"Jadi intinya, Pak Azman ini cemburu atau tidak?" Alih-alih menjawab, Anisa justru melontarkan pertanyaan juga.Pertanyaan itu bagaikan anak panah yang tepat sasaran. Azman langsung membungkam mulut.Kening Anisa berkerut kencang. Sudah menunggu selama tiga menit pun, tidak ada jawaban dari Azman. "Menunggu jawaban Bapak seperti membuang waktu. Sudahlah!" Anisa kesal. Bergegas melangkah lebih dahulu ke depan. Katanya mereka akan makan siang lagi di cafe Azman.Seketika Azman tersadar, tetapi Anisa sudah tidak ada di hadapan. "Kalau saya cemburu, apa yang akan kamu lakukan?" Sontak langkah kaki Anisa terhenti. Perempuan itu berdiri sekitar dua meter dari Azman."Saya cemburu karena kamu istri saya. Dibandingkan yang lain, saya lebih berhak atas kamu!" tegas Azman dengan keyakinan penuh.Kalimat itu terdengar dalam dan penuh arti. Mengingatkan Anisa tentang posisinya sekarang, walaupun Anisa sendiri tidak berpikir untuk pergi ataupun menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kedua kaki Azm
Anisa sempat terbuai kalimat manis Azman sekitar lima menit, lalu perempuan secepat kilat menarik diri dan sadar. "Sebutan apa itu, Pak?" Dengan cepat mendorong tubuh Azman. Membebaskan diri agar tidak terseret terlalu jauh.Anisa duduk tegak lagi saat lingkaran tangan Azman terlepas dari pinggangnya. Melirik sana sini seolah sedang mencari sesuatu."Sebutan yang wajar untuk pasangan suami istri." Azman pun turut serta duduk dengan tenang. Mereka hanya berjarak setengah meter saja. "Memangnya ada yang salah dengan itu?"Tidak ada yang salah, tetapi Anisa merasa geli mendengarnya. Mungkin karena belum terbiasa atau bahkan aneh di telinga. "Tidak mungkin kamu terus menyebut saya dengan panggilan bapak," sambung Azman. Pria itu melirik sekilas Anisa yang rupanya masih diam.Jantung Anisa belum stabil setelah pergerakan cepat Azman. Serangan fajar itu seolah-olah mengobrak-abrik jiwanya. Bukan hancur, justru isinya tak karuan."Kan, itu lebih baik, Pak!" Anisa mulai bersuara.Azman memic
Fatur dan Naira duduk di meja pojok kanan yang dekat dengan dinding kaca. Mereka saling berhadapan. Baik Fatur maupun Naira tidak ada yang tahu jika tempat yang mereka kunjungi adalah cafe milik Azman."Silakan pesan apa pun yang kamu mau," kata Fatur.Naira melihat buku menu, semuanya enak dengan harga cukup ramah di kantong. Namun, tidak enak pula jika dirinya yang pertama memesan. "Saya ikut sama Pak Fatur saja."Kening Fatur berkerut. "Ikut sama saya?" Rasanya terlalu ambigu kalimat Naira tersebut. Naira mengangkat kepala dan seketika terdiam. "Kamu yakin mau ikut saya? Kalimatmu itu bisa membuat orang lain salah paham."Beberapa detik ke depan Naira masih diam, kemudian tersadar. "Astagfirullah." Barulah perempuan berjilbab merah itu sadar, rupanya salah menempatkan kata-kata. "Maksudnya, saya memesan sama dengan pesanan Pak Fatur saja."Sudah Fatur duga. Dari kacamatanya, ia bisa melihat jika Naira belum terbiasa dengan watak orang-orang di kota besar yang tidak semuanya baik. N
Sejenak Azman takjub dengan pemikiran Anisa. Perkataan gadis itu tidak ada salahnya. Memang manusia dirancang Allah untuk bisa melindungi diri sendiri. Namun, dengan level kekuatan yang berbeda. Termasuk antara pria dan wanita.Anisa segera mengalihkan pandangan ke deretan buku dengan sampul beragam. "Sebenarnya saya bukan tipe perempuan yang ingin dilindungi laki-laki. Bukan artian saya tidak membutuhkan mereka, tapi bisa melindungi diri sendiri itu jauh lebih baik."Keheningan malam mulai terpecahkan. Suasana hangat lagi dengan percakapan keduanya. Sekarang senyum manis terukir kembali di bibir Anisa. "Nyatanya bergantung pada manusia itu akan mengantarkan kita ke arah kecewa dan luka.""Apa itu alasanmu tidak mau mengandalkan saya?" Tiba-tiba Azman bertanya demikian. Sontak Anisa menoleh lagi ke arahnya. "Pernikahan ini terbentuk karena rasa keterpaksaan darimu, tapi bagi saya tentu tidak. Makanya, saya ingin kamu mengandalkan saya sebagai suami.""Apa untungnya bagi Pak Azman?" S
"Benar." Azman langsung menyahut. Syukurlah Anisa bisa berpikir lebih dalam. "Kita sudah diberi ribuan nikmat oleh Allah. Jadi, tidak seharusnya mengeluh begitu saja."Percakapan setelah salat Subuh itu menyentuh hati keduanya. Kemudian, mereka pun bergegas meneruskan aktivitas masing-masing.Mengenai ajakan Azman untuk menjenguk Bu Dewi pun di-acc oleh Anisa. Mereka akan pergi setelah kelas siang selesai.***Karisma duduk terdiam di ruangan dosen. Menunggu pak Azman datang. Menurut Ciko, Azman ada kelas pagi. Tentu pria itu akan datang lebih pagi dari biasanya."Apa kamu ada keperluan dengan Pak Azman?" tanya Ciko yang rupanya mengendus sesuatu.Karisma duduk di bangku depan meja Azman. Mengangkat kepala, menatap Ciko. "Iya, Pak.""Kalau boleh saya tau, tentang apa?" Ciko terus mengorek, barangkali ada masalah besar yang sedang dihadapi mahasiswi temannya tersebut. Karisma diam sejenak, lalu berkata, "Ini sedikit privasi, Pak." Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu pun hanya me
"Maaf, saya rasa itu terlalu pribadi untuk kita bicarakan yang hanya berstatus dosen dan mahasiswi." Azman menolak pertanyaan Karisma dengan cepat. "Saya ada kelas." Pria itu bergegas pergi dari ruangan, meninggalkan Karisma sendiri. Karisma menunduk lesu. Pada akhirnya pernyataan cinta itu terjadi, sekali pun dirinya tak berpikir sampai sana.***Setelah kelas siang, tepatnya pukul dua siang. Anisa dan Azman satu mobil untuk meluncur ke rumah sakit jiwa. Sebelum itu, mereka menyempatkan diri membeli buket bunga mawar merah, sebab Bu Dewi sangat menyukai itu."Saya penasaran kenapa ibumu sangat suka mawar merah?" tanya Azman ketika mereka keluar dari toko bunga.Anisa berjalan lebih dahulu sambil memegang buket yang berisikan sekitar dua puluh tangkai mawar merah cantik. Sesekali gadis itu mencium semerbak harum sang bunga. Menikmatinya seolah sedang mencium sesuatu yang berharga."Ibu dulu punya banyak tanaman bunga, termasuk mawar merah," jawab Anisa.Keduanya masuk mobil. Tak lupa
Anisa tersentak. Menatap sang ibu yang juga menatapnya."Ibu bilang apa tadi?" Anisa bertanya karena terlalu kaget.Sayangnya kali ini Bu Dewi kembali membungkam mulut bersamaan dengan mendorong tubuh Anisa ke belakang. "Aw!" Anisa terjatuh ke tanah. Azman melihat itu dan bergegas menghampiri istrinya. "Anisa!" Lelaki itu langsung membantu Anisa berjongkok lagi.Anisa menerima bantuan Azman dengan pikiran penuh tanda tanya. Ada apa ini?"Pergi! Pergi dari sini!" Bu Dewi lagi-lagi mengamuk. Memukul kepala Azman dengan kedua tangan seolah tidak sudi bertemu dengan pria itu.Suster yang mengamati cepat tanggap. Menghampiri lagi Bu Dewi dan mencoba menenangkannya. "Tenang, Bu." Suaranya lembut.Anisa dibantu berdiri oleh Azman. Menyaksikan dengan kedua mata tubuh sang ibu memberontak pada suster, bahkan saat bantuan suster lainnya datang."Bawa Bu Dewi ke ruangannya!" Seorang dokter pun datang. Dengan cepat tiga suster memaksa Bu Dewi pergi.Anisa diam. Kedua netranya menjadi saksi kema
Anisa menunggu sang suami di perpustakaan. Ingin pulang, tetapi malas mencari taksi atau naik bus. Terlebih cuaca kota sekarang sedang sangat panas.Beberapa buku dipilih Anisa, termasuk salah satu novel yang ada di sana. Menghilangkan rasa penasaran yang terus-menerus mengusik pikiran.Tak ada Rara, tidak ada teman pula. Dari sekian banyak mahasiswa di ruangan perpustakaan. Hanya Anisa yang duduk sendirian. Tidak mengapa, toh Anisa sudah terbiasa.Membaca setiap kalimat di setiap lembaran buku menjadi kesenangan sendiri. Anisa bahkan lupa tentang kejadian hari ini sampai akhirnya ponsel berbunyi. "Astagfirullah," katanya yang lupa mengubah mode ponsel ke getar.Beberapa pandangan mata tertuju pada Anisa. Tentu semua orang tahu jika perpustakaan diwajibkan hening dari suara sekecil apa pun. "Maaf, saya lupa." Anisa mengangguk pelan. Tidak enak juga telah mengganggu kenyamanan penghuni perpustakaan.Dengan sigap perempuan itu merogoh tas. Mengambil benda canggih tersebut. "Siapa yang