Anisa tersentak. Menatap sang ibu yang juga menatapnya."Ibu bilang apa tadi?" Anisa bertanya karena terlalu kaget.Sayangnya kali ini Bu Dewi kembali membungkam mulut bersamaan dengan mendorong tubuh Anisa ke belakang. "Aw!" Anisa terjatuh ke tanah. Azman melihat itu dan bergegas menghampiri istrinya. "Anisa!" Lelaki itu langsung membantu Anisa berjongkok lagi.Anisa menerima bantuan Azman dengan pikiran penuh tanda tanya. Ada apa ini?"Pergi! Pergi dari sini!" Bu Dewi lagi-lagi mengamuk. Memukul kepala Azman dengan kedua tangan seolah tidak sudi bertemu dengan pria itu.Suster yang mengamati cepat tanggap. Menghampiri lagi Bu Dewi dan mencoba menenangkannya. "Tenang, Bu." Suaranya lembut.Anisa dibantu berdiri oleh Azman. Menyaksikan dengan kedua mata tubuh sang ibu memberontak pada suster, bahkan saat bantuan suster lainnya datang."Bawa Bu Dewi ke ruangannya!" Seorang dokter pun datang. Dengan cepat tiga suster memaksa Bu Dewi pergi.Anisa diam. Kedua netranya menjadi saksi kema
Anisa menunggu sang suami di perpustakaan. Ingin pulang, tetapi malas mencari taksi atau naik bus. Terlebih cuaca kota sekarang sedang sangat panas.Beberapa buku dipilih Anisa, termasuk salah satu novel yang ada di sana. Menghilangkan rasa penasaran yang terus-menerus mengusik pikiran.Tak ada Rara, tidak ada teman pula. Dari sekian banyak mahasiswa di ruangan perpustakaan. Hanya Anisa yang duduk sendirian. Tidak mengapa, toh Anisa sudah terbiasa.Membaca setiap kalimat di setiap lembaran buku menjadi kesenangan sendiri. Anisa bahkan lupa tentang kejadian hari ini sampai akhirnya ponsel berbunyi. "Astagfirullah," katanya yang lupa mengubah mode ponsel ke getar.Beberapa pandangan mata tertuju pada Anisa. Tentu semua orang tahu jika perpustakaan diwajibkan hening dari suara sekecil apa pun. "Maaf, saya lupa." Anisa mengangguk pelan. Tidak enak juga telah mengganggu kenyamanan penghuni perpustakaan.Dengan sigap perempuan itu merogoh tas. Mengambil benda canggih tersebut. "Siapa yang
Malam datang menyapa manusia. Anisa dan Azman sampai di rumah tepar pukul lima sore. Niat baik Fatur pun disampaikan Anisa pada Azman. "Datang saja. Kita bisa makan malam bersama," katanya dengan santai. Anisa tak menjawab lagi, hanya cukup berterimakasih.Selanjutnya, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak lupa Anisa meminta Bi Yayah menyiapkan makan malam spesial, sementara ia sendiri perlu menyiapkan pakaian tidur serta air hangat untuk sang suami.Sebenarnya Azman tak masalah sekali pun tidak dipersiapkan, tetapi Anisa sadar diri bagaimana perannya di rumah ini."Pak Azman mau langsung mandi atau saya duluan?" tanya Anisa sebelum masuk kamar mandi.Keduanya berada di kamar sekarang. Terlihat Azman berbaring di kasur, tampaknya lelah."Untuk menghemat waktu karena sebentar lagi salat Magrib. Bagaimana kalau mandi bersama saja?" Azman dengan santai mengusulkan ide gila itu."Apa!" Anisa yang berdiri di depan cermin hias pun terkejut sekaligus menoleh ke arah Azman. "Mandi
Fatur datang sesuai janji. Kali ini pria itu langsung makan malam bersama Anisa dan Azman."Kakak, belum menjenguk ibu, bulan ini?" Anisa memulai percakapan di meja makan.Posisi Fatur saling berhadapan dengan Anisa, sedangkan Azman sendiri berada di samping kiri Anisa.Tongseng ayam buatan Bi Yayah memang super pedas dan enak. Berkali-kali Fatur memuji bahkan meminta untuk dibawa pulang. Tidak malu? Ah … biarkan saja. Dia merasa senang dengan masakan rumahan."Kakak baru menjenguk ibu tadi. Kemarin-kemarin, Kakak sibuk." Fatur menjawab sesuai realita. Menatap Anisa lekat. "Mungkin Kakak juga baru bisa menjenguk ibu lagi bulan depan.""Kenapa?" Anisa langsung menyahut.Azman cukup menyimak. Rasa gurih kuah tongseng ini lebih menggoda dibandingkan percakapan kakak beradik di dekatnya. Fatur mengunyah lebih dahulu. Ternyata makan di rumah Anisa lebih menyenangkan dibandingkan makan sendiri di rumahnya. Nasi bisa ditelan dengan baik, bahkan kenikmatannya bisa dirasakan begitu dalam."Ka
"Saya suaminya Anisa." Azman seketika menjawab. Fatur semakin menatap tajam. "Selain itu." Entah apa yang dirasa, tetapi Fatur rupanya mulai menaruh curiga.Anisa datang dengan dua gelas teh hangat. Duduk di samping Fatur dan berkata, "Kakak, mau menginap?" tanyanya tanpa meminta izin pada Azman. Sepertinya gadis itu masih kesal perihal di meja makan tadi.Azman melirik Anisa sekilas."Tidak bisa, Dek." Fatur memahami keadaan. Menerima jamuan sang adik dengan mencicipi teh di gelas, kemudian menyimpannya kembali. "Masih banyak pekerjaan yang harus Kakak selesaikan."Anisa tak bermaksud memaksa, hanya saja rasanya rindu ini belum terobati. "Semalam saja?" Kali ini perempuan itu merajuk.Fatur tertawa kecil sambil mengusap pucuk kepala sang adik yang kini tak memakai hijab. "Kakak jadi ingin kamu kembali ke Anisa kecil lagi."Azman mengambil cangkir teh miliknya. Menyeruput perlahan dan merasakan sedikit keganjilan. Rasanya beda, ada asin yang terasa. Benarkah ini teh manis? Azman kemb
Rara menemani Anisa di perpustakaan. Sesekali mereka mengobrol dengan suara pelan demi kenyamanan."Sa, katanya Karisma menemui kamu, ya?" Rara baru ingat tentang ini.Keduanya duduk saling berhadapan. "Benar." Anisa tak memungkiri."Apa yang dia katakan?" tanya Rara penasaran.Anisa sejenak diam, membaca kalimat terakhir di lembaran kelima putih dari novel. Kemudian, berkata, "Dia bilang habis mengatakan cinta ke Pak Azman." Kedua bola mata Rara membesar, tak percaya. "Astagfirullah, dia beneran lakuin itu?" Dari ekspresinya saja sudah menunjukan jika Rara tidak menyangka.Anisa mengangguk pelan. Tak ada yang perlu disembunyikan."Lalu, tanggapan kamu bagaimana, Sa?" Selanjutnya, rasa penasaran Rara menggiring perempuan itu untuk mengetahui perasaan Anisa. Jelas saja temanya tersebut adalah seorang istri dari lelaki yang dicintai Karisma. Terlebih Karisma mengatakannya langsung seolah tanpa peduli apa pun. "Kamu pasti marah, kan?" Alih-alih marah, Anisa lebih cenderung kasian. Sifat
Kelas selesai tepat sebelum azan Dzuhur. Azman istirahat sebentar di ruangan dosen, menunggu waktu salat datang sambil bermain ponsel. Suasana hati Azman cukup menyenangkan, tetapi juga disiksa rindu pada sang istri. Sebab, sampai siang ini Azman belum bisa bertatap muka lagi dengan Anisa.Azan berkumandang. Azman bergegas ke masjid kampus. Melaksanakan kewajiban sebagai muslim sebelum akhirnya menemui sang istri yang sudah terlebih dahulu diminta menunggu di mobil.Baik Anisa maupun Azman tak ada kelas siang. Azman akan ke kampus kembali pukul empat sore untuk mengisi satu kelas sore. Hal ini dimanfaatkan Azman untuk mengajak sang istri berjalan-jalan, walaupun terik matahari memang sedang sangat tinggi. Salat selesai. Azman bergegas ke parkiran mobil. Begitu kedua kaki sampai di sana, ia menemukan Anisa sudah berada di dalam mobil dengan wajah berseri-seri menyambut kedatangannya.Azman membuka pintu. "Maaf, saya lama." Masuk dan langsung menutupnya secepat mungkin. Entah angin dari
Melihat Anisa yang tak berkutik. Azman langsung berdiri, menepuk pundak kanan istrinya seraya berkata, "Anisa." Tampak jelas Anisa terkejut, kemudian menoleh. "Astagfirullah," kata Anisa.Dua bola mata masing-masing dari mereka saling bertemu di antara perhatian pengunjung yang lain. Sementara sosok tinggi segera pergi ke dapur, ada banyak hal yang perlu dilakukan."Kamu kenapa?" Sekali lagi Azman bertanya. Melirik sekilas ke depan, tempat di mana sosok tinggi sempat berdiri dan sekarang tak ada. "Apa ada sesuatu yang salah?" Lirikan mata Azman kembali fokus pada Anisa.Anisa kembali membungkam mulut. Entah karena terlalu kaget atau memang kurang percaya, sebab setahunya sosok itu memang sudah pergi dari kota ini dengan meninggalkan sejuta luka dan kenangan. "I-itu, Mas." Anisa gugup sekaligus bimbang.Azman tak ingin memaksa, apalagi harus mendorong Anisa lebih dalam. Bisa saja istrinya kurang nyaman dan kembali tertutup. "Kamu mau ke toilet bukan?" Azman memilih mengalihkan pembica
Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing