya bagi Pak Azman?" S
"Benar." Azman langsung menyahut. Syukurlah Anisa bisa berpikir lebih dalam. "Kita sudah diberi ribuan nikmat oleh Allah. Jadi, tidak seharusnya mengeluh begitu saja."Percakapan setelah salat Subuh itu menyentuh hati keduanya. Kemudian, mereka pun bergegas meneruskan aktivitas masing-masing.Mengenai ajakan Azman untuk menjenguk Bu Dewi pun di-acc oleh Anisa. Mereka akan pergi setelah kelas siang selesai.***Karisma duduk terdiam di ruangan dosen. Menunggu pak Azman datang. Menurut Ciko, Azman ada kelas pagi. Tentu pria itu akan datang lebih pagi dari biasanya."Apa kamu ada keperluan dengan Pak Azman?" tanya Ciko yang rupanya mengendus sesuatu.Karisma duduk di bangku depan meja Azman. Mengangkat kepala, menatap Ciko. "Iya, Pak.""Kalau boleh saya tau, tentang apa?" Ciko terus mengorek, barangkali ada masalah besar yang sedang dihadapi mahasiswi temannya tersebut. Karisma diam sejenak, lalu berkata, "Ini sedikit privasi, Pak." Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu pun hanya me
"Maaf, saya rasa itu terlalu pribadi untuk kita bicarakan yang hanya berstatus dosen dan mahasiswi." Azman menolak pertanyaan Karisma dengan cepat. "Saya ada kelas." Pria itu bergegas pergi dari ruangan, meninggalkan Karisma sendiri. Karisma menunduk lesu. Pada akhirnya pernyataan cinta itu terjadi, sekali pun dirinya tak berpikir sampai sana.***Setelah kelas siang, tepatnya pukul dua siang. Anisa dan Azman satu mobil untuk meluncur ke rumah sakit jiwa. Sebelum itu, mereka menyempatkan diri membeli buket bunga mawar merah, sebab Bu Dewi sangat menyukai itu."Saya penasaran kenapa ibumu sangat suka mawar merah?" tanya Azman ketika mereka keluar dari toko bunga.Anisa berjalan lebih dahulu sambil memegang buket yang berisikan sekitar dua puluh tangkai mawar merah cantik. Sesekali gadis itu mencium semerbak harum sang bunga. Menikmatinya seolah sedang mencium sesuatu yang berharga."Ibu dulu punya banyak tanaman bunga, termasuk mawar merah," jawab Anisa.Keduanya masuk mobil. Tak lupa
Anisa tersentak. Menatap sang ibu yang juga menatapnya."Ibu bilang apa tadi?" Anisa bertanya karena terlalu kaget.Sayangnya kali ini Bu Dewi kembali membungkam mulut bersamaan dengan mendorong tubuh Anisa ke belakang. "Aw!" Anisa terjatuh ke tanah. Azman melihat itu dan bergegas menghampiri istrinya. "Anisa!" Lelaki itu langsung membantu Anisa berjongkok lagi.Anisa menerima bantuan Azman dengan pikiran penuh tanda tanya. Ada apa ini?"Pergi! Pergi dari sini!" Bu Dewi lagi-lagi mengamuk. Memukul kepala Azman dengan kedua tangan seolah tidak sudi bertemu dengan pria itu.Suster yang mengamati cepat tanggap. Menghampiri lagi Bu Dewi dan mencoba menenangkannya. "Tenang, Bu." Suaranya lembut.Anisa dibantu berdiri oleh Azman. Menyaksikan dengan kedua mata tubuh sang ibu memberontak pada suster, bahkan saat bantuan suster lainnya datang."Bawa Bu Dewi ke ruangannya!" Seorang dokter pun datang. Dengan cepat tiga suster memaksa Bu Dewi pergi.Anisa diam. Kedua netranya menjadi saksi kema
Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing